4. Tak Terduga (Lagi)

5K 414 13
                                    

Sebuah penelitian menemukan bahwa, orang single lebih menghargai pekerjaan. Dan, orang single terbukti lebih bahagia.
Catat!
B A H A G I A ....

Kata siapa? Mau bukti? Silakan saja datang ke kantor Badan Pusat Statistik. Maka, kalian akan tercengang mendapati angka 71,53% orang single lebih bahagia daripada kalian yang berpasangan.

Itulah kira-kira isi pikiran Susan yang tengah berada di angkutan umum menuju kantornya.

Ia dongkol, melihat banyak orang-orang berpasangan mesra bergandengan tangan. Sepasang anak SMA, sepasang muda-mudi seperti anak kuliahan, dan sepasang paruh baya, seakan mencebik status kejomloannya. Ah tidak, bukan jomlo tapi single. Nantilah kapan-kapan Susan akan memberi tahu perbedaan jomlo dan single.

Memindai seluruh bangku di angkutan umum ini, hatinya panas, ternyata hanya dia yang tidak berpasangan.

Buat apa cinta? Memang bisa bikin kenyang. mamam tuh cinta!

Wanita itu tak habis-habisnya mengejek sesuatu yang tak pernah salah. Cinta.
wanita itu menganggap bahwa cinta sejati antara lawan jenis itu tidak ada, kecuali cinta sejati ibu pada anak yang telah ia buktikan sendiri.

Dalam benaknya, cinta adalah hal sia-sia dan menguras energi. Tanpa disadari, ia membuat benteng untuk dirinya sendiri. Menutup rapat akses masuknya cinta.

____

Tak biasa-biasanya Susan telat begini, tergopoh-gopoh ia berlari menuju lift.
Dilihatnya pintu lift hampir tertutup. Ia berlari semakin kencang. Untung hari ini tak memakai stiletto hitam kesayangannya, jadi ia bisa berlari lebih leluasa.

Syukurlah ia bisa masuk ke lift tepat waktu sebelum tertutup. Dipencet tombol lantai tujuan. Diatur napas yang pendek-pendek ini.

Pemandangan menyebalkan di angkutan umum tadi menjadi penyebab ia telat. Tidak menyadari angkutan umum yang ditumpangi telah melewati kantor, ia sadar saat sudah terlewat jauh.

Berlari secepat mungkin, menerobos kerumunan orang, dan menyebrang JPO adalah bagian drama kesialannya pagi ini.

Lobby kantor sudah sepi, dilihat jam tangan. Dua puluh menit lewat dari jam delapan. Susan terlambat, sungguh dua puluh menit yang menyiksa.
Prestasi keterlambatan yang patut diberi penghargaan.

Tak dihiraukan penampilan yang kacau balau seperti habis berkelahi. Pikiranny sudah buntu, menyusun alasan apa yang harus diberikan atas keterlambatan perdana ini.

Demi Tuhan, selama dua tahun bekerja, hari ini, adalah satu-satunya hari dimana Susan seperti tidak niat bekerja. Lusuh banjir keringat.

Dibentur-benturkan dengan halus kening ke dinding lift sambil memejamkan mata, Susan merubah posisi menghadap kanan. ia Mencondongkan tubuh. Dibenturkan lagi. Masalah akan menimpanya, Ratih pasti tidak mentolerir keterlambatan dan keadaan walupun ini yang pertama kali.

Sebuah suara dehaman mengagetkan, menghentikan aktivitas yang jika dibiarkan membuat gegar otak.
Susan pikir ia sendirian di lift ini. Ketika menoleh ke belakang, ia terkejut buka main mendapati seorang pria ada di belakangnya, sontak ia latah.

"BENCONG BERANAK!" Susan memekik keras seraya mengelus dada tersandar di dinding. "Astaga!" Pekiknya lagi saat tahu orang yang ada di lift bersamanya adalah ayah dari gadis kecil itu.

Seorang pria yang menyatakan bahwa gendut itu jelek. Masih saja Susan menyimpan dendam. Tapi, kakinya lemas seperti tidak menapak. Susan mulai mengatur napas.

Kesialan apa lagi ini Tuhan! Serunya dalam hati.

Susan mencoba menormalkan kondisi seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dibenahi tatanan rambut yang acakadut, ia harus terlihat cool.

Pria itu menatapnya datar seperti manekin tanpa ekspresi.

"Sudah terlambat, masih sibuk berdandan!" Pria itu akhirnya bersuara.

"Sorry? Enggak ngaca? Situ juga terlambat, kan?" Jawab Susan sinis, memindai pria itu yang terlihat maskulin dengan kemeja biru mudanya.

Pria itu mengerutkan dahinya. Seperti ekspresi heran.

Pria itu berkata lagi, "Bilang ke atasan kamu untuk menghukum kamu karena terlambat!"

Susan tak mau kalah. "Bilang juga ke atasan kamu untuk memecat kamu karena terlambat."

Good job, Susan!
Suara hatinya mendukung.

"Kamu benar-benar tidak tahu siapa saya?" Pria itu menaikan suara. Maju satu langkah.

"Enggak! Saya enggak tahu siapa kamu, dan saya enggak mau tahu!" Jawab Susan dengan senyum sinis di ujung kalimat. Susan ikut maju satu langkah.

Pria itu hendak membalas ucapan, namun pintu lift terbuka. Susan langsung menghambur keluar secepat ia bisa. Meninggalkan pria itu yang rahangnya mengeras dengan mulut terbuka.

Dasar cowok sialan, berani-beraninya dia bentak gue? Dia pikir dia siapa? Boss di sini?

___

"Ckckck, kacau kamu Susan, habis tawuran di mana kamu?" Ratih menggelengkan kepalanya memindai Susan dari atas ke bawah.

Susan hanya menunduk takut.

"Rambut awut-awutan, sepatu teplek, kemeja kusut..."

Ratih tidak mentolerir sesuatu yang tidak enak dipandang, baginya tidak ada flat shoes dan tidak ada rambut yang tidak tertata rapi. Semua harus cantik seperti dalam kamusnya.

Susan mangsanya hari ini.

"... lebih baik tidak usah masuk kantor kalau penampilan kamu seperti ini, memalukan!" Ratih bukan penganut paham don't judge a book by it's cover. Baginya, penampilan luar yang menawan adalah hal mutlak demi menunjang pekerjaan. Pekerjaan yang banyak bertemu orang baru dan harus menuntut tampil sempurna.

Susan memejamkan mata takut untuk menatap ke garangannya saat ini.

"Ini pertama dan terakhir kalinya kamu terlambat, sudah sana!" Ratih memerintah keluar ruangan, Susan menurut.

Diputar badan ke arah pintu, tapi suara panggilan Ratih menghentikan gerakan.
"Susan!"

Apa lagi ini? Apa Bu Ratih lupa menghukum gue?

"Besok persiapkan diri kamu untuk presentasi di depan para atasan, kamu yang akan mewakili AE Department!"

"Ba_baik, Bu." Jawabnya masih ada sisa takut.

Hanya presentasi? Baiklah itu hal kecil buat gue.

___

25 Sept 2018

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

25 Sept 2018

Waiting for You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang