√DAVKA ~ 6

5.7K 743 84
                                    

Tidak ada yang bisa Davka lakukan, saat jantungnya tengah rewel. Yang anak itu lakukan hanya duduk diam atau bahkan berbaring. Mengatur napas sebisanya, sembari mengurut dadanya pelan. Beristigfar terus-menerus. Menjadikannya obat yang paling mujarab saat jantungnya itu mulai rewel.

Davka membaringkan tubuhnya. Menatap langit-langit kamarnya yang usang, sembari terus-menerus mengurut dadanya.

"Davka gak punya obat, jangan cerewet," gumamnya lirih.

Wajah pemuda itu sudah pucat sekali. Keringat dingin senantiasa menetes membasahi tubuh anak itu. Sensasi ngilu yang sedari tadi menemaninya semakin lama semakin menyakitkan.

Apakah ini akhir dari segalanya? Apakah malam ini adalah hari terakhirnya di dunia?

Davka tersenyum pedih. Jika saja ini adalah hari terakhirnya, yang Davka inginkan hanya satu. Semoga keluarganya mau mengurus jasadnya nanti. Mengerjakan fardu khifayah sebagaimana yang seharusnya dilakukan. Memandikan, mengafani, menyolatkan dan menguburkan.

Davka tertawa pelan, "Gak mungkin," ujarnya lemas. Itu semua hanya angan-angannya saja. Ia yakin, keluarganya itu pasti tak akan pernah sudi membeli lahan pemakaman untuknya nanti.

Syukur-syukur, keluarganya itu nanti mau mengangkat jasadnya dari sini, walaupun akan berakhir hanyut di sungai atau dikubur di belakang rumah bagaikan hewan.

Davka sadar, siapa dirinya di sini?

Mungkin dia hanya seonggok sampah yang ingin segera dibuang. Atau ia adalah virus mematikan yang ingin segera dimusnahkan.

Davka terkesiap dan jantungnya terasa jatuh dan turun ke lambung, saat pintu kamarnya tiba-tiba dibuka dengan keras. Semuanya terasa menyakitkan sekali. Bertambah-tambah nyerinya. Sudah cukup ia mendapatkan serangan sedari beberapa saat yang lalu. Tak cukupkah rasa sakit itu menguasainya? Membunuhnya secara cepat dan bisa kapan saja terjadi.

Lalu sekarang, apakah ia harus mati saat itu juga?

Di hadapannya, sang ayah terlihat berdiri dengan wajah berang. Davka tahu, ayahnya pasti ingin memberinya hadiah lagi. Davka pasrah sudah. Ia tahu, akan berakhir seperti apa dirinya nanti.

"Dasar anak sialan, ke sini kamu!"

Lewat kata-kata itu, Davka menerima segalanya. Menerima setiap rasa sakit yang ditambahbmenghujam tubuhnya tanpa ampun. Tak peduli bagaimana kuatnya ia merintih, memohon meminta sedikit saja ampunan agar ia dapat bertahan. Hingga ia lupa, kapan terakhir kalinya bisa melihat cahaya terang, sebelum kegelapan menariknya jauh.

*****

"Jadi, selama ini Davka bohong sama kita?" Shafa, suara gadis itu bergetar. Menahan air mata yang kapan saja siap menetes.

"Gue masih gak bisa lupa, betapa bahagianya Davka saat bilang, kalo ibunya itu segalanya," ujar Angga pelan. Deon mengangguk, menyetujui ucapan Angga.

"Eh, tapi ...."

Angga dan Shafa memandang Deon yang tampak berpikir keras. "Apa?" tanya Shafa tak sabar. Gadis cantik itu mengusap air mata yang tiba-tiba saja menetes.

"Bisa jadi, gini, cuy. Mereka asal-asalan ngasih nama."

Angga dan Shafa saling pandang. "Maksud lo apa sih, De?"

Deon mendesah, "Lo pada masih inget kan, kasus orang yang nama-nama mereka aneh itu?"

Shafa dan Angga mengangguk.

"Ya, inget. Kayak yang namanya Royal Jelly-lah, Ksatria Baja Hitam-lah," celetuk Angga.

"Nah! Bisa jadi, orangtua Davka begitu."

Shafa dan Angga berpikir keras pada akhirnya. " Eh, iya juga sih," ujar Angga realistis. "Siapa tau aja, mereka pernah denger kata 'Neočekivano itu di mana ... gitu, mereka gakbtau artinya. Mereka anggep itu nama keren keren aja, gitu."

"Bener tuh. Kita positive thinking dulu aja, besok kita tanya sama Davka."

Shafa mengangguk. "Iya sih. Tapi kok, perasaan gue gak enak gini, ya? Rasa ada yang ganjel gitu."

Deon menepuk bahu Shafa. "Ya iyalah ganjel. Kan tadi kita baru tau, arti nama belakang si Davka apa, sampe kita mikirnya macem-macem?"

"Iya sih, tapi kok gue takut, ya?"

"Takut apa sih, Sha?"

"Takut aja gitu," jawab Shafa tanpa alasan yang jelasm

Angga dan Deon kompak merangkul bahu gadis itu, " Tenangin diri lo, Sha. Kita berdoa aja, semoga Davka gak papa. Dan masalah nama belakangnya dia itu, cuma kebetulan." Deon berusaha bijak.

"Bener tuh, Sha. Siapa tau, biar nama anaknya keliatan keren gitu," imbuh Angga.

Shafa menghela napasnya sekali. "Semoga aja ya, gais."

"Semoga aja."

*****

"Dasar anak sialan, gak tahu diuntung! Pake pura-pura pingsan segala lagi, kamu! Bangun, sialan!"

Suara cambuk beradu dengan tubuh itu, sudah tak lagi terdengar oleh sang pemilik tubuh yang telah kehilangan kesadarannya bermenit-menit yang lalu. Tinggal menunggu masa itu datang menjemputnya. Membawanya pergi jauh. Jauh sekali, sampai siapa pun di dunia ini tak akan bisa menemuinya lagi, jika belum sampai pada masanya.

******
TBC:"(
Selesai: 22/10/18
Publish: 051118
Revisi: 23.09.20

✔DAVKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang