[41] Baikan

476 53 29
                                    

Aku terus melirik jam di dinding kelas. Tidak sabar pulang karena tubuhku sudah lelah seharian ini belajar. Mendekati menit-menit bel pulangan berbunyi, aku segera membereskan alat tulisku. Guru sudah keluar ketika bel benar-benar berbunyi. Aku tersenyum senang.

"Nad, lo ke mana deh tadi sampai gak istirahat?"

Aku terdiam. Ikut mendengarkan karena penasaran.

"Ada urusan."

"Yaudah yuk pulang, Nad."

Kulihat Nadiya masih membereskan alat tulisnya ketika yang lain mengajaknya pulang. "Kalian duluan aja."

Satu per satu murid mulai meninggalkan kelas hingga tersisa aku dan Nadiya. Aku memakai tasku. Melangkah, berniat keluar dari kelas ketika Nadiya memanggilku.

"Bisa tinggal sebentar?"

Aku terdiam. Elang pasti sudah menungguku. Kucek ponselku yang kebetulan sekali Elang sedang menelpon.

"Gua duluan ya? Gua udah jelasin semampu gua ke dia. Semoga membantu lo."

Panggilan terputus. Jadi, ini rencana Elang?

Aku menoleh, menatap Nadiya lalu mengangguk. Nadiya menyuruhku duduk di bangku depannya.

Ia menatapku dengan mata berkaca-kaca.

"Sejak kapan?"

"Apanya, Nad?"

"Sejak kapan kalian pacaran?"

Aku menatapnya merasa bersalah. Lidahku kelu. "Nad,"

Nadiya terkekeh hambar. Tangannya mengusap air mata yang keluar. "Lo tau gak perasaan gua sekarang gimana, Pril?"

Aku menunduk. Memainkan jariku. "Lo pasti benci banget sama gua."

"Bener banget."

Aku mendongak. Menatapnya sedih. "Nad, gua udah jahat sama lo."

Nadiya mengangguk. "Lo tu jahat, tega banget sama gua, Pril."

Aku menunduk. Menggigit bibirku menahan tangis.

"Lo kan tau gimana sukanya gua sama Elang. Lo sendiri tau perjuangan gua buat dia bisa ngelirik gua tapi lo...."

Air mataku mengalir. Aku memang sejahat itu. Nadiya menangis hingga sesenggukan membuatku tak tega.

Nadiya mengetukkan jarinya ke meja. "Lo buat gua marah, gua sedih, gua kecewa, dan gua malu, Pril."

Kedua tangannya menutupi wajahnya. "Gua emang marah sama lo tapi gua lebih marah ke diri gua sendiri. Kenapa gua bisa seegois itu maksain perasaan gua?"

Aku menatapnya heran. "Nad?"

"Lo buat gua ngerasa malu, Pril. Lo gak tau bukan cuma lo tapi diri gua sendiri pun berasa gak punya muka lagi di depan lo," Ia memijit kepalanya. "Bisa-bisanya lo tetep ngebantu gua dan gua tetep ngejar-ngejar cowok yang udah jadi pacar temen gua sendiri."

Nadiya mengusap wajahnya dengan kasar. Menatapku dengan wajah sendunya. "Lo pasti benci juga kan sama gua, Pril?"

Aku menggeleng. Memberinya senyum. "Gimanapun lo, lo tetep temen gua. Ini juga salah gua, gua ngerti kalo lo yang benci sama gua."

Nadiya menatapku dengan mata yang kembali berkaca-kaca. "Gimana bisa gua benci orang baik dalam hidup gua? Gimana bisa gua benci sama orang yang bahkan gak ngebenci gua sedikitpun. Pril, gua temen yang buruk ya?"

Aku kembali menggeleng. Menggenggam tangan bergetarnya yang berada di atas meja. "Lo tetap teman terbaik gua."

Nadiya semakin menangis membuatku panik. Aku berpindah menjadi duduk di sebelahnya. Menariknya ke dalam pelukanku.

Menyimpan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang