Aku melangkah cepat ketika melihat Elang yang sedang duduk di depan kelasnya. Meletakkan roti dan susu dari Nadiya tepat di samping cowok itu. "Dari Nadiya."
Elang mengangguk, ia mulai membuka rotinya. Aku memperhatikannya membuat Elang menatapku bingung. "Kenapa?"
"Harusnya gua yang tanya kenapa. Kenapa tiap Nadiya yang ngasih gak pernah lo terima?"
"Bukannya itu hak gua?"
"Ya terus kenapa kalo gua yang ngasih selalu lo terima?"
"Udah gua bilang. Itu hak gua. Lo kalo banyak tanya, gua buang ni." Ucapnya datar setelah kembali membungkus rotinya membuatku panik dan menyuruhnya untuk segera makan.
"Sensian amat jadi cowok." Gerutuku lalu duduk di sebelahnya.
"Lo udah mulai suka sama Nadiya, Lang?"
Elang menggeleng membuatku heran. "Tapi kok sekarang lo selalu terima pemberian dia?"
"Kan lo bilang, gua harus bisa ngehargain pemberian orang."
"Ya tapi cara lo buat dia berharap, Lang. Bener-bener kasian temen gua suka sama lo."
Aku mendongak ketika seseorang memanggilku. Ada Rama di hadapanku. "Lo ngapain di sini, Lan?"
Aku menatapnya kesal. "Terserah gua dong. Ini kan tempat umum."
Rama mengangguk pelan. Ia menawariku ke kantin bersama tapi kutolak membuatnya menatapku penasaran. "Lo ada apa sama Elang, Lan?"
Pertanyaan yang sukses membuatku terbatuk. "Kepo."
"Lo gak ngekhianatin temen lo sendiri kan, Lan?"
Jleb. Kenapa pertanyaannya seperti aku menjalin hubungan dengan Elang secara diam-diam dari Nadiya?
"Ya enggak lah. Lo tenang aja. Gua gak mungkin nyakitin Nadiya."
Aku menatap Elang yang sedang meminum susunya. Berdiri lalu pamit meninggalkan Elang yang sepertinya akan dilemparkan banyak pertanyaan oleh Rama.
Melangkah menuju kantin untuk menagih bayaran Nadiya atas usahaku membantunya.
"April!"
Aku tersenyum, melangkah mendekat pada Nadiya yang sedang duduk sendiri dengan 2 mangkuk bakso yang sudah tersedia. "Wihhh enak nih."
"Diterima ya?"
"Iya dong. April gitu." Banggaku membuatnya tersenyum tipis.
"Makanya gua selalu ngandalin lo. Soalnya kalo lo yang maju entah kenapa feeling gua selalu kuat kalo Elang gak akan nolak. Beda cerita kalo gua yang maju."
Aku bungkam. Memilih menyuap bakso ketika Nadiya kembali bicara.
"Apa mungkin Elang suka sama lo ya, Pril?"
Aku tersedak bakso yang sedang kukunyah. Buru-buru menyeruput es teh dan menatap Nadiya kesal. "Lo kalo ngomong kira-kira dong!! Keselek kan gua."
Nadiya meminta maaf lalu mengaduk baksonya. "Sorry tapi gua bener-bener kepikiran soal ini. Akhir-akhir ini Elang kan nerima pemberian gua lewat lo."
"Mungkin cuma kebetulan?"
Nadiya terkekeh. "Kebetulan yang berkali-kali?"
Aku menelan baksoku lalu menatapnya teduh. "Gak usah mikir aneh-aneh lah, Nad. Lo tau lo temen gua. Lo tau gua gak akan nusuk lo dari belakang. Lagian harus berapa kali lo denger kalo gua gak suka tipe cowok kayak Elang?"
"Gua percaya dan yakin sama omongan lo, Pril. Tapi kan gua gak tau isi hati Elang."
Aku memilih bungkam. Nadiya akan semakin melanjutkan pembahasan ini kalau aku masih meladeninya. Jadi, aku fokuskan menghabiskan makananku ketika seisi kantin heboh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menyimpan Rasa
Ficção AdolescenteSelama ini aku yang punya rasa lebih. Aku yang berharap kamu sadar tanpa harus kuberitahu secara langsung. Aku yang pengecut, bersembunyi dengan topeng persahabatan. Yang hanya diam karena sadar kamu menyukai temanku sendiri. Seperti itu hingga kini...