25. Sepertinya, Kita (Tidak) Perlu Berjalan di Tempat
"Loh, Pak, kok pergi?"
"Memangnya kenapa kalau saya mau pergi?" Langkah Aksa terhenti oleh Evan yang langsung menghadang jalannya begitu pintu kantornya terbuka. Naya di sebelahnya memang hanya diam saja, tetapi bibir perempuan itu tertarik membentuk sebuah garis canggung yang tidak bisa dia abaikan. Mungkin sudah waktunya bagi dia untuk memerintahkan pihak HR agar mereka melaksanakan employee audit bagi orang-orang yang bekerja langsung dengannya.
"Maaf, Pak, tapi jadwal Bapak penuh hari ini. Bapak Warjiyo pasti sudah dalam perjalanan ke sini, mana bisa kita cancel? Trus nanti jam enam Bapak juga ada dinner dengan Bapak Tanoto dan keluarga," jelas pria flamboyan yang telah menjadi asistennya selama lima tahun terakhir itu dengan ekspresi ala Ibu Guru SD yang membuat sisi maskulin nya semakin memudar.
"Eh, ya udah..."
"Kamu bilang ke Dimas minta dia gantiin saya meeting sama Pak Warjiyo," timpalnya mendahului Naya yang hendak menyampaikan bahwa dia tidak keberatan jika rencana pergi mereka batal. Dia menatap Naya tidak setuju dan perempuan itu lantas menatapnya balik dengan binar yang mewakili senyumnya. "Oh ya, jangan lupa, kamu minta Dimas invite team PR juga supaya Pak Warjiyo bisa tau garis besar media strategy kita buat BI," tambahnya sementara dia lanjut berjalan mengajak Naya menuju ke lift.
"Trus dinner nya bagaimana, Pak?" Evan masih saja berusaha menekankan keberatannya, dan Aksa tidak perlu melihat wajah Naya untuk mengetahui bahwa tindakan Evan membuat perempuan itu tidak nyaman.
Dia mengecek waktu di jam yang melingkar di tangan kirinya sementara tangan kanannya tidak melepaskan Naya yang kerap mengamati sekitarnya dengan enggan. "Lebih baik sekarang kamu cari Dimas daripada ntar dia ngilang, saya nggak mau tau, pokoknya saya nggak bisa diganggu. Ntar biar saya sendiri yang hubungin Bapak Tanoto."
"Begitu, Pak?"
"Iya, begitu," sahutnya tajam. Dia menyadari bahwa asistennya itu hanya ingin mengamati dia, Naya, dan tangan mereka yang bertaut lebih lama lagi.
Aksa tidak pernah menyangkal bahwa dirinya adalah seseorang yang terlahir dengan hak istimewa di mana dia jadi memiliki nilai lebih di hadapan mata publik oleh karena itu.
Dia tahu betul pengaruh nama belakang yang dia miliki di tempat di mana dia lahir dan tinggal.
Sejak dirinya mulai berinteraksi dengan dunia luar, Aksa menyadari bahwa menjadi pusat perhatian sudah wajar hukumnya bagi mereka dan menghadapi hal tersebut mutlak adanya.
Meskipun demikian, dia masih saja tidak terbiasa dengan keadaan di mana orang-orang dengan sengaja menjadikannya objek konsentrasi layaknya apa yang dilaksanakan oleh Evan saat ini.
"Udah sana, ngapain kamu masih di sini," ujarnya dengan alis terangkat menantang, dan Evan yang sadar bahwa pekerjaannya sedang terancam lantas terbirit-birit pergi mencari Dimas sesuai titahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepertinya, Cinta (UPDATE SUNDAYS)
أدب نسائيAdhyaksa Prasaja Hagam - 30, ISTJ.Ivy Leaguers, Pewaris takhta Hagam Group, Bachelor of The Year Cosmo Indonesia, and Tatler Magazine's Asia's Most Influential. Runaya Khandra Wimala - 25, former ENFP turn ISFP.Generasi Muda Berprestasi Yayasan Luhu...