Zefano Kafka Radhitya

216 25 3
                                    

| Happy Reading |

"Er ist ein nervender Mann."

ZAFLA

Jarum pendek di sebuah jam klasik berwarna abu-abu sudah menunjukkan pukul 6 lewat 25 menit. Tetapi seorang cowok ganteng beriris mata coklat masih asik terlelap di kamarnya yang bernuansa abu-abu terang.


"Astaghfirullah, abang kenapa belum bangun?! Ini udah jam berapa?!" seorang wanita berusia kisaran awal 40an dengan paras teduh dan garis wajah yang belum menua itu menggeleng tak percaya melihat putra sulungnya yang masih tertidur pulas.

Wanita itu menghampiri putranya, mencoba membangunkannya dengan menggoyang pelan tubuh putranya itu.

"Enghh, Bun. Lima menit lagi ya? Abang masih ngantuk. Kemarin 'kan baru nyampe juga, ini badannya masih pegel-pegel. "

Cowok itu melenguh, kemudian menggeliat sebentar sebelum memeluk gulingnya kembali.

"Abang itu sampe ke rumahnya 'kan udah dari kemarin! Bahkan abang tidur udah kaya beruang hibernasi gitu, apa masih kurang?!" Indah menarik selimut tebal yang melapisi tubuh putranya.

Melihat tak ada pergerakan lebih, Indah memilih beranjak untuk membuka gorden kamar agar semburat cahaya matahari pagi yang mulai tampak bisa masuk ke dalam kamar anaknya.

Tokk tokk

"Bun?"

Indah menoleh, menatap ke arah bungsunya yang berdiri di ambang pintu kamar si Sulung. Ia mendekat pada putra keduanya, membisikkan sesuatu. "Coba adek yang bangunin."

"Bun, berhenti panggil Alan kaya gitu! Alan bukan anak kecil lagi sekarang."

Wanita itu tertawa. Benar juga, si Bungsu hanya selisih 2 tahun dengan abangnya. Ada baiknya ia berhenti memanggil putra keduanya dengan sebutan itu lagi.

Putra keduanya itu duduk di bangku kelas satu SMA, berbeda dengan putra sulungnya yang sudah menginjak kelas tiga SMA.

Mereka baru saja pindah dari Jerman ke Jakarta demi mengikut sang Ayah yang sedang bertugas mengurusi cabang perusahaan milik keluarga besar mereka disini.

Alan mendengus kesal melihat reaksi ibunya yang justru tertawa mendengar protesannya. Ah, sudahlah. Ia memilih mendekati abangnya.

"Bang,"

Panggilan pertama tetap tidak ada perbedaan. Si Sulung masih terlelap dan terlihat tidak peduli.

"Zefaaann!! Bangun lo, Kebo!"

Alan bergerak maju, menyikut perut six pack Zefan yang tak terbalut baju karena kebiasaan nya yang tak bisa tidur memakai baju. Cowok itu bahkan tak jijik menyingkirkan guling penuh iler milik Zefan dari pelukan cowok itu.


Indah mendadak ngeri sendiri melihat bagaimana Alan membangunkan abangnya.

Alan menoleh pada ibunya yang melihatnya dengan sorot was-was, "Tenang aja, Bun."


Ehm, Alan berdehem singkat. Ia sedang menyiapkan suara toa nya di pagi yang indah ini.

"HALOW, ZEFANO KAFKA RADHITYA. CEPETAN BANGUN ATAU GUE BUMI HANGUSKAN SI ANGEL KESAYANGAN LO ITU!?" kesal, Alan berteriak keras didekat telinga abangnya. Teriakan yang sarat akan ancaman.

Entah mengapa ia jadi geli sendiri setelah menyebutkan nama 'makhluk' kesayangan abangnya itu.

Mungkin, tadi kalian sempat berpikir jika Angel adalah nama seorang cewek cantik yang dekat dengan Zefan atau mungkin berstatus sebagai pacarnya.

Iya, jika itu hanya seorang cewek cantik yang bernama Angel, Alan benar-benar tidak masalah.

Tapi yang menjadi masalahnya adalah, nama Angel diberikan oleh Zefan pada peliharaannya yang berupa, Ehm, kucing.

Kucing 'gembong' yang ditemui Zefan di pelataran rumah mereka dahulu saat di Jerman itu berhasil memikat hati seorang Zefano bahkan dengan baik hatinya memberi nama si Kucing betina dengan nama yang sangat classy.

Angel.

Oke, mungkin besok-besok Alan akan mencoba memelihara kucing juga dengan nama yang tak kalah berkelas dengan kucing 'mentel' milik Zefan itu.

Meong

Nah 'kan, paling pantang kalo gosipin nih kucing. Bakal langsung muncul dia.

Mendengar ancaman menyebalkannya Alan, dan juga suara manja sang peliharaan. Zefan akhirnya bangkit dari 'surga dunianya' dengan mata masih separuh terpejam. Cowok berlesung pipi itu berjalan gontai ke arah kamar mandi tanpa mengatakan sepatah kata pun.

"WOI, BEGO. LO MANDI NGGAK BAWA HANDUK APA?! "

Alan melempar handuk abu-abu milik abang nya ke depan pintu kamar mandi dan pergi keluar kamar.

Indah tertawa kecil melihat kelakuan kedua putra nya itu. Ia meraih si Angel agar tak mengintip putranya nanti dan bergegas keluar menyusul Alan untuk menyiapkan sarapan pagi mereka.

🌻🌻🌻

Semilir angin lembut membelai wajah seorang gadis beriris mata indah. Gadis itu memejamkan matanya, menikmati setiap makna yang diciptakan oleh hembusan sang angin.

🌻🌻🌻


Sebuah bangunan megah bertingkat terpampang jelas dihadapan Zefan, beberapa murid masih terlihat berseliweran di setiap sudut sekolah.

"Kok gue sekolah disini, Lan?"

"Jadi lo mau sekolah dimana lagi, Bang?" Alan mengerjap sekali, seketika merasa bingung menghadapi sikap abangnya yang kelewat pintar.

Indah mendengus geli, "Bunda sengaja sekolahin kamu disini, terpisah sama Alan.  Ini sekolah ayah dulu. Sekolahnya Alan itu di seberang sana nya, Bunda sengaja pisahin sekolah kalian biar gak berantem, lagian sekolah Alan deket kok, jadi kapan-kapan kalian bisa pulang atau berangkat bareng, ya 'kan?"

"Ogah," Serempak Zefan dan Alan menjawab penuturan sang ibu.

Membayangkan diri mereka masing-masing pulang-pergi berbarengan mendadak membuat mereka mual.

Sedikit informasi. Alanta Garfa Radhitya, adik laki-laki sekaligus musuh bebuyutan seorang Zefano.

Alan ini sikapnya lebih tenang, berbanding terbalik dengan Zefan yang rusuh dan pecicilan.

Tapi sebenarnya, itu hanya cover seorang Alan. Aslinya, Alan itu cerewet persis seperti cewek. Benar-benar kaya cewek apalagi urusan gosip.

Beuh

Zefan memiliki beberapa kelebihan fungsi otak, cowok berlesung pipi ini menguasai segala hal. Misalnya dalam hal musik, akademis, atau non akademis.

Berbeda dengan Alan yang hanya menguasai bidang akademis.

Ah, yang terpenting, yang menjadi pemeran utama disini adalah Zefano Kafka Radhitya.

Ah, yang terpenting, yang menjadi pemeran utama disini adalah Zefano Kafka Radhitya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ZAFLA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang