Jangan tanya, apa yang terjadi kepada keluarga yang telah tega mengubah nama Davka dengan tidak berperikemanusiaannya. Jangan tanya, apa yang mereka alami setelah dengan ringan tangannya menyiksa dan memaki Davka, selama belasan tahun terakhir. Jangan tanya, bagaimana nasib mereka yang tega mengusir Davka dengan alasan menyusahkan. Jangan tanya.
Mereka sudah tenang, dengan kehidupan mereka. Jeruji besi dan rumah sakit jiwa.
Davian sudah melakukan tugasnya dengan baik. Membalaskan rasa sakit hatinya, karena telah dipisahkan dengan putranya selama belasan tahun.
Davka. Davian ingat, saat itu ia dan istrinya menitipkan bayi berusia setahun kurang dua bulan itu, kepada dua sababatnya. Mereka ingin menjadi TKI di luar negeri, untuk memperbaiki kehidupan mereka.
Mereka bahkan selalu mengirim uang, tiga bulan sekali kepada sahabat yang merawat putra mereka itu. Hanya saja, beberapa tahun terakhir, Davian kehilangan kontak mereka dan kabar terakhir yang ia dengar bahwa putra mereka telah meninggal.
Percaya? Jelas saja tidak! Davian bukan orang bodoh yang akan percaya begitu saja. Ia terus-menerus mencari kabar di mana keberadaan putranya, walaupun hasilnya nihil.
Sukses di negeri orang, tidak membuat Davian lupa diri. Ia kembali ke Indonesia, untuk mencari sang putra, apapun yang terjadi.
Hingga tibalah hari itu, di mana ia sudah nyaris putus asa, ingin mengakhiri hidupnya dengan menabrakkan mobilnya ke pembatas jalan, mendadak ia menginjak pedal rem saat melihat seseorang yang tergeletak di pinggir jalan.
Ia turun. Menghampiri sosok pemuda yang tergeletak itu seraya mengguncangkan tubuhnya.
Mendadak, air mata menggenangi pelupuk matanya. Seorang pemuda, yang tampak sangat tak asing. Wajahnya mengingatkan dirinya saat berusia belasan. Mengingatkan dirinya kepada sang putra yang mungkin saat ini sudah besar. Tidak. Ia menggelengkan kepalanya, mencoba tidak mengingat itu lebih dahulu.
Wajah pucat pemuda itu, membuat Davian segera membawanya ke rumah sakit dan betapa terkejutnya ia, jika pemuda itu ternyata memiliki riwayat jantung yang memaksanya harus segera melakukan operasi.
Sang istri, Karina segera menyusul ke rumah sakit, sesaat setelah menerima kabar dari suaminya. Entahlah, feelingnya mengatakan jika ada suatu hal yang memaksanya pergi ke sana.
Ia bahkan sempat bertanya-tanya, tentang identitas anak itu kepada sang suami. Namun, tidak ada jawaban pasti darinya, membuat Karina sempat ingin menangis. Melihat kondisi pemuda itu yang jauh dari kata baik.
Kondisinya bahkan sempat menurun, memaksa dokter melepas semua pakaian yang pemuda itu kenakan, untuk memasanginya berbagai alat penunjang kehidupan.
Lalu pada titik itu, dunia Karina terasa runtuh menimpa kepalanya. Sebuah tahi lalat kecil di dada. Persis seperti tanda lahir putra yang ia lahirkan dulu.
Tekadnya semakin kuat. Ia yakin, jika pemuda itu adalah putranya. Hingga akhirnya, tes DNA pun dilakukan. Dan benar saja. 99% DNA itu cocok. Pemuda itu adalah putranya.
Tuhan mempermudah jalan mereka. Salah seorang tetangga Davian di luar negeri sana, mengalami kecelakaan. Beliau baru saja berusia kurang dari 25 tahun. Hidup sendirian, tanpa keluarga. Davianlah yang selama ini selalu berbaik hati menolongnya. Hari di mana ia mengalami kecelakaan, membuat pemuda itu mengalami koma. Ia sudah berjanji kepada Davian, akan melakukan apa pun untuk balas budi.
Keajaiban datang, pemuda bernama Gerald Kaif itu, siuman. Berkata jika ia rela mendonorkan jantungnya kepada putra Davian, setelah mendengar kabar itu berminggu-minggu lalu. Davian sempat menolak, tetapi takdir berkata lain. Tuhan menjemput nyawanya beberapa saat setelah ia mengatakan jika ia siap, mendonorkan jantungnya.
Operasi pun segera dilakukan. Lagi-lagi, Tuhan mempermudah jalan mereka. Jantung Gerald, cocok dengan jantung putranya.
Nyatanya, Gerald akan selamanya hidup dalam diri putranya. Ia tak pernah mengharapkan balas budi apapun dari Gerald. Hanya saja Tuhan sudah menggariskan takdir itu. Tidak bisa dipungkiri lagi.
Ia kembali dipertemukan dengan putranya. Lagi-lagi, itu semua atas kuasa Tuhan.
*****
"M-Ma." Davka duduk ditemani sang mama yang tengah sibuk merajut.
"Kenapa sayang?" Sang Mama mengalihkan atensinya dari benang-benang yang ia rajut, kepada sang putra. Mengusap dahi putranya yang berkeringat. "Ini kok keringatan gini, Sayang?" tanyanya.
Davka menggeleng. Ia tak tahu kenapa.
"Mau Mama bikinin minuman?"
Davka menggeleng lagi. Ia menyandarkan tubuhnya, kepada sang mama. Hal yang akhir-akhir ini selalu ia lakukan. "Ma, Papa pulangnya kapan?" tanyanya. "Davka pengin ketemu sama temen-temen Davka."
Sang mama tersenyum, "Sabar ya Sayang. Mungkin besok atau lusa Papa pulang, heum?"
Davka cemberut. "Kenapa kita gak pulang ke Indonesia aja, Ma?" tanyanya. "Davka 'kan pengin sekolah lagi."
Karina mengusap pucuk kepala sang putra dengan lembut, "Kita gak perlu balik ke Indonesia buat sekolah. Kalo Davka mau sekolah, kita 'kan bisa sekolah di sini, Sayang."
"Tapi Davka gak bisa ngomong pake bahasa Belanda. Bahasa Indonesia yang baik dan benar aja Davka gak bisa." Ia menunduk.
"Gak apa-apa. 'Kan nanti belajar sama Mama, heum?"
"Kata Ibu, Davka itu bodoh."
Karina mengutuk mantan sahabatnya dalam hati. "Davka gak bodoh, Sayang. Davka gak boleh mikir begitu, heum? Nanti Mama ajarin ya, Nak."
Davka mengangguk, "Tapi, kalo Davka bebal gimana?"
"Mama bakal terus ajarin Davka sampe bisa. Jangan sedih lagi ya Sayang."
Davka. Hidupnya sudah berubah. Tapi hatinya, tetap sama. Tetap menjadi Davka yang dulu. Tidak pernah berubah.
******
260819
280819
Revisi: 23.09.20
KAMU SEDANG MEMBACA
✔DAVKA
Teen FictionAll Right Reserved ©2018 Windarti Rahma Dani Start: 17 September 2018 Selesai: 28 November 2019 Revisi: 17 September 2020-23 September 2020