[28] Dekat?

485 48 4
                                    

Nadiya menatapku penuh harap membuatku menenggelamkan kepala di meja. "Nad, gua mending nemenin ke sana kemari sambil motretin lo yang di-endorse daripada jadi perantara lo lagi."

"Ayolah, Pril. Lo kan baik sama gua."

Aku mendengus. "Gua bosen baik sama lo dimanfaatin mulu perasaan."

"Ihhhh April. Gua kan gak sejahat itu. Lagian tiap gua suruh kan lo juga bajak gua buat traktir bakso."

"HEH! Lo gak ikhlas? Pantes perut gua sakit tiap lo traktir."

Nadiya memutar bola matanya. "Lo bacot amat sih, Pril. Bantuin kek ini temen lo."

"Lo tuh ya baru beberapa hari lalu diusir Elang tapi kebal banget ya Allah temen gua." Aku menatap Nadiya tak habis pikir.

"Bangga kan lo?"

"Bangga kagak, gedeg iya."

Nadiya mengerucutkan bibirnya. Menyerahkan sebuah kotak bekal ke hadapanku. "Kasihin Elang, please? Gua janji bakal kasih sendiri ke dia setelah bekal yang lo kasih ini dia terima."

Aku menatap bekal dan Nadiya bergantian. "Lo rajin amat buatin dia bekal. Mending buat gua gimana?"

Kepalaku ditoyor Nadiya yang geram. "Lo mah kapan-kapan aja gua buatin. Yang ini buat Elang, harus nyampe dan harus dia makan ya. Awas aja sampe dia buang."

Aku berdiri. "Nah kan ngelunjak. Tadi minta tolongnya cuma anterin ini bekal. Sekarang lo nyuruh gua maksa dia terima dan makan. Gak sekalian lo nyuruh gua nyaksiin sendiri dia makan apa enggak bekal buatan lo ini, Nad?" Ucapku asal yang sialnya malah disetujui Nadiya.

"Ide bagus. Lo temenin dia makan dengan gitu kan lo bisa mastiin bekalnya gak dibuang. Kalo bisa lo videoin sebagai barang bukti ke gua."

"Nad, musuhan lagi yuk." Sahutku membuat Nadiya tergelak.

Aku melangkah keluar kelas. Melangkah sambil membuka aplikasi whatsapp, daripada susah-susah cari Elang yang aku sendiri gak tau dia di mana. Aku memilih membuka blokir dan langsung menelponnya.

"Lang."

"Hmmmm."

Kok dia gak kepo udah gak aku blokir ya? Terus langsung diangkat lagi panggilanku.

"Di mana?"

"Sekolah."

Rasanya aku ingin membunuh Elang eh tapi jawabannya bener sih.

"Iya, tapi lebih detail-nya lo lagi di mana?"

"Emang kenapa?"

"Biasain jawab pertanyaan orang tanpa tanya balik."

"Karena kalo gak penting, gak bakal gua jawab."

"Penting. Cepet jawab!"

"Di belakang lo."

Hah? Di belakang? Aku menoleh ke belakang. Elang berada di sana, di lapangan basket yang baru saja kulewati. Buru-buru aku mendekat dan menyerahkan bekal Nadiya yang membuat beberapa orang mencie-ciekan kami.

"Dari Nadiya. Gak boleh dibuang karena itu makanan dan nanti jadi mubazir. Terus harus lo habisin, anggap aja sebagai permintaan maaf secara gak langsung karena lo udah ngusir dan jahat ke Nadiya."

"Kalo gua tetep gak mau?"

"Pokoknya harus mau."

Elang mengangguk. Menerima bekal yang kuserahkan membuatku sempat blank lalu tersenyum. "Gitu dong."

Menyimpan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang