Dulu sekali, Davka pernah berharap jika suatu hari nanti, akan ada hari baik. Di mana ia akan menghabiskan detik demi detiknya dengan senyum kebahagiaan.
Dulu sekali, Davka pernah bermimpi, memiliki keluarga yang sangat menyayanginya. Peduli padanya dan tidak pernah berlaku kasar padanya.
Sekarang, Tuhan mengabulkan doa-doanya. Lihat, kan? Tuhan itu, tidak pernah tidur.
Hari di mana ia kembali dipertemukan dengan orang tua kandungnya, awalnya menjadi hari paling membingungkan sedunia. Davka ingin marah. Ingin berteriak benci, tetapi diurungkan.
Kenapa Tuhan menyembunyikan ini semua darinya? Kenapa orang tuanya baru datang, setelah belasan tahun ia menerima perlakuan semena-mena dari orang-orang yang Davka sebut keluarganya?
Sekarang, Davka paham. Tuhan, memang Maha membolak-balikkan hati. Tuhan tahu, kapan waktu yang tepat untuk memberikan kebahagiaan kepada makhluknya.
Davka kira, dia sudah mati waktu itu. Ia ingat, hari di mana ia diusir, lalu sekarat di tengah jalan. Ia ingat semuanya dan saat ia membuka mata, semuanya berubah. Rasa sakit itu, sudah perginentah ke mana. Tidak pernah kembali lagi.
Davka kira, sepasang manusia baik hati yang tersenyum menyambutnya saat membuka mata itubadalah malaikat dan bidadari Tuhan. Namun, hey! Itu memang benar. Davka tidak tahu lagi, bagaimana kelanjutan hidupnya jika waktu itu dia mati.
Kenyataannya, Tuhan memberinya kesempatan hidup untuk menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi dan Davka bersyukur, karena Tuhan selalu ada bersamanya.
Entah, jika waktu itu dia mati, apa akan ada orang yang mau mengurus jenazahnya dengan layak? Atau nantinya ia hanya akan dilemparkan ke sungai, karena menjadi jasad tanpa identitas? Sungguh, Davka tak bisa membayangkannya.
Lalu, apakah Davka boleh tahu, bagaimana kabar ayah dan ibu sekarang? Bagaimana kabar adik-adiknya? Apa mereka baik-baik saja? Apa mereka sekarang bahagia karena dirinya sudah pergi jauh, sesuai dengan keinginan mereka selama ini?
Perlakuan mereka, memang amatlah buruk, tetapi Davka sadar diri. Mungkin jika tidak ada mereka, ia tak akan pernah merasakan bagaimana menjadi remaja yang kuat. Bagaimana caranya memupuk kesabaran dan memasang hati sekuat baja. Jelas, Davka mempelajari semuanya dari sikap dan sifat keluarga lamanya, kepadanya.
Hei, Davka. Lihat ke depan, sekarang!
Keluargamu yang sebenarnya, sudah kembali! Mengapa kamu masih mengingat masa-masa kelam itu lagi?
Nyatanya, setiap mengingat semuanya, Davka merasa sesak. Hatinya bak dihantam godam, lalu diremat kuat hingga hancur tak bersisa. Air matanya menetes deras begitu saja. Membasahi pipi-pipinya yang mulai berisi.
Hm, yeah. Davka makan dengan baik, sekarang. Makanannya pun, lezat-lezat. Selalu berhasil menggugah seleranya. Mau apa pun, ia tidak perlu takut lagi. Semuanya akan dituruti.
Ia tidak perlu mencuri makanan lagi. Ia tidak perlu makan dengan sembunyi-sembunyi lagi dan ia tidak perlu makan-makanan yang nyaris basi lagi. Karena semua yang ia mau, sudah tersedia di depan matanya.
Apakah Davka harus sombong sekarang?
Tidak! Ia tidak boleh seperti itu. Ingat, semua yang menjadi milik kita, hanyalah titipan. Bagaimana jika apa yang sudah Tuhan berikan kepada kita, lalu diambil begitu saja di kemudian hari, karena kita berlaku sombong?
"Anak Papa kenapa nangis, Nak?"
Davka baru tersadar dari lamunannya, saat sepasang tangan kokoh sang ayah, mengusap pipinya yang basah. Astaga Davka, ayolah. Sudah berapa usiamu sekarang? Kenapa masih sering menangis seperti anak kecil, eh?
"Enggak apa-apa, Pa," jawab Davka. Entah sudah tak terhitung berapa banyak ia berbohong, kepada papanya itu.
"Yang benar?" tanya Davian. Ia merangkul putranya dengan sayang. "Kalau ada apa-apa, cerita dong, sama Papa."
Davka tersenyum tipis. Rangkulan papa memang hangat. Davka menyukainya. "Beneran enggak ada apa-apa, Pa," jawabnya. "Davka cuma ... inget teman-teman Davka, Pa."
Davka tidak berbohong. Ia juga merindukan teman-temannya. Shafa, Deon, Angga. Karena ketiga sahabatnya itu sudah sejak lama, pulang ke Indonesia. Davka bahkan lupa, ini sudah bulan ke berapa, mereka tidak bertemu lagi. Davka benar-benar merindukan mereka. Sayangnya, ia tidak bisa menemui mereka.
Davian mengecup pucuk kepala putranya dengan sayang. "Kan nanti kalau teman-teman Davka liburan sekolah, Papa bawa lagi mereka ke sini."
Papanya memang sangat baik, kan?
"Tapi masih lama kan, Pa ....""Kalau dibawa santai, enggak akan lama kok, Nak." Davian tersenyum. Menatap wajah yang sangat mirip dengan wajahnya itu. Matanya, senyumnya, dan semuanya. Sangat mirip kepadanya. "Atau, gini aja. Teman-teman kamu 'kan, sudah kelas 12 ya, kalau di Indonesia?"
Davka mengangguk.
"Papa kepikiran, gimana kalau Papa tawari mereka untuk melanjutkan study ke Belanda? Terus, mereka bisa tinggal di sini, deh."
Davka tidak berbohong. Matanya bahkan berbinar-binar, dibuatnya. "Tapi, memangnya mereka mau, Pa?"
"Papa enggak yakin, sih," ujar Davian. "Tapi, kalau mereka mau, Papa ingin membantu mereka dalam hal biaya dan lain sebagainya. Papa ingin, teman-teman kamu, bisa jadi orang sukses nantinya. Papa enggak masalah, nanti mereka mau ambil jurusan apa dan kuliah di Universitas yang mana. Semuanya di tangan mereka. Karena Papa cuma ingin anak Papa bahagia."
Davka terdiam. Lalu, bagaimana dengan dirinya?
"Kalau mereka kuliah di sini ... Davka gimana, Pa?" tanyanya pelan.
"Maksudnya apa, Sayang?" Davian mengusap pucuk kepala putranya dengan lembut.
"Ap-apa, Davka juga ...."
Oh. Davian mengerti. "Papa serahkan semuanya ke kamu, Sayang. Asal, anak Papa harus bisa jaga diri dan enggak boleh kenapa-napa."
Matanya kembali berbinar. "Serius, Pa?! Davka nanti boleh ikut teman-teman Davka kuliah?!"
"Iya, Sayang. Boleh, dong!" ujar Davian, dengan senyumnya. Ia mengusap pucuk kepala Davka, dengan penuh kasih sayang. "Apalagi 'kan, sebentar lagi, Davka bakal punya adek. Jadinya, Abang Davka harus jadi orang sukses!"
Eh, bagaimana?
"Mak-maksud Papa?" tanya Davka tak mengerti.
Davian memeluk putranya dengan sayang. "Iya. Sebentar lagi, Davka bakal punya adek. Senang, enggak?"
Tuhan. Apa Davka bermimpi?
Davka segera melepas pelukan Davian, lalu berlari masuk ke rumah. Awalnya, Davian pikir putranya itu tidak senang karena akan segera memiliki adik. Namun setelah mendengar apa yang putranya itu katakan, membuat Davian seketika meringis.
"MAMA! DAVKA PENGIN LIAT DEDEKNYA!"
Davian geleng-geleng kepala, mendengarnya. "Ya Allah, Nak. Adikmu baru delapan minggu di dalam perut Mamamu, Sayang," ujarnya dengan setitik air mata, di sudut matanya.
Davian menengadah, menatap langit dari balkon kamar putranya.
Tuhan, terima kasih atas segalanya.
Terima kasih atas segala kesempatan yang telah Engkau berikan. Dan,terima kasih, untuk Davka. Dan calon anak kedua kami.TAMAT
DADAH DULU KE DAVKA, YUK:)
SAMPAI JUMPA LAGI!TERIMAKASIH UNTUK 45K VIEWERS DAVKANYAAA!!
TERIMAKASIH UNTUK VOTE(S) DAN COMMENT(S) DARI KALIAN! DAN TERIMAKASIH, UNTUK KESETIAAN KALIAN, MENUNGGU CERITA YANG SUPER NGARET INI!! :")DARI AKU, WINDARTI RAHMA DANI, SELAKU EMAK TIRI DAVKA, MENGUCAPKAN BANYAK-BANYAK TERIMAKASIH!
JANGAN KAPOK SAMA ANAK-ANAKKU YANG MENDATANG, YA!!
SAMPAI JUMPA LAGI, BEBKUHHH
(づ ̄ ³ ̄)づ
271119
281119
Revisi: 23.09.20
KAMU SEDANG MEMBACA
✔DAVKA
Teen FictionAll Right Reserved ©2018 Windarti Rahma Dani Start: 17 September 2018 Selesai: 28 November 2019 Revisi: 17 September 2020-23 September 2020