Zwölf : Emosi dan Tangis

42 7 0
                                    

Jadi 'kan, ceritanya aku tu lagi bingung.
Cerita 'Zafla' mau ditamatin sampe part berapa ya? Wkwk padahal baru nyampe part duabelas. Hehe (づ ̄ ³ ̄)づ

Ngegantung mulu soalnya kek jemuran (╥_╥)

Ada saran?

Ah yang ditulis mode italic/mereng ( kek otak author ╥﹏╥ ) berarti flasback mode on, oke?

Btw, ini part panjang banget kayanya:)

______

| Happy Reading |

Nyatanya, sejauh apa pun aku berlari. Atau, setinggi apapun aku membentengi diri, luka itu, perasaan itu, suatu saat akan tetap menjadi bekas.

ZAFLA

"Kompres itu pipi kamu!" Zafla terkejut saat sebuah handuk kecil mendarat diatas pangkuannya. Ia mendongak, menatap ibunya yang sedang memalingkan wajahnya ke arah lain. Sebuah baskom kecil berisi air yang sudah dicampur alkohol juga diletakkan tepat didepannya.

Untuk sesaat, Zafla tak mampu mengucapkan apapun. Ia merasa terharu, ini pertama kalinya sang ibu menampakkan perhatiannya pada Zafla.

"Jangan mikir aneh-aneh, mama cuma gak mau tetangga mengira lebam itu karena orang rumah." Ucap Hana cepat, "Pasti kamu nyari gara-gara 'kan disekolah? Ngapain kamu? Merebut pacar orang? Bisa gak, sih, sekali aja kamu gak usah buat yang aneh-aneh?! Mau buat keluarga malu ha?" Hana mengakhiri ucapannya dengan sedikit berteriak.

"Dasar anak bodoh!" makinya kemudian melengos pergi meninggalkan Zafla yang sekarang terdiam di tempatnya, merasa tertohok atas ucapan ibunya.

Meski Zafla sering mendengar ibunya berteriak, ia tak pernah menyangka ibunya akan berteriak seperti ini padanya. Apalagi kata-kata yang dilontarkan ibunya benar-benar mengibarkan bendera luka di hati Zafla.

Baru saja ia merasa senang akan perhatian ibunya, tetapi rupanya- ah sudahlah. Bukankah Zafla sudah amat sangat terbiasa dengan situasi seperti ini?

Tapi, memangnya seburuk apa Zafla dimata ibunya itu?

Dengan tangan sedikit gemetar, Zafla meraih handuk yang telah dibasahi air didalam baskom, menempelkannya pelan pada lebam di pipi kanannya.

Sebenarnya, ada rahasia apa dibalik ini semua?


Zafla kembali meninju samsak dihadapannya, melampiaskan segala emosi yang terkumpul dalam dirinya. Hanya dengan ini, Zafla mampu mengeluarkan rasa sakitnya.

Terkadang Zafla merasa iri pada mereka yang dengan mudahnya menangis ketika sedang terluka, ataupun bahagia. Berbeda dengannya yang justru melampiaskan amarah dan tangisnya lewat alat didepannya.

"Arrghhh," Zafla berteriak kencang dalam ruangan kedap suara itu. Jantungnya berdetak cepat seiras dengan denyut sakit dikepalanya. Emosinya meledak bak gunung berapi yang sedang memuntahkan lavanya.

Selama ini, ruangan rahasia dalam kamar gadis itu-yang ditutupi oleh pintu putih bergambar bunga matahari, ternyata menyembunyikan sosoknya yang sebenarnya tak mampu bertahan membendung emosi.

ZAFLA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang