Seorang pria dengan jas hitam yang membalut tubuhnya tampak duduk sembari menyesap kopi dari cangkir yang ia pegang. Matanya menatap ke arah dinding kaca yang menampilkan jalanan yang ramai di malam ini.
Ponsel yang berdering di atas meja, ia abaikan. Pikirannya terlalu kosong untuk sekadar kembali ke dunia nyata.
Deringan ponsel sekali lagi terdengar. Membuat si pria pada akhirnya terpaksa kembali ke dunia nyata. Diraihnya ponsel itu dan segera menjawab telepon yang ternyata dari seseorang yang sangat ia sayangi.
"Ya, Ma," sapanya kepada orang di seberang sana. Mendengarkan sosok yang dipanggil 'Ma' itu menyampaikan apa yang ingin dikatakannya dalam diam.
Wajahnya kembali menyendu. Sekali lagi, ia menatap jalan raya. "Masih belum, Ma."
"Papa gak tahu, harus gimana lagi. Papa bingung, ke mana lagi Papa harus mencarinya." Suara sang istri di ujung sambungan sana, terdengar menenangkan. Memberinya semangat dan mengatakan jika ia tak boleh menyerah begitu saja.
"Iya Ma, Papa pasti akan menemukan dia dan membawanya kembali."
Ia memutus sambungan secara sepihak, lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku jas yang ia kenakan. Meletakkan beberapa lembar uang untuk membayar kopi yang ia minum, lalu meninggalkan meja kafe itu dan beranjak keluar menuju mobilnya. Ia merasa, usahanya sia-sia selama ini. Hatinya terasa sesak, seolah ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya.
Penyesalan belasan tahun silam, seolah semakin mengoyak hati, membuatnya tak dapat berpikir lebih jauh lagi. Bagaimanapun, ia harus segera menemukan kembali hartanya. Harta miliknya yang paling berharga.
*****
"Astaga, Davka! Lo tuh bikin kita takut, tau gak?" Shafa segera menubruk tubuh Davka yang masih terbaring lemah di atas brankar. Menumpahkan air matanya yang memang sejak tadi telah mengalir.
Davka menarik ujung-ujung bibirnya ke atas. Tersenyum tipis, di balik wajah pucatnya. "Maaf," katanya.
Hanya kalimat itu yang bisa Davka ucapkan. Tubuhnya masih terasa lemas sekali, tetapi ia harus tahan. Ia harus kuat, setidaknya di depan ketiga sahabatnya.
"Ka, lo beneran gak apa-apa kan? Mana yang sakit, bilang sama gue!" Angga mendekat untuk memeriksa tubuh Davka seolah-olah dirinya adalah seorang dokter.
Davka terkekeh saat Shafa dengan brutalnya memukul bahu Angga, sebab gara-gara pemuda itu, Shafa terpaksa melepaskan pelukannya dari Davka.
"Aku gak apa-apa kok," jawab Davka lagi. Bibir pucatnya masih menyunggingkan senyum seolah-olah ia baik-baik saja.
"Beneran ya, Ka? Jangan bohong!" Deon menatap Davka tajam, membuat Davka sedikit takut. Pasalnya, Deon itu kadang-kadang galak.
"Iya, De ... Davka gak apa-apa kok," jawab Davka.
"Kalo lo emang gak apa-apa, kenapa sampe pingsan kayak tadi, hah?" desak Deon dengan mata memicing.
Davka diam, sembari memikirkan apa kira-kira jawaban yang pas, untuk menjawab pertanyaan dari sahabatnya itu.
"A-Aku cuma ...."
Tiba-tiba saja, Shafa memukul bahu Deon kuat-kuat, sehingga terdengar suara tamparan yang cukup keras, "Lo pikun ya? Kata Dokter tadi apa? Cuma kecapekan aja, bego!"
Deon menghela napasnya. Mau tak mau, ia harus menyerah dari pada urusannya semakin panjang jika berurusan dengan gadis bernama Shafa itu.
"Shafa jangan galak galak, gak baik. Nanti cantiknya hilang, loh," ujar Davka.
Pipi gadis itu merona seketika. "Apaan sih, Ka? Lu tuh istirahat aja, biar cepet sembuh!"
"Tuh Ka, dengerin Bunda Ratu ngomel," cicit Angga.
Shafa menghadiahi Angga dengan tatapan tajam, membuat pemuda itu seketika meneguk salivanya susah payah karena takut.
"Permisi." Sebuah suara yang berasal dari pintu masuk, membuat Shafa, Angga, Deon dan Davka kompak melihat ke arah pintu.
Seorang Dokter masuk dengan senyum manisnya. "Dokter periksa dulu, ya?" ujarnya.
Shadengga memberikan tempat untuk sang dokter wanita yang hendak memeriksa Davka. Lalu setelahnya, mereka mendesah lega, sebab sang dokter berkata jika kondisi Davka baik-baik saja. Walaupun terlihat gurat-gurat tak yakin di wajah dokter cantik itu.
"Tuh kan, Davka tuh gak apa-apa. Kalian jangan terlalu khawatir sama Davka," ujar pemuda itu dengan cengiran manisnya.
Shafa menatap Davka dengan tajam. "Gimana gak takut sih, Ka? Lo tiba-tiba pingsan gitu aja, gimana kita gak khawatir coba!?"
Davka tahu, ini salahnya. Ia terlalu bodoh karena penyakitnya bisa kambuh saat sedang bersama teman-temannya. Ia sudah melanggar janjinya. "Maafin Davkam" Wajah pemuda itu terlihat murung. "Davka gak akan ngerepotin kalian lagi, kok. Ini terakhir."
Entahlah. Shadengga merasakan sesuatu yang berbeda.
*****
TBC:*
Maafin, udah digantungin sekian lama:)
19/04/19
Revisi: 23.09.20
KAMU SEDANG MEMBACA
✔DAVKA
Teen FictionAll Right Reserved ©2018 Windarti Rahma Dani Start: 17 September 2018 Selesai: 28 November 2019 Revisi: 17 September 2020-23 September 2020