[40] One day

419 50 13
                                    

"April,"

Aku mengusap air mataku. Membuka pintu kamar yang tadinya kukunci. Ayahku, orang yang selalu sibuk karena pekerjaannya kini berdiri di hadapanku.

"Kenapa, Yah?"

"Ayah yang harusnya nanya. Gadis cantik ayah kenapa matanya sembab begini?" Tangannya terulur membelai pipiku yang sialnya membuatku menangis lagi.

Aku tak menjawab dan lebih memilih memeluknya. "April lagi sedih."

Tangannya balas memelukku. Mengusap rambutku yang membuatku sedikit tenang. Ia mengajakku masuk ke kamar lalu duduk di tepi ranjang. "Kamu berantem lagi sama Marcel?"

Aku menggeleng. Menerima tisu yang baru ia tarik dari atas meja belajarku. "Enggak, Yah."

"Terus? Sama Elang? Ayah kan udah bilang. Kamu boleh pacaran tapi kalau itu ganggu sekolah kamu, ayah gak suka."

Aku menggeleng lagi. "Bukan itu, Yah. Ini soal Nadiya."

Aku menceritakan semua hal yang terjadi dari awal pada Ayahku yang hanya diam mendengarkan. Aku sudah siap jika ia memarahiku karena ini memang salahku tapi ayah tetaplah seorang ayah. Yang ia lakukan malah memelukku erat dan mengucapkan kata-kata menenangkan.

"Minta maaf ke Nadiya. Kamu pasti bisa kan ngerasain kalau ada di posisi dia?"

Aku mengangguk. Rasanya hatiku sedikit lega setelah bercerita. "Tapi, Yah. April boleh ya gak masuk sekolah sehari?"

"Kamu mau bolos?"

"Sehari, Yah. April mau nenangin diri dulu, please?"

Memasang wajah puppy eyes yang berhasil karena Ayah mengangguk dan mengecup dahiku.

"Asal janji setelah itu kamu gak boleh nangis dan jadi semangat belajar lagi."

Aku mengangguk senang. Bersyukur mempunyai orang tua yang selalu mengerti diriku. Aku mematikan ponselku. Sengaja, ingin menghabiskan waktu sehari untuk menenangkan pikiran dan hatiku. Aku berniat marathon drakor dan bermalas-malasan di dalam kamar.

"Ehemmmm."

Aku baru mau memulai menonton drakor ketika Bunda memasuki kamarku. Ia bersedekap dada, menatapku dengan alis yang naik satu. "Pintar ya ngebujuk ayah."

Aku meringis. Melempar senyum sok cantik padanya. "Bunda bolehin juga kan, Bun? Sehari aja. I need one day."

Bunda mendekat, mengelus kepalaku. "Setelah ini pastiin gak ada momen nangis-nangis lagi, ya?"

Aku memanyunkan bibir merasa dijahilin Bunda yang kini tertawa. "Iya, Bun."

•••





Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Aku benar-benar membolos dan tak memberi kabar pada siapapun.

"Kapril."

Aku sedang mengaktifkan hp ketika menyahuti Sisi. "Masuk, Si."

"Ada kak Elang di luar."

Aku ber--oh ria dan menyuruhnya keluar lalu aku memeriksa hp. Ada beberapa panggilan dan pesan masuk dari Rama dan Elang.

Merebahkan diri pada kasur. Aku menelpon Elang yang langsung diangkat.

"Tinggal keluar ngapain sampai nelpon?"

Aku tersenyum tipis. "Gua lagi mager. Lo pulang aja deh."

"Lo gapapa, kan?"

"Gua oke kok. Gak usah khawatir."

Menyimpan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang