[37] Tertekan

413 53 28
                                    

Sesampainya di rumah, aku langsung mengurung diri di kamar. Berbaring dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhku. Entah bagaimana menghadapi Nadiya mulai hari esok. Rama, aku juga bingung harus bagaimana dengan anak itu lalu Elang.

Apa keputusanku menerima Elang memang salah dari awal? Apa seharusnya aku menolaknya untuk Nadiya? Apa memang harusnya aku lebih mengutamakan perasaan Nadiya dibanding perasaanku sendiri?

Aku kembali menangis. Merutuki diri sendiri hingga tak sadar aku tertidur. Mataku terasa mengganjal saat mengerjap, melirik jam yang menunjukkan pukul 6 pagi. Aku bangun dan menatap pantulan diriku di depan cermin. Ternyata mataku bengkak. Rasanya tak ingin sekolah tapi pasti aku malah diceramahin Bunda dan Ayah nanti.

Pintu kamarku diketuk disusul suara Sisi yang mencoba membuka pintu. Kebetulan aku tidak menguncinya. "Kapril." Kepalanya menyembul.

"Hm." Aku menyahut sembari memasukkan buku pelajaran hari ini ke dalam tas.

"Ada yang jemput tuh."

Aku menoleh, menatapnya seolah bertanya siapa.

"Kak Elang."

Elang menjemputku? Aku mengangguk. Segera memakai tas dan melangkah keluar kamar. Mengambil selembar roti bakar lalu berpamitan pada orang tuaku.

"Pril..."

Aku lebih memilih langsung menaiki motornya. Memegang ujung jaketnya. "Berangkat, Lang. Nanti kita telat."

Elang menjalankan motornya tanpa bersuara. Ia pasti sadar moodku kurang bagus. Kepalaku menunduk bahkan hingga sampai di parkiran sekolah. Aku sadar, beberapa siswa siswi yang sudah datang terkejut melihat kami bersama. Ini pertama kalinya kami datang sekolah bersama. Yang lebih mengejutkan pasti karena aku berada di boncengan Elang. Cowok yang bahkan tidak pernah membonceng cewek manapun sebelum aku.

Langkahku semakin cepat meninggalkan Elang. Aku hanya ingin segera sampai di kelas tapi rasanya kelasku berada jauh sekali hingga telingaku masih bisa menangkap cibiran-cibiran yang ditujukan padaku.

"Jadi paham gua maksud sg-nya Nadiya."

"GILA WEYYY, GUA JUGA SAKIT HATI KALI KALO DITUSUK GITU!"

"Pelakor anying."

"Bisa-bisanya sok baik ngebantuin padahal aslinya jahat bener."

"Kasian gua sama Nadiya."

"Kalo gua sih udah malu, gak bakal berani nampakin wajah di depan Nadiya."

"Itu mah elo. Kalo gua, udah gua santet dong itu cewek. Munafik amat jadi orang."

Aku mengusap air mataku yang tiba-tiba turun. Berusaha tak peduli meski semua ucapan mereka meresap di hatiku. Aku memang jahat. Aku pantas mendapatkan semua ini.

Memasuki kelas, tak jauh berbeda dari pandangan murid di luar kelas tadi. Mereka semua memandangku kecewa dan mungkin jijik. Aku yang mau duduk di bangkuku pun ditegur Dila.

"Pril, lo masih punya muka mau duduk bareng Nadiya?"

Aku menatapnya tak percaya. Bahkan Dila, orang yang pernah dekat denganku saat aku bermasalah dengan Nadiya kini ikut menyudutkanku.

"Dil,"

Dila menunjuk meja di pojok kanan belakang. Meja yang kosong, tak pernah ada yang menduduki.

"Lo bisa duduk di situ."

Aku hendak protes ketika Nadiya datang dan langsung duduk di bangkunya. Ia bahkan meletakkan tasnya di bangku biasa aku duduk, sebuah hal sengaja agar aku mengerti maksudnya.

Menyimpan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang