7. Penasaran

4.5K 412 24
                                    

"Adeeek ...." Susan menghambur pada Bagas yang bersandar pada mobil memainkan ponsel. Ia menunggu Susan pulang kantor. Mereka sengaja janjian bertemu.

Dipeluk erat tubuh jangkung adik laki-laki satu-satunya itu. Bagas tak membalas pelukan, seakan malu dengan kelakuan kakaknya di tempat umum begini. Susan, sih masa bodo. Sudah tiga bulan tidak bertemu muka pada Bagas yang sibuk bekerja di luar kota tanpa bisa mengunjunginya sekali pun.

Biasanya dalam beberapa bulan sekali, Susan, Citra, dan Bagas, akan meluangkan waktu untuk bertemu membahas banyak hal, atau sekedar kumpul keluarga.

"Apaan sih lu, Teh. Malu tahu peluk-peluk. ih!" Bagas berusaha melepas pelukan posesif. Bibir Susan maju. Sengaja ia menemui Susan karena kebetulan sedang bertugas di Jakarta.

"Kangen tau!" Susan melepas pelukan walau belum rela.

"Nih, lu yang bawa!" Dilemparnya kunci mobil. Refleks ditangkap Susan.

"Ish, males banget. Lu aja yang bawa."

"Capek gue nyetir di sini. Macetnya ampun-ampunan. Lu, kan hafal jalanan sini. Entar gue traktir." Bagas menyogok, iming-imingi sesuatu yang sebenarnyan tidak bisa Susan tolak.

"Pengin makanan Korea-Korean. Traktir, ya? ya? ya?" Pinta Susan seraya memamerkan Puppy eyes andalan berharap Bagas luluh. Bagas mencubit pipi chubby kakaknya.

walaupun Susan seorang kakak dengan dua orang adik. Tapi, terkadang ia manja dengan mereka. Tak jarang sering pula dimarahi oleh mereka karena menganggap Susan terlalu berkelakuan aneh.

Contohnya seperti pernah sekali waktu Susan tidak memberi tahu adik-adiknya perihal pergi solo traveling selama lima hari tanpa memberi kabar pada mereka. Dikiranya Susan telah tiada. Tapi, mereka tahu, dibalik sikap Susan yang kadang manja ini, kakak mereka itu memiliki sifat yang mandiri dan tangguh.

Terbukti ketika kedua orang tua mereka tiada, Susan satu-satunya orang yang tidak meneteskan air mata di depan mereka. Susan bukannya tidak bersedih, tapi ia berpikir bahwa, kalau sebagai kakak saja ia lemah dan sedih, maka, adik-adiknya akan jauh lebih lemah dan sedih daripada dirinya.

"Oke. Tapi lu yang nyetir ya!"

"Oke. Berangkat!" Susan berada di belakang kemudi, disusul Bagas duduk di sampingnya. Ia agak sedikit gugup, sudah cukup lama tidak menyetir.

"Masih kagok aja. Eh, si Teh Citra lamaran bulan depan. Datangkan? Apa kata orang nanti kalau Teteh enggak datang."

"Iyalah gue datang. Kan perwakilan keluarga yang paling dituakan. Tapi, males juga sih datang, entar ditanya yang aneh-aneh." Mobil sedari tadi hanya begerak pelan, Susan melihat Bagas mengetikkan sesuatu sambil tersenyum simpul. "Dih, gila senyum-senyum sendiri." Susan menggoda ketika didapatinya Bagas tertawa pelan hampir tak terdengar. Susan masih konsentrasi ke jalanan.

"Sialan! Teteh udah punya calon belum, sih? kok nggak pernah dikenalin ke gue?" tanya Bagas tedeng aling-aling. Susan mendelik kesal. Tidak biasanya Bagas bertanya hal macam-macam.

"Enggak ada!" Jawab Susan ketus, Susan melanjutkan. "Enggak biasa-biasanya lu tanya gue begitu?"

Sebenarnya pembahasan pernikahan adalah hal yang sangat sensitif, termasuk pembahasan tentang cinta dan sejenisnya. Bagi Susan, tidak ada yang mau menjadikannya pacar apalagi menjadikan istri. Susan cukup tahu diri dengan keadaannya yang penuh kekurangan fisik. Susan mungkin akan menunggu seseorang yang tidak akan pernah ada.

Waiting for You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang