Ada beberapa hal yang selalu Davka takuti. Pertama, Tuhan. Kedua, kemarahan ayah dan ibu. Davka selalu mencoba sebisanya, agar menjadi seseorang yang berguna. Walaupun hanya sebagai penghias sebuah hubungan, bernama keluarga.
Ia ingin diakui, bukan dianggap angin dan tak pernah disadari kehadirannya. Ia selalu menghindari acara keluarga. Bukan keinginannya untuk menghindari sebuah acara keluarga, hanya saja ... dia sudah dibiasakan untuk tidak termasuk di dalamnya. Ketika seluruh anggota keluarganya tengah bersantai, menikmati camilan dan minuman yang disajikan sembari mengobrol ria dengan canda dan tawa, lain hal dengan dirinya.Dia di kurung di dalam kamar sempitnya. Dikunci dari luar dan tak boleh melangkah barang menghilangkan dahaga, walau dengan setetes air.
Davka hanya mendudukkan dirinya di lantai kamar. Di tangannya, sebuah buku pelajaran menjadi teman. Otaknya sejak tadi berusaha mengingat apa-apa saja yang tertangkap indera penglihatannya. Kamar sempitnya ini hanya memiliki satu jendela kecil, yang letakkanya juga sedikit tinggi. Ukurannya, kira kira hanya 30 X 25 cm. Tempat keluar masuknya udara dan sedikit cahaya. Tidak ada lampu, hanya ada bias cahaya dari ventilasi antara pintu, yang memancarkan cahaya. Dengan cahaya yang super sedikit itu, Davka harus belajar. Membaca dan menyimpan kata demi kata di dalam otaknya.
Beberapa kali ia mengucek matanya yang mulai perih, karena dipaksakan membaca dalam ruangan gelap.
Biasanya, Davka akan belajar di belakang rumah, sebab di sana terdapat lampu penerang yang tentunya cukup untuk membuatnya dapat membaca dan mengerjakan tugas dengan baik. Walaupun harus berteman dengan nyamuk-nyamuk nakal yang siap menghisap darahnya, tetapi Davka sudah cukup bersyukur karena di sana, ia bisa belajar dengan baik.
Kursi belajar yang biasa ia gunakan sebagai pengganjal pintu itu, sebenarnya tak memiliki meja. Alias hanya sebuah kursi saja, sebagai isi dari kamar sempitnya. Biasanya, ia gunakan sebagai meja jika dadanya sesak dan sulit menulis dalam posisi tengkurap.
"He ... dia. Has already ...?" Davka menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba gatal. "He has ... alrea-dy ... arri-ved ... home."
Dengan penerangan super minim, ia mencoba membaca kata demi kata yang tertulis di bukunya. Sudahlah penerangan minim, tulisannya pun sulit dibaca. Davka merutuki dirinya sendiri. Kenapa dia tidak bisa seperti teman-temannya, yang menulis dengan rapi?
"Al-rea-dy, atau ... yet?"
Davka mendesah kasar. Sangat sulit belajar dalam keadaan seperti ini. Kenapa acara keluarga itu tak kunjung selesai? Oh, ayolah. Davka sudah sangat haus. Terlebih lagi perutnya sudah terasa lapar dan minta segera diisi, sebab dari pagi, ia hanya makan sedikit. Itu pun dengan cara diam-diam, takut ketahuan.
Bagaikan keajaiban, beberapa saat kemudian, pintu kamarnya dibuka dengan kasar. Disertai wajah sang ibu yang muncul.
"Keluar dan bersihkan ruang keluarga. Cepat!"
Kata-kata ibu memang selalu kasar dan memekakkan telinga. Namun, Davka masih bersyukur, karena ibunya masih mau bicara padanya. Lain hal dengan ayahnya yang tak pernah bicara padanya, tetapi selalu memberinya hadiah. Hanya saja, Davka tak suka dengan hadiah dari ayah. Tidak pernah mau, mendapatkannya. Sayangnya, ayah selalu memberinya walaupun ia tidak mau.
"Kau tuli, hah?! Cepat keluar dan bersihkan ruangan keluarga, sekarang!"
Davka akhirnya berdiri. Bersyukur, pintu kamarnya itu dibuka. Jadilah ia bisa menuntaskan dahaganya barang dengan setetes air.
*****
Ruang keluarga, sudah selesai ia bersihkan. Sudah bersih seperti semula. Davka menghela nafasnya, melangkahkan kakinya menuju dapur. Menyimpan kembali peralatan bersih-bersih yang tadi ia gunakan ke belakang. Ia juga ingin minum. Kerongkongannya terasa haus sekali. Meneguk air cukup banyak untuk mengganjal perutnya yang terasa sangat lapar.
"Ngapain lu? Nyolong, ya?b"
Davka menoleh, sesaat setelah ia berhasil meletakkan kembali gelas yang sudah ia cuci.
Adik laki-lakinya berdiri di sana, sambil melipat kedua tangan di depan dada.
Davka tersenyum tipis, "Enggak kok. Abang tadi habis minum," jawab Davka jujur.
Anak laki-laki itu mencibir, "Najis. Siapa elu? Abang? Abang gue? Najis kali, gue punya abang kaya lu."
Davka hanya menunduk. Harusnya ia ingat, kalau dia tidak ada hak sama sekali untuk menganggap dirinya sebagai anggota keluarga di rumah ini.
Sebenarnya, Davka memiliki dua adik kembar. Satu laki-laki dan satu perempuan. Adik-adiknya adalah anak yang berwajah tampan dan juga cantik. Hanya saja, mereka tak pernah bertutur kata lembut jika sedang bersamanya. Adik laki-lakinya bernama Arfan. Sementara adik perempuannya bernama Ayara.
Mereka hanya satu tingkat di bawah Davka. Hanya saja, ya ... seperti yang terlihat sekarang. Tiada hari tanpa berteriak dan menatapnya dengan pandangan siap membunuh.
Ah! Sudahlah, Davka memilih diam saja. Percuma jika ia berkoar-koar. Toh hanya akan membuatnya lelah. Lagi pula, apa kabar jantungnya? Pusat kehidupannya? Yang ada, dia bisa mati dalam sekejap mata.
****
Hal yang Davka suka, adalah saat-saat berkumpul bersama sahabatnya. Tuhan, senantiasa berbaik hati padanya.
Biarlah di rumah ia hanya bagaikan seonggok sampah, tetapi di sekolah, ia bisa mendapatkan teman dan dianggap keberadaannya walaupun hanya dengan segelintir orang.
Deon merangkul pundaknya. Sejak tadi, Davka menahan sakit kepala yang ia rasakan. Tubuhnya pun terasa lemas, tetapi tidak begitu ia tunjukkan kepada teman-temannya. Ia tak mau merepotkan. Sudah cukup keluarganya saja yang merasa repot akan kehadirannya. Jangan yang lain.
"Ka, nanti malem ada acara gak?" tanya Deon.
Jelas saja, Davka menggeleng. "Enggak ada. Memangnya kenapa?"
Angga ikut-ikutan merangkul bahu Davka di sisi lainnya. "Jalan kuy! Makan-makan kita. Gue yang traktir deh, kalo lu ikut," ajak Angga.
"Nah Ka, ikutan yuk! Jarang-jarang si Angga mau traktir." Kali ini, Shafa yang berbicara.
Satu-satunya gadis yang tidak pernah memandang jijik dirinya.
Davka tersenyum manis, "Maaf, kayaknya aku gak bisa deh," ujar Davka lembut. Terdengar sekali dari suaranya, jika ia merasa bersalah.
"Kenapa sih, Ka? Sekali-kali lho, ini. Gak setiap hari."
Pemuda itu tersenyum lagi. "Kata ibu, malem itu waktunya belajar sama istirahat. Lagian, angin malam 'kan gak bagus, nanti sakit kata ibu."
Shafa mendesah, "Aihh, Ka. Lo kayak anak cewek aja, sih. Gue aja gak segitunya juga."
"Nah, bener tuh kata si Shafa. Ayolah Ka ... please!" Angga ikut-ikutan membujuk.
"Kalian aja. Lain kali aku ikut. Lagian 'kan, ibu gak bolehin pasti. Ayah juga. Nanti mereka malah khawatir kalo aku main dan pulang larut."
Itu hanya alasan saja. Davka tahu dia salah. Berbohong kepada ketiga sahabat tersayangnya itu. Namun, bagaimana lagi? Bisa-bisa ia dibunuh oleh ibu atau ayah, jika pulang larut.
"Astaga, Ka. Beneran deh, gue penasaran banget sama ibu yang sayang banget sama lu itu," celetuk Angga.
"Ho'oh, Ka. Lain kali, kenalin kita sama nyokap lo, ya?"
Davka tersenyum dan mengangguk, "Iya, lain kali."
Maaf, aku bohong lagi sama kalian. Aku harap, kalian gak pernah ketemu sama ibuku, dan tau bagaimana keadaanku, batin Davka.
*****
TBC :))
Yang ini.. lumayan :)
1k ++
Yuk.. yukk.. di Vomments.Sampai jumpa nanti:))
28-9-18 / 02.01
Revisi: 23.09.20
KAMU SEDANG MEMBACA
✔DAVKA
Teen FictionAll Right Reserved ©2018 Windarti Rahma Dani Start: 17 September 2018 Selesai: 28 November 2019 Revisi: 17 September 2020-23 September 2020