37. (Tak) Akan Ada Cinta Lain

9.7K 426 35
                                    

"Kamu berhak bahagia, begitu pula aku. Lepaskan, biar aku yang pergi."

-Susan-
_

__

"Kamu yakin?" tanya Ratih.

Susan mengangguk mantap.

Ratih melanjutkan, "Kamu salah satu orang terbaik di sini, saya menyayangkan keputusan kamu. Tapi saya tidak bisa melarang. Apa ada masalah?" Ratih menyelidik. Susan menggeleng lemah. "Baiklah, saya akan setujui. Satu bulan satelah saya tanda tangani ini, kamu bukan lagi bagian dari AE Departement dan perusahaan ini." Kemudian, Ratih membubuhkan sebuah garis panjang sebagai tanda hilangnya ikatan kerja antara Susan dan perusahaan ini. Gadis itu sedikit lega.

"Saya minta satu permintaan, tolong rahasiakan pengunduran diri saya pada semua orang. Saya mohon." Susan setengah memelas. Ia tentu tidak ingin membuat gaduh dan sebetulnya permohonan itu hanya untuk satu orang. Susan tidak mau dia tahu kepergiannya yang tiba-tiba ini.

Ratih mengangguk setuju tanpa bertanya alasan. Syukurlah, Susan memang bingung jika ditanya alasan merahasiakan kepergian.

Tidak ada yang bisa dilakukan selain melamun duduk di kubikel, ia menatap monitor komputer yang bahkan belum dibuka fail-failnya. Ini keputusan berat meninggalkan karier untuk sebuah impian dan meninggalkan masa lalu. Tadinya, Susan akan mengatakan pengunduran diri pada pria itu, mendengar sekadar saran atau nasihat, tapi tak perlah lagi mengingat dia, sudah cukup. Susan akan pergi dari hidup pria itu. Susan akan membangun impiannya sendiri. Semuanya, sudah hampir tujuh puluh persen, dan telah siap melangkah untuk kebidupan baru.

___

Seorang wanita paruh baya tiba-tiba muncul ketika sebuah es teh dingin dan macam-macam roti terhidang di hadapan sebagai menu makan siang. Bolehlah Susan makan siang seorang diri di sebuah kafe dekat kantor. Ia ingin menyegarkan otak yang lama hanya makan siang di pantry. Tahu akan menyenangkan makan di luar, kenapa tak dari dulu saja? Begitu pikirnya.

Namun, wanita paruh baya yang usianya ia taksir lebih dari separuh abad itu mengganggunya. Sebuah sisa kecantikan masa muda masih dapat Susan lihat. Anggun dan cantik. Sedikit berisi khas ibu-ibu. Wanita riasan penuh itu memandangi Susan amat lekat. Susan tahu, wanita paruh baya itu bukan orang biasa, dilihat dari sudut manapun ia terlihat berpenampilan mewah dengan tas jinjing yang menarik perhatian. Tas brand terkenal berlogo abjad ketiga yang saling bertolak belakang itu jelas bukan tas yang murah. Susan bertanya-tanya siapa wanita yang duduk di mejanya tanpa permisi ini.

"Kamu Susan?" Merasa namanya disebut Susan mengangguk. "Saya Rosa, mamanya Andrew." Wanita itu memandang Susan tajam dengan suara mengintimidasi.

Susan sering mendengar nama Rosa, tapi baru tahu sosoknya saat ini.

Langsung saja sebuah perasaan tak nyaman menerjang kala Rosa menyebut nama Andrew, putranya.

"Saya dengar kamu punya hubungan dengan anak saya?" selidik Rosa memicing.

Apakah aku harus mengiyakan pertanyaannya di saat kami tak lagi ada hubungan apa-apa?

Susan memilih diam, ingin segera tahu maksud Rosa mendatanginya.

Rosa melanjutkan, "Andrew telah saya jodohkan denga Lissa. Mungkin kamu sudah dengar siapa Lissa? Orang yang kamu temui di lift bersama Andrew."

Satu fakta keluar dari bibir Rosa, ternyata Andrew tidak jujur telah dijodohkan. Ada yang menusuk dada Susan.

"Mungkin juga kamu bertanya-tanya dari mana saya tahu soal kamu dan hubungan kamu dengan anak saya. Saya tahu dari Lissa. Calon istri Andrew." Wanita itu memperjelas status Lissa.

Waiting for You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang