2. Andrew Bamantara

6.1K 474 13
                                    

Apa yang ada di pikiran pria mampu hidup melajang selama bertahun-tahun diusia relatif muda 30 tahun? Hampir tidak ada yang kurang sebagai modal mendapat pasangan semudah menjentikan jari. Karier moncer, good looking, banyak aset, tidak bisa dibilang kaya-kaya amat, tapi itu magnet kuat. Sosok lumayan sempurna seperti di novel dan film, bukan?

Aku memang bukan orang super kaya raya. Cukup punya dua aset rumah, dua mobil dan bebeberapa aset lainnya.

Penghasilan yang cukup sebagai petinggi perusahaan kecil. Tak bisa dibilang kecil juga karena perusahaan kami nyatanya berkembang pesat.

Aku membangun perusahaanku bersama dua orang sahabat sewaktu kuliah dibantu oleh ayahku.

Bolehlah pamer sedikit.

Jangan anggap pula aku seorang gay karena status single-ku, jelas aku pria normal. Bukan pria yang gagah di luar, namun kemayu di dalam, yang main 'pedang-pedangan'. Membayangkannya saja bikin mual dan jijik.

Kalaupun aku seorang gay, tidak mungkin aku bisa membuat wanita hamil dan melahirkan putri kecil cantik bernama Tiara Kirania Bamantara. Ya, aku ayah satu anak. Ya, ya baiklah, aku seorang duda. Jika kalian bertanya di mana istriku? Dia sudah berada di surga tepat hari ini, empat tahun lalu.

Kehilangannya membuatku tak ingin mencari pendamping lagi.

Entahlah, mungkin akan ada saatnya aku menyerah dengan ke-single-anku ini, bertemu dengan wanita yang cocok. Cocok dengan status dudaku dan cocok dengan Tiara putriku.

Bukannya aku terlalu pemilih, tapi kalau boleh sombong, aku banyak digilai wanita-wanita di luar sana. Tetapi, tidak ada yang bisa membuatku nyaman.

Sesempurna itukah hidupku?
Kuharap iya.
___

Kulangkahkan kaki menuju meja makan. Tiara, Raisa, dan Bi Asih sudah di sana.

Raisa, adik tunggalku bertamu sepagi ini? Pasti ada hal terselubung. Ia dan Aku tinggal dalam satu kompleks perumahan yang sama, hanya beda beberapa blok dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki.
Raisa, Mama dan Papaku tinggal bersama, sedangkan aku bersama Tiara, Bi Asih pengasuhnya, serta Mang Maman sopir khusus Tiara yang bisa dipanggil kapan saja sewaktu membutuhkan jasanya.

"Tumben kamu pagi-pagi sudah nangkring di sini?"

Aku melewatinya yang sudah duduk manis.
Kudaratkan ciuman ke pipi Tiara.
Gadis lima tahun itu membalas ciumanku. Aku mengelus puncak kepalanya dengan sayang. Kemudian, duduk di kursi samping Tiara.

"Memangnya aku burung, nangkring?" sahut Raisa. " Enggak boleh Sasa ke sini? Sasa, kan, kangen Tiara!" Raisa menggerakkan tangannya mengambil roti dan selai nanas. Tidak ada selai cokelat, dan jangan tanya kenapa.

"Jangan racuni anakku dengan kesukaanmu akan manusia plastik!" ucapku to the point.

Raisa dan manusia plastik dari Korea jelas tidak bisa dipisahkan, ia bahkan rela pergi jauh ke Jepang hanya untuk fans meeting dengan idolanya, siap itu? Aku mencoba mengingatnya. BTS dan EXO. Ah! Kenapa aku bisa hafal kesukaannya?

Otak suciku telah terkontaminasi olehnya.

Sasa, panggilan Raisa. Gadis 23 tahun seorang pengangguran kelas berat. Menghabiskan waktu dengan menenggelamkan diri dengan kecintaannya akan hal-hal berbau Korea.

"Sasa ke sini bukan untuk mempromosikan bias, Kak, tapi mau kasih informasi penting!" katany menyuapkan roti yang tadi ia oles selai.

Informasi?

Belum sempat aku menanggapi ucapannya, Sasa, begitu panggilannya kembali buka suara.

"Tapi sepertinya Kakak tidak akan tertarik mengenai bocoran informasi dari Mama yang akan menjodohkan Kakak dengan anak temannya."

Aku tersedak kopi yang baru kuteguk. Mendengar hal itu dari Sasa, membuatku kaget bukan main. Demi dolar yang tembus lima belas ribu rupiah. Apa yang dia katakan barusan? Perjodohan?

"Tunggu, tunggu! A...pa?" mataku melotot pada Sasa yang dibalas tawa olehnya.

___

Kini aku sudah berada di ruanganku, setelah tadi berkunjung ke pusara istriku. Kali ini aku sedang mencak-mencak karena sesuatu.

"Dari siapa cokelat ini, Bi?" tanyaku pada Bi Asih yang menunduk takut mendengar pertanyaan horor dariku. Jelas aku akan meledak sebentar lagi mendapati putriku menerima makanan dari orang asing.

Aku bukannya tidak memperbolehkan Tiara untuk makan cokelat, tapi sebagai ayah, sebisa mungkin melindungi putriku dari makanan yang tidak baik. Tiara sudah terlalu dimanjakan oleh Sasa dan Mama dengan menuruti semua keinginan gadis kecil itu.

Terlebih kini, ia menerima makanan dari orang tak dikenal.

Aku menunggu jawaban Bi Asih, tapi tidak kunjung juga sebuah jawaban meluncur. Wanita paruh baya ini menciut nyalinya.

"Papa jangan marahin Bi Asih." Ucap Tiara padaku.

Aku melihat Tiara, raut wajahnya muram. Mata kecilnya berkaca-kaca, rambut kucir duanya melorot.
Ia tahu kelemahanku. Aku jadi luluh.

"Papa enggak marahin Bi Asih, Sayang. Papa cuma tanya, dari siapa cokelat ini. Tiara tahukan enggak boleh makan cokelat?" jelasku sehalus mungkin.

"Kata Papa makan cokelat bikin gendut."

Aku mengangguk tanda setuju, Tiara melanjutkan kata-katanya.

"Kata Papa gendut itu jelek."

Spontan aku mengangguk. Eh, tunggu?? "Kapan papa bilang gendut itu jelek?" Aku meralat.

"Papa pernah bilang kalau Barbie gendut itu jelek. Harus slim." Nada bicara Tiara polos.

Aku tidak bermaksud mengatakan gendut berarti jelek. Aku menepuk keningku pelan.

Anak ini salah menangkap apa yang aku maksud. Maksudku, Barbie harus terlihat langsing dan cantik agar banyak yang tertarik membeli. Dan untuk urusan cokelat, itu hanya alasan agar Tiara mau berhenti makan cokelat.

Bagaimana menjelaskannya? Aku kehabisan kata-kata.

"Cokelat ini Tiara dikasih Tante Ndut, Pa."

Tante Ndut?
Kubiarkan Tiara melanjutkan ceritanya.

"Tadi Tiara ketemu tante-tante gendut Pa, tante itu juga suka makan cokelat, tapi tante itu cantik. Papa pasti bohong, kan, bilang gendut itu jelek?"

Kini, giliran Tiara mengintimidasiku. Putriku jelas tidak bisa dianggap remeh, ia cerdas dan kritis. Kadang aku kewalahan menanggapi bicaranya yang menurutku terlewat dewasa dari usianya.

Segera kualihkan pembicaraan ini, sudah cukup. Aku kalah. Kubiarkan Tiara memakan cokelat dari wanita asing itu.

Tak apalah sebagai rasa bersalahku karena membuat ia meyakini bahwa gendut itu jelek.

Namun, aku masih penasaran siapa wanita yang dipanggil oleh putriku sebagai 'Tante Ndut' menggelikan sekali panggilan itu.

Aku beralih bertanya pada Bi Asih perihal identitas wanita itu.

"Saya ndak tahu namanya Pak, memang orangnya ayu, berisi badannya, montok!" jawab Bi Asih dengan logat Jawa medok.

Jika Tiara bertemu dengan wanita 'ndut' itu di loby sesuai ceritanya, besar kemungkinan wanita itu adalah karyawanku.

Tapi siapa?

___

TBC

21 Sept 2018

Waiting for You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang