[22] Tak Mengerti

468 51 9
                                    

Baca ini sambil puter mulmednya, ya. Happy reading, guys 🥰

•••


Rasanya aku menyesal telah menolah tawaran Elang. Bukan. Bukan karena aku mau menerimanya tapi karena Elang malah semakin gencar mendekatiku. Berusaha meyakinkan bahwa dirinya memang bisa membantu membuatku risih. Mungkin, sekali. Sekali ini saja biar ku beri ia kesempatan membuktikan omongannya.

Aku sedang duduk di depan kelas Rama bersama Elang. Rencananya, dia akan mengajak Rama berbincang lalu berakhir meninggalkanku berdua dengan Rama.

Jantungku mulai berdegup kencang ketika Elang berhasil membawa Rama duduk bersama kami di depan kelasnya. Mereka membicarakan seputar tanding futsal yang akan diikuti junior mereka.

"Iya, gua bakal ikut serta ngelatih mereka, Lang. Lo tenang aja."

Posisinya aku duduk di sisi kiri, di sebelahku ada Elang, lalu disebelah kanan Elang ada Rama.

Kulirik Elang yang berdeham. "Gua lupa ada tugas yang belum dikerjain. Gua duluan."

Aku terperangah. Elang memang biadab. Bisa-bisanya meninggalkanku dengan cara seperti ini. Ini sih bukan membantu namanya. Terjadi hening cukup lama ketika tersisa aku dan Rama. Aku bingung harus mulai dari mana. Rama nampaknya juga enggan mengobrol denganku. Memejamkan mata sejenak, aku mencoba meyakinkan diri. Aku bisa. Aku bisa nyelesein masalahku.

"Ram,"

"Hm?"

"Lo masih marah sama gua?"

Rama menatapku sekilas lalu menggeleng. "Gua gak marah."

Aku menganga. Jadi, selama ini dia gak marah sama aku yang udah uring-uringan mikirin dia?

"Terus lo kenapa?" tanyaku lirih.

Aku mengayunkan kakiku sambil memandang ke depan. Ini waktu istirahat, lapangan penuh dengan siswa yang hobi berolahraga.

"I need time."

Aku mengangguk mengerti. "Gua lebih suka kalo lo ngomong jujur. Bilang aja lo emang marah."

"Kalo gua emang gak marah gimana?" Rama duduk menyerong ke arahku yang kini menunduk. "Kita udah kenal lama banget, Lan. Lo kira gua gak shock waktu tau perasaan lo ke gua gimana?"

Aku terdiam. Rasanya dadaku sesak sekarang.

"Lo selama ini udah gua anggap sahabat terbaik gua. Udah kayak adek gua sendiri karena apa-apa selalu gua yang urusin, selalu gua yang jagain lo tapi ternyata anggapan gua dan anggapan lo itu beda. Lo pikir selama kita lost contac gua ngapain kalo gak mikirin masalah kita ini, Lan? Lo pikir cuma lo yang frustasi?"

Darahku berdesir. Rama mulai mengeluarkan unek-uneknya yang jujur saja, itu menyakiti perasaanku.

"Gua gak marah sama lo tapi gua kecewa. Gua gak nyangka semua kebaikan gua malah ngebuat lo salah paham selama ini."

Aku menggeleng tak terima. "Gua gak pernah ngerasa begitu, Ram."

"Ya terus kalo enggak, kenapa bisa lo sampai suka gua, Lan?"

Tanganku mengepal. Aku memang mau berbicara dan meluruskan masalah ini tapi kenapa Rama semakin menyakitiku?

Aku berdiri dan menatapnya tajam. Menunjuk diriku sendiri. "Gua tau semua perhatian dan kebaikan lo selama ini karena gua sahabat lo. Gua ngerti karena gua sendiripun ngeliat perhatian lo ke gua dan ke Nadiya beda. Gua ngerti, Ram." Aku menyeka air mataku yang ternyata sudah berjatuhan. "Secara gak langsung lo bilang, gua baper sama lo."

Menyimpan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang