Davka meremas dada kirinya, saat rasa sesak itu kembali. Sebisa mungkin, ia harus mempertahankan kesadarannya.
"Sudah saya bilang, kalau saya suruh cepat, laksanakan! Jangan malas dengan pura-pura sakit, kamu!"
Davka diam saja. Menikmati semua teriakan di antara rasa sakit yang tengah menyerang.
"Cepat pergi, cari apa yang saya bilang. Awas kamu, kalau sampai jam delapan kamu belum kembali, jangan harap bisa melihat hari esok!"
Ibunya yang baik hati itu, melemparkan segumpal uang—yang Davka tahu, biasanya tidak pernah bersisa walau sedikit pun. Hanya cukup untuk membeli apa yang ibunya itu perintahkan. Dengan langkah pelan san tangan yang masih setia meremas dadanya, ia menapaki jalanan malam ini. Merintih di tiap tetesan keringatnya. Berucap Istighfar berkali-kali, sebagai obat. Ia tidak punya uang untuk membeli obat yang harusnya ia minum secara rutin. Hanya saja, sudah hampir sebulan ini, ia tidak lagi mengonsumsi obat itu.
Harganya mahal, sangat mencekik.
Padahal, yang Davka inginkan hanya satu, ia bisa lulus sekolah dan membuat ayah dan ibunya tersenyum bangga. Ya, walaupun ia tak tahu, sampai kapan ia bisa bertahan.
"Ta-han. Se-dikit lag-i ... se--bentar lagi...." Davka mengusap dadanya dengan berdoa penuh harap. Semoga saja, ia kuat hingga apa yang ibunya minta, dapat ia berikan tepat pada waktunya.
*****
"I-ini bu." Dengan tangan bergetar, Davka menyerahkan kantung plastik, berisi barang yang ibunya minta.Tubuhnya benar-benar terasa lemas sekali. Rasa sakit yang menyerangnya, semakin menjadi-jadi.
Namun, rupanya apa yang sudah Davka usahakan hanyalah berhadiah sebuah tamparan menyakitkan sebagai ucapan terima kasih. Davka menikmati tamparan yang Ibunya berikan. Menambah rasa sakit di tubuhnya yang belum juga berkurang.
"Bisa tidak, kalau disuruh sesuatu itu, kerjakan tepat waktu! Telat terus, mau jadi apa kamu?!"
"Ma-af ... B-bu," ujar Davka lirih. Suaranya parau dan sangat pelan.
"Dasar anak gak tau diuntung. Kapan sih, kamu mati? Capek saya harus lihat wajahmu setiap hari!"
Ibunya itu berlalu. Meninggalkan Davka dengan air mata yang mengalir perlahan di pipinya. Sakit, rasanya teramat menyakitkan kala orang yang ia sayangi, malah menginginkan kematian segera menjemputnya. Hatinya seolah ditusuk-tusuk oleh jarum panas yang tak kasat mata, membuat dadanya semakin terasa sesak.
Maafin Davka, Bu, batinnya lirih. Gak akan lama lagi kok, Bu. Sabar, ya? Davka masih pengin buat ibu bangga.
Ia melangkahkan kaki menuju kamar. Tubuhnya sudah benar-benar lelah dan minta segera diistirahatkan.
Davka menyeret kursi untuk mengganjal pintu, menghempaskan tubuhnya di atas karpet. Memeluk tubuh ringkihnya sendiri, sembari mengerang menahan sakit. Davka mencoba mengatur napasnya. Mencoba mengurangi rasa sakit yang semakin menjadi-jadi.
"Se-ben-tar la-gi, ki-ta kerja sa-ma, ya?" Davka berujar lirih sembari mengusap dadanya. Setelahnya, ia memilih menutup mata. Seiring dengan rasa sakit yang semakin menggerogoti tubuhnya tanpa ampun dan kesadarannya hilang beberapa saat kemudian.
*****
"Seriusan deh, gue penasaran sama Davka." Deon melemparkan tubuhnya di atas tempat tidur Angga. Omong-omong, dirinya dan Shafa sedang mampir ke rumah Angga. Ya, intinya ketiga anak itu memang sering berkumpul seperti ini.
"Gue juga," kata Shafa menimpali. Gadis itu meneguk jus mangga yang disajikan oleh pembantu di rumah Angga, tadi.
"Gue sih gak ngerasa bingung sama sekali," ujar Angga sembari melirik kedua sahabatnya itu. "Tapi, kayak ada yang janggal aja, gitu. Dan ... gak tahu kenapa, gue ngerasa khawatir tiba-tiba gini soal Davka."
Deon mengangguk membenarkan. "Yang bikin penasaran itu, gimana sih kehidupan Davka sebenernya? Terus, soal nama belakang dia yang aneh banget itu. Curiga gue, gak tau kenapa."
"Iya sih, nama belakangnya bagus, keren. Tapi, emang dia ada keturuan luar, apa gimana ya?" Shafa mengernyitkan dahinya.
"Jangankan itu, tau rumahnya di mana aja enggak. Davka nih, misterius banget, sih."
"Sialnya, kemaren kita ketauan. Coba aja kalo enggak."
Shafa menepuk lututnya sekali, "Rasanya, gue pengin searching soal nama bbelakang Davka itu, deh. Gimana menurut lo pada?" tanya Shafa, meminta dukungan dari kedua sahabatnya.
"Setuju-setuju aja, gue. Buruan deh, Sha. Penasaran banget."
Setelahnya, Shafa mulai mengeluarkan ponsel miliknya dari saku jins yang ia kenakan. Mencari arti kata 'Neočekivano' sebagaimana nama belakang Davka.
"Anjir!" pekik Shafa, membuat perhatian kedua sahabat tertuju padanya.
"Napa, Sha?" tanya Angga dan Deon kompak. Keduanya memasang wajah penasaran, terlebih lagi saat Shafa masih diam saja.
Shafa kemudian menatap kedua sahabatnya bergantian, sembari meneguk salivanya beberapa kali. "Lo berdua tau nggak, nama belakangnya Davka artinya apaan?" Angga dan Deon kompak memberikan gelengan tanda tak tahu.
"Neočekivano dari bahasa Bosnia," jawab Shafa. Angga dan Deon masih mendengarkan.
"Artinya ...."
"Apa, Sha? Please, jangan bikin penasaran!" Angga sudah tak sabar rasanya, mendengar arti dari nama Davka itu. Namun, Shafa terlihat seperti sengaja menggantung kalimatnya, membuat Angga dan Deon jadi sebal karena penasaran.
Shafa menggigit bibir bawahnya, kemudian berujar pelan, "... yang tidak diharapkan."
Seketika itu juga, suasana berubah menegang.
******
:(((
11/10/18
Maafkan, tadi ada kesalahan:v
Revisi: 23.09.20
KAMU SEDANG MEMBACA
✔DAVKA
Teen FictionAll Right Reserved ©2018 Windarti Rahma Dani Start: 17 September 2018 Selesai: 28 November 2019 Revisi: 17 September 2020-23 September 2020