27.

612 80 4
                                    

Ayo tekan bintang dulu di pojok kiri bawah

.

.

.

.

***

Jisoo menempatkan satu tangannya ke pinggul, yang satunya menenggak air dengan membalikan botolnya. Berkemas biasanya berat. Mengemas semua yang aku miliki dalam hitungan jam sangat melelahkan. Dengan kalori yang keluar saat kami berkemas, tidak perlu lagi mengunjungi gym hari ini—atau bahkan besok.

"Apakah kau yakin tentang hal ini, Irene?" Tanya Jisoo untuk kesekian kalinya. "Maksudku, apa kau benar-benar sudah memikirkannya?"

"Tidak." Aku menggelengkan kepalaku, sambil mendorong lebih dalam beberapa pakaianku ke kantong sampah. "Aku tidak tahu apa yang kulakukan."

"Kau tidak perlu melakukan ini." Dia menetapkan kedua tangannya di pinggul. "Kau bisa menemukan tempat lain."

"Dimana?" Aku menjatuhkan tanganku dan menghela napas karena merasa seperti sudah kalah. "Aku tidak akan menemukan kamar yang murah." Aku menggelengkan kepalaku. "Dan aku mempercayai Baekhyun. Aku lebih suka pindah dengan dia daripada seseorang yang tidak aku kenal."

"Apa kau masih berpikir dia hanya ingin bersahabat dengan kau?" Dia bertanya dengan tegas. Matanya tampak begitu menginterogasi sehingga tatapannya bisa membakar sampai melubangi kepalaku.

"Well, karena ia menginap dan tidur di tempat tidurku tadi malam dan tidak mencoba sesuatu," Aku menggigit bibirku. "Aku cukup yakin dia serius tentang menjaga hal itu tetap jelas di antara kami."

Mata Jisoo melotot. "Kau tidur dengan Byun Baekhyun?"

Aku memutar mataku. "Dan semua yang kami lakukan hanyalah tidur. Ia tidak mencoba melakukan apapun."

"Bagaimana bisa?" Dia tampak lebih bingung dengan pemberitahuan ini daripada dia melihat dari sisi masalah fisik. Jelas itu menghina. "Kau seksi! Apakah dia tidak melihat itu?"

Aku berdehem. "Aku tidak berpikir Baekhyun melihatku seperti itu."

"Apa kau menginginkan dia?" Dia bertanya dengan tulus. Di matanya, kurasa aku bisa melihat sekilas rasa kasihan dan hal itu membuatku marah.

"Aku benar-benar tidak tahu apa yang kuinginkan." Aku mengakui meskipun kemarahanku muncul. "Baekhyun membuatku bingung."

"Kurasa dia akan mematahkan hatimu." Katanya dengan sedih. "Ada begitu banyak hal tentang dia yang belum kau tahu."

"Rupanya kau tahu," kataku sambil melemparkan baju lain ke dalam kantung. "Jadi kenapa kau tidak mengatakannya padaku?"

"Ini bukan tempatku untuk memberitahumu."

"Benar." Aku mendesah, sambil mengikat kantung. Aku mengisinya sampai penuh. "Kalau begitu tidak usah diteruskan. Aku akan pindah ke tempatnya. Kami hanya berteman dan semuanya akan baik-baik saja."

"Jika kau mengatakan begitu."

"Berhentilah bersikap seolah kau menyembunyikan sesuatu." Aku merengut. "Ini membuatku resah."

"Kau pikir aku menyembunyikan sesuatu?" Dia menjerit, menusukkan ibu jarinya ke dadanya. "Apa kau tidak melihat pria itu ketika kau memutuskan pindah ke rumahnya?"

"Pria yang menyewakan sebuah kamarnya untukku." Aku mengoreksinya. "Setidaknya dia langsung menawarkan padaku."

"Dan aku tidak?" Dia tampak tersinggung dan aku berharap aku bisa menarik kembali kata-kata itu.

Aku menarik kuncir rambutku sebelum membentuk cepol asal-asalan lagi.

"Dengar Jisoo," Aku mendesah. "Aku tidak ingin bertengkar denganmu tentang Baekhyun. Apa yang kami miliki itu membuatku bahagia. Ia membuatku merasa aman dan sekarang dia menawarkan semua yang aku butuhkan untuk menjaga kepalaku agar tetap berada di atas air (bertahan hidup)." Aku merasa tenggorokanku menyempit dan suaraku bertambah kasar karena emosi. "Aku sedang berusaha keras disini dan dia mencoba mengambil begitu banyak beban berat di pundakku. Apakah kau tidak melihat itu?"

Dia menarik kantung hitam lain dari kotak.

"Aku mengerti apa yang kau katakan, Irene." Dia duduk di sampingku di lantai tempat aku sedang melemparkan setiap artikel baju yang kumiliki menjadi tumpukan segunung. "Tapi sepertinya kau tidak mendengarkan apa yang kukatakan."

"Tidak," kataku meyakinkan. "Aku mendengarkan apa yang kau katakan. Kau berpikir Baekhyun buruk bagiku. Kau berpikir,"

Dia memotong pembicaraanku. "Aku berpikir kau sedang jatuh cinta padanya."

Aku langsung menutup mulutku. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Hanya tadi malam aku memberitahu Baekhyun kalau aku mencintainya. Tapi maksudku tidak seperti cara yang diyakini Jisoo terhadap diriku—atau aku memang begitu? Apakah aku jatuh cinta dengan Baekhyun? Tidak, aku tidak boleh. Dia bertindak seperti kakak bagiku lebih dari saudara kandung yang ingin kumiliki. Dia tidak menginginkan aku. Jika dia iya, pasti dia akan mengungkapkan perasaannya kepadaku. Dia tidak akan bersembunyi di balik persahabatan ini—tetapi apakah itu yang kulakukan? Apakah aku yang menyembunyikan cintaku untuk dirinya di balik persahabatan yang samar-samar ini?

Sekali lagi, aku tidak melihatnya seperti itu. Aku jelas mengatakan kepadanya bahwa aku mencintainya. Aku mengatakan kepadanya apa arti dia bagiku semalam ketika ia tampak begitu putus asa menunjukkan kasih sayang itu, aku merasa perlu untuk melawannya. Hanya dalam beberapa minggu, Baekhyun telah menjadi seseorang yang sangat berarti bagiku. Dia adalah teman terbaikku. Dia adalah orang kepercayaanku dan sekarang dia adalah penyelamatku. Dia tidak bisa menjadi kekasihku juga. Ini tidak akan berhasil. Itu akan menjadi sebuah hubungan yang pasti berakhir menjadi bencana. Kami akan menjalin hubungan yang pasti berakhir menjadi bencana. Hubungan kami pun tidak akan berhasil.

Suara Jisoo membanjiri pikiranku. "Kau tahu kau terlihat seperti seseorang yang sudah menyadari kalau dia sudah jatuh cinta dengan sahabatnya."

Aku menatap setajam baja padanya. "Tidak. Dan aku tidak ingin membicarakan hal ini lagi." Aku mengusap mataku dan bersyukur aku tidak memakai make up. "Aku ingin kau mendukungku, Jisoo."

"Aku mendukungmu. Aku hanya ingin kau jujur dengan dirimu sendiri."

"Ya." Aku mengangguk dengan tegas. "Aku tahu apa yang kurasakan pada Baekhyun dan itu bukan apa yang kau pikirkan. Tapi yang paling penting, aku tahu apa yang dia rasakan untukku. Dan aku tahu pasti bahwa itu tidak lebih dari persahabatan. Percayalah Jisoo," Aku duduk kembali di atas tumitku, menatap langsung ke matanya. "Aku sudah siap memberikan keperawananku kepadanya tadi malam tapi ia tidak mengambilnya."

"Kau apa?" Matanya begitu besar, seketika aku takut matanya akan keluar dari kepalanya. "Kau akan memberikan keperawananmu pada Byun Baekhyun?"

Aku memutar mataku. "Ia memelukku sepanjang malam dan tangannya tidak pernah berpindah dari tempat yang seharusnya."

Dia mengangguk, tampak tidak yakin. "Apakah kau menginginkan dia untuk melakukan sesuatu?"

"Sekali lagi, aku tidak tahu." Aku jelas stres dan dia seakan menusuk satu-satu setiap luka yang terbuka. "Aku hanya ingin sebuah hubungan. Ketika saat itu datang, aku tidak ingin hal itu hanya menjadi momen hasrat yang akan aku sesali."

"Apakah Baekhyun tahu?" Aku tahu dia bertanya apakah dia tahu betapa polosnya aku.

Aku menggeleng saat Baekhyun masuk ke apartemen.

"Apa maksudnya Baekhyun tahu?" Dia bertanya.

Aku melompat mendengar suaranya dan aku tahu wajahku pucat. "Bukan apa-apa."

Dia mengerutkan kening dan mata lelahnya berpindah-pindah antara aku dan Jisoo. Aku mengkerut di bawah tatapannya tapi Jisoo bertindak seperti dia tidak merasakan itu sama sekali. Entah dia kebal terhadap mata cokelatnya yang tajam, atau dia adalah aktris sialan yang pandai berakting. Aku iri padanya dalam kedua hal itu.

.

.

.

TBC or End?

Ayo berikan pendapat kalian guysss.

Enraptured (Baekhyun><Irene) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang