Vier : Air Mata

114 15 0
                                    

( Don't forget to play that music, Danke.)

| Happy reading |

Aku harus apa? Bahkan untuk menangis saja aku sudah lupa.

ZAFLA


Ini hari minggu dan Zafla merasa lapar. Ia membuka pintu kamarnya perlahan, tak ingin menimbulkan suara yang dapat membangunkan kakak atau adiknya karena kamar mereka yang berdekatan.

Zafla menuruni tangga dengan hati-hati, takut membangunkan ayah dan ibunya karena kamar mereka berada dilantai bawah.

Ia membuka tudung saji. Tak ada apapun. Kemudian membuka lemari pendingin, melihat apakah ada stok bahan mentah yang bisa ia olah untuk mengganjal perut.

Dapat. Zafla menemukan telur, bayam, dan juga beberapa potong ayam. Ia melirik sekilas ke arah jam dinding yang menempel.

Pukul 10 kurang 15 menit. Dan keluarganya belum ada satupun yang membuka mata. Kebiasaan di hari libur.

Dengan hati tenang, Zafla mulai memilah bahan. Memanaskan minyak, memotong sayur bayam, dan mengocok telur.

"Kamu mau ngapain?!" sentakan pelan itu mengagetkan Zafla yang sedang asik meracik makanan di dapur.

"Hm, Zaf laper." Gadis dengan ekspresi datar itu mencoba tersenyum kecil saat menjawab pertanyaan ibunya. Hana menghela napas seakan tak peduli, ia mengambil air dari galon.

" Makan selalu, tapi melakukan apapun gak bisa. " Selepas mengatakan itu, Hana berlalu pergi begitu saja.

Sementara Zafla, Gadis berambut kecoklatan itu hanya menatap nanar ibunya lalu merunduk menatap lantai marmer yang memantulkan wajahnya.

Ia berucap lirih, " Memang apa salahnya? Zaf cuma mau makan. "

Suaranya lirih, menyiratkan sakit yang terasa. Mengabaikan nyeri semu yang menusuk kuat ulu hatinya. Dari dulu, ibunya selalu menganggap Zafla tak bisa melakukan apa-apa. Ibunya merasa bahwa tak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya.

Lalu, bagaimana semua yang diraihnya selama ini? Zafla selalu meraih peringkat tiga besar disekolahnya, Zafla selalu memenangkan lomba yang diikutinya, Zafla selalu berusaha. Dan semua usaha itu ia tujukan untuk orang tuanya, terutama sang ibu.

Tapi, mengapa ibunya masih juga menganggap ia tak bisa apa-apa? Ia harus melakukan apa lagi untuk menunjukkan sinarnya di mata sang ibu?

Zafla menunggu. Sedetik, dua detik, bahkan sampai detik kelima. Zafla tak merasakan setetes air mata pun yang mengalir dari matanya.

Hm sudahlah, mau bagaimana lagi? Hidupnya sudah terlalu beku dan menyakitkan. Bagaimana ingin bahagia jika menangis saja ia sudah lupa?

Dalam pikirannya sekarang. Mungkin jika orang lain melihatnya seperti ini, mereka akan mengira Zafla adalah sosok yang tak punya hati, atau lebih parahnya mereka akan beranggapan bahwa Zafla hanya bagaikan mayat hidup yang memang tak diciptakan Tuhan dengan hati seperti manusia lainnya.

Biarlah, Zafla tak ingin memusingkannya. Mereka hanya tidak tahu. Mereka tidak akan pernah paham dengan rasa sakit yang ia rasakan. Berada di posisi ini membuat Zafla sempat merasa putus asa. Bahkan waktu ia kecil, Zafla pernah menggores lengannya berkali-kali untuk menyalurkan rasa sakit.

ZAFLA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang