26. (Masih) Perih

3.7K 346 11
                                    


Berita Andrew memiliki kekasih sudah menyebar sampai ke AE Department. Susan yang beberapa hari tidak bekerja sebab cuti, mendengar berita langsung dari Tanti. Tanti bagai kebakaran jenggot melihat Andrew berjalan dengan wanita cantik yang langsung disimpulkan olehnya wanita itu adalah kekasih bossman. Susan mengaitkan bahwa Tanti pasti melihat lelaki itu bersama Anita.

Tak hanya Tanti, Susan pun merasa hatinya terbakar mendengar itu. Tak ada yang lebih menyakitkan melihat orang yang mulai cintainya bersama perempuan lain.

👠👠👠

Sulit bagi Susan menolak ajakan bertemu yang diminta Anita, alasan apapun yang Susan berikan mampu ditangkis oleh Anita secara kritis. Susan kehabisan akal menolak.

Ia tahu, Anita hanya akan membicarakan hubungannya dengan Andrew yang semakin hari semakin dekat, membuat Susan sesak.

Senyum palsu yang Susan pasang harus selalu menghias wajahnya kala Anita dengan semangat menceritakan kencan dengan Andrew di berbagai tempat.

Kencan? Bahkan mereka sudah berkencan hanya dalam waktu singkat.

Anita bercerita panjang lebar apapun tentang Andrew, termasuk ketika Andrew membelikan sebuah sepatu keluaran terbaru merk terkenal, dan dengan amat terkejut Susan mengenali jenis sepatu itu. Suede Shopia Heels dengan tinggi 4 inci.

Heels yang sama dengan heels idamannya.

Susan pernah mengagumi heels itu bersama Andrew, lelaki itu tahu pasti Susan mengidamkan heels yang kini milik Anita. Dan dengan tabah hati harus disaksikannya Andrew membelikan untuk Anita, bukan untuknya. Heels yang amat ia inginkan. Hati Susan diremas, tapi Susan mampu menormalkan batinnya yang bersedih.

"Dia beliin gue sepatu ini. Bayangin, harganya aja jutaan! Dia rela ngeluarin uang cuma buat ngebeliin gue sepatu. Senang pake banget gue. Ya... walaupun ukuran yang dia beli kegedean." Anita amat senang, mendekap sepatu itu erat-erat seperti enggan kehilangan.

"Bagus! Cantik!" komentar Susan. Tidak ada kata apapun lagi setelah itu.

Susan menyadari ia telah jatuh hati pada Andrew. Susan tidak menampiknya kali ini. Ia sadar, perasaannya detik ini juga bermakna cemburu. Cemburu menyaksikan Anita yang amat terlihat bahagia karena perhatian yang Andrew berikan. Iri pada senyum ceria Anita yang menambah cantik paras gadis di depannya.

Harusnya ia juga bahagia melihat hubungan Anita dan Andrew yang sudah dekat. Bukankah misinya berhasil? Bukankah memang itu tujuan Susan? Tapi, kenapa malah ia sendiri yang menahan sakit? Apa seperti ini sakit akibat cinta?

"Ayo gue traktir beli Jimmy Choo!" ajak Anita sebagai imbalan membantu hubungan mereka yang sukses.

"Jimmy Choo mahal, enggak usahlah!" Susan tak ingin seolah rela menukar rasa cintanya hanya demi sebuah sepatu. Begitu murah harga dirinya jika ia menerima imbalan dari Anita.

"Ayolah, gue dekat sama Andrew kan gara-gara lo. Gue sudah janji." Anita memaksa.

"Enggak usah, beneran."

"Gue traktir makan aja ya? Mau ya?" Anita dan Andrew tipe orang yang sama persis, pemaksa.

Mau tidak mau Susan mengiakan, walau sebenarnya malas.

👠👠👠


Anita mangajak Susan makan di sebuah restoran khas western. Anita memesan tenderloin steak dengan tingkat kematangan medium, sedang Susan memesan sirloin steak dengan tingkat kematangan well done.

Tanpa diduga Susan, Andrew hadir di antara mereka. Usut punya usut, Anita meminta Andrew datang untuk makan siang bersama.

Andrew dan Anita mengobrol akrab, kadang Andrew melempar canda, Anita menangkap itu dengan tawa. Sedang Susan, hanya bisa menyaksikan keakraban mereka tanpa ekspresi apapun. Susan memilih diam dengan perasan diremas-remas. Bisakah ia benar-benar enyah dari sini? Susan dibuat seolah tidak hadir. Sesak hadir sebagai efek samping.

Akhirnya pesanan datang, tapi ....

"Bukannya lo pesan sirloin? Kok, yang datang tenderloin? Sini gue mau protes!" Anita berdiri dari kursinya, hendak protes karena makanan yang datang tidak sesuai dengan pesanan.

Susan mencegah, "Udah, enggak usah, tenderloin juga enggak apa-apa, sama-sama steak." Susan tidak ingin memperpanjang urusan hanya karena makanan. Ia ingin cepat angkat kaki dari tempat ini.

"Tapikan lo pesennya sirloin! Lo selalu begitu deh! Pasrahan orangnya," kata Anita seraya duduk kembali.

"Cuma makanan doang, enggak usah diperpanjang."

Andrew memperhatikan Anita dan Susan bergantian dengan tanpa ekspresi.

Selepas makan, Susan meminta izin ke toilet. Baru berdiri dari duduk dan memutar tubuh, tiba-tiba, seorang pelayan membawa nampan berisi tiga cangkir kopi panas, menubruknya, Susan lambat menghindar.

"Aauuu!!" Susan mengaduh mendapati air kopi yang sedang mengepul panas mengguyur tangan dan dadanya.

Andrew refleks berdiri melihat dengan jelas Susan terguyur. Lelaki itu mengepal tangan, hendak bereaksi keras, tetapi Anita lebih cepat bertindak.

Anita naik pitam, "Gimana sih, Mas! Hati-hati dong bawa kopinya. Lihat tuh! Teman saya ketumpahan."

Susan mengibas-ngibas tangan dan pakaian agar panas yang terasa di dada dan tangannya mereda. Pasti akan melepuh dan perih beberapa saat lagi. Noda hitam dan lengket melekat di pakaiannya yang berwarna cerah.

"Maaf, Bu saya enggak sengaja. Maaf!" kata pelayan dengan muka bersalah dan takut.

"Tapi ini teman saya kesakitan. Kalau bawa __"

"Udah Nit. Gue enggak apa-apa. Lain kali hati-hati, Mas!" Hanya itu yang dikatakan Susan, ada nada kesal, tapi lebih banyak menahan sakit.

Dengan segera Susan melewati meja-meja pengunjung, berbelok ia ke belakang.

Dilihatnya Susan ke arah toilet, Andrew membuntuti.

"Saya ke toilet dulu ya." Andrew pada Anita-- yang mengangguk masih di tempat.

Susan membasuh kulit yang mulai memerah perih. Kemeja peach-nya berubah warna plus bonus aroma kopi. Susan sebisa mungkin membersihkan ampas. Membasuh berkali-kali meski gagal noda tetap tercetak.

***

Tidak ada niatan untuk ke bilik toilet, Andrew memilih menunggu Susan di lorong, rela diperhatikan ganjil oleh wanita-wanita yang melintas.  Beberapa saat kemudian, Susan keluar dengan pakaian yang entah berwarna apa.

"Sini saya lihat luka kamu!" Andrew menarik hati-hati tangan Susan.

Susan menarik kembali tangannya. Ia tidak ingin ada kontak fisik apapun dengan siapapun. "Saya enggak apa-apa."

"Saya hanya ingin lihat. Keras kepala!" Andrew sedikit kesal. Dilihatnya kembali tangan Susan yang memerah. Pasti sakit. "Ikut saya!" ditarik tangan Susan yang lain untuk memgikutinya.

Andrew selalu membawa perlengkapan P3K di dalam mobilnya. Ada berbagai obat-obatan untuk berjaga-jaga termasuk gel luka bakar.
Dengan hati-hati, Andrew mengolesi luka melepuh pada tangan Susan. Tanpa satu patah kata pun, ia membaluri luka dengan gel dingin.

Susan memperhatikan dalam diam. Gadis itu tidak mengerti mengapa Andrew bersikap seperti ini lagi. Perhatian ini seharusnya untuk Anita, bukan untuknya. Bukankah sudah ada Anita di hati pria ini? Berulang kali Susan diserang rasa perih dua kali lipat, perih di fisik, dan perih pada hatinya.

Susan berusaha menarik tangannya yang masih diobati sambil berkata, "Saya bisa sendiri." Semua ini demi hatinya agar tidak terpengaruh sikap manis pria yang wajahnya menampilkan kecemasan.

"Diam!" Andrew tidak mau dibantah, menahan tangan Susan dan masih mengolesi gel itu tanpa memandang ke arah Susan. "Saya antar kamu pulang, kamu harus istirahat. Apa kita perlu ke dokter?" tanya Andrew dengan nada khawatir.

Hening sesaat di antara mereka.

Susan mengumpulkan keberanian menatap Andrew. "Kenapa? Kenapa kamu bikin aku bingung?" Susan berbicara lirih. Andrew tersentak.

👠👠👠
TBC

vote and comment for appreciated my story ⭐⭐💬💬 ❤️❤️

Waiting for You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang