[2] Rama

1.4K 90 3
                                    

Nadiya jadi diam selama pelajaran setelah istirahat tadi. Aku memegang bahunya. "Lo marah sama gua, Nad?"

Nadiya menatapku lalu menggeleng. Ia menopang dagunya. "Apa susahnya sih dia nerima pemberian gua?"

Aku mengangkat bahuku merespon pertanyaannya. Nadiya menyenderkan tubuhnya lalu melipat kedua tangannya. "Menurut lo, sifatnya begitu kenapa? Apa dia udah punya cewek ya?"

Aku sempat berpikir sebelum tawaku pecah mengundang perhatian seisi kelas dan deheman dari guru yang sedang mengajar. Kututup mulutku lalu menunduk, berusaha menahan tawa. Nadiya menyenggol bahuku lalu berbisik. "Kok malah ketawa sih? Gua nanya serius ini."

Sekali lagi menggigit lidahku agar tak kembali tertawa sebelum ikut berbisik. "Mana mungkin dia punya pacar. Emang ada yang mau sama cowok galak kayak dia?"

"Ada. Buktinya gua mau." jawabnya membuatku mendelik.

"Iya, lo mau tapi dianya gak mau. Gimana tuh?"

Nadiya kembali mengerjakan tugasnya karena mata sang guru mengarah pada meja kami. Aku langsung memegang pulpen dan mulai mencoret-coret kertas, berpura-pura menghitung. Matematika memang menyebalkan.

"Gua udah beli jam ini mahal-mahal. Barang limited edition dan sekarang gak nyampe ke dia. Mau diapain nih jam? Yakali gua make jam cowok?" tanyanya sambil menatap kotak jam yang berada di tengah meja kami.

Aku tak menyahut karena kali ini benar-benar sedang menghitung jawaban. Nadiya kembali berbisik. "Kasih ke Marcel aja deh ya?"

"JANGAN!"

"Ada apa, April?" tanya Pak Slamet, guru matematika kelasku yang kini menatap tajam.

Aku meringis. Rupanya tadi aku berteriak hingga membuat seisi jelas menatapku. Aku menggeleng. "Enggak, Pak. Tadi Nadiya mau buang kertas ini," aku mengangkat sebuah kertas coretanku. "Tapi saya masih make buat ngitung."

Sepertinya Pak Slamet percaya karena dia langsung mengangguk. "Yasudah, kembali kerjakan tugasnya."

Aku mengangguk lalu menatap Nadiya. Ia juga menatapku. "Kenapa jangan?"

Aku menghela nafas. "Lo kan tau, sahabat gua itu naksir sama lo. Lo gak ngerasa ngephp-in dia kalo lo ngasih itu jam ke dia?"

"Iya juga ya, tapi mending gua kasih ke dia kan dari pada gua buang?"

Aku berdeham. "Tapi lo kasih sendiri jangan nyuruh gua lagi yang maju."

Nadiya mengangguk. "Kalo Marcel mah gampang, gua kasih juga pasti dia langsung nerima."

Aku mendengus. "Makanya lo naksir Rama aja yang udah jelas suka sama lo dari pada si cowok galak itu."

"Kalo hati gua bisa milih juga, gua pasti naksir Marcel, Pril. Tapi hati gua milih Elang, gimana?" Nadiya mengikat seluruh rambutnya menjadi satu setelah tadi dibiarkan tergerai. "Justru galak-nya Elang itu yang buat gua suka dia."

Aku sampai merinding mendengarnya. Rasanya sudah capek bertahan di lingkaran orang-orang ini. Yang A suka B, si B suka C, si C suka D, dan D nya? Ah mana ku tahu. Elang suka siapa juga bukan urusanku. Mengingat dia membuat mood-ku rusak. Kesal saja kalau mengingat kelakuan buruknya pada Nadiya. Kalau aku sih ya biasa aja dia ketusin tapi Nadiya? Dia selalu sedih tiap mendapat penolakan atau kelakuan kasar dari Elang. Cowok itu memang gak ada sisi lembutnya sama sekali. Usapan di tanganku membuatku menatap Nadiya. Aku menatap tanganku yang diusapnya, baru tersadar bahwa tanganku tadi mengepal.

"Jangan bilang lagi nyumpahin gua di dalem hati?" tanyanya membuatku menggeleng. "Berarti nyumpahin Elang?"

Aku menggeleng. "Gak nyumpahin cuma gua kesel aja sama tu anak. Masa dia gak liat sih perjuangan lo selama ini?"

Menyimpan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang