Canda dan tawa itu seolah menjadi saksi, bagaimana seorang Davka memulai harinya. Mencoba menikmati detik-detik berharga yang seakan-akan menjadi sisa-sisa akhir hidupnya. Merasakan tawa bahagia, di setiap menit yang tersisa.
Davka tahu, mungkin sebenarnya ini salah. Namun, apakah tidak boleh ia melakukan kesalahan sekali saja? Davka ingin egois kali ini. Ia tidak mau terus-menerus mengalah, mempertaruhkan segala kebahagiaannya demi orang lain. Sekali-kali, Davka ingin egois, agar tidak terus-menerus terkukung dalam dunia kelam, di mana ia disiksa tanpa ampun.
Davka lelah. Ia ingin melawan, tetapi tidak bisa. Lagipula, atas hak apa dia melawan? Dia bukan siapa-siapa. Masih hidup sampai sekarang saja, dia sudah bersyukur. Lalu mau apa lagi? Davka hanya ingin berhenti. Berhenti berpura-pura kuat. Berhenti berpura-pura bahagia, dan berhenti berpura-pura menjadi sosok paling ceria di dunia.
Davka hanya tidak mau orang lain melihat sisi terlemahnya, dulu, tetapi sekarang, Davka ingin tunjukkan kepada semua orang, bahwa dia lemah. Dia tidak bisa apa-apa dan dia sakit. Ia bahkan tak tahu, sampai kapan Tuhan memberinya jatah usia untuk hidup di dunia ini, bukan?
"Ka, abis ini kita makan ya," ajak Angga setelah mereka puas berkeliling mal.
Ya, aneh memang jika mereka bermain di mal pada malam hari seperti ini. Bahkan, ini sudah menjelang pukul delapan malam, tetapi tidak apa-apa, bukan? Tidak ada larangan yang berlaku untuk tidak main di mal di jam prime time seperti ini, kan?
"Aku ngikut aja," ujar Davka sambil memberikan cengirannya.
Lagi pula, mana dia tau di mana tempat makan atau makanan apa saja yang tersedia di mal sebesar ini. Sebab, baru kali ini ia melangkah masuk, bahkan berkeliling dan memainkan berbagai permainan yang bisa dibilang untuk dimainkan oleh anak-anak. Ini kesan pertamanya. Ini kali pertamanya dan Davka, tidak mau berakhir sia-sia. Setidaknya, ini akan menjadi kenangan terindah dalam hidupnya.
"Makan yang banyak Ka. Badan lo kurus banget gitu. Buruan ih, habisin!" Shafa mulai cerewet saat Davka makan dengan sangat lambat.
"Iya, sabar. Nanti kalo aku makannya cepet-cepet, terus tersedak bagaimana?"
Deon dan Angga tertawa akibat ucapan Davka.
"Denger tuh Sha, nanti kalo Davka kesedek gimana?" ejek Angga dengan tawanya.
Shafa mencebikkan bibirnya sebal, "Ya udah, ya udah." Semakin jadilah tawa Deon dan Angga, melihat Shafa cemberut begitu.
Davka diam-diam tersenyum saat melihat kebahagiaan teman-temannya. Tersenyum menikmati bagaimana saat-saat dirinya bersama mereka. Menikmati detik-detik berharga yang mungkin tidak akan pernah terulang lagi.
Ingin rasanya Davka menyimpan semuanya sedalam mungkin. Agar tidak siapa pun bisa menghilangkannya. Ingin rasanya Davka tetap di sini. Tidak ingin pergi. Ingin rasanya waktu berhenti saja di sini, agar ia tak lagi melihat dan merasakan dunia kelamnya nanti. Namun, Davka tahu, semua yang dimulai, pasti akan berakhir.
Masih ingat kan, kalau Davka ingin egois sebentar saja? Jadi, bolehkah Davka egois dengan tidak mau masa-masa ini berakhir? Namun, kenyatannya semua seolah tidak pernah berpihak kepalanya.
Davka menunduk dalam diam sembari memejamkan matanya. Sial! Kenapa harus sekarang?
Davka meremat dadanya yang terasa begitu sesak. Sakit! Kenapa harus terasa sangat menyakitkan?
Tidak! Davka tidak mau ketiga sahabatnya melihat titik paling lemah dari dirinya. Dia tidak mau jika harus menyaksikan dirinya berakhir di sini. Davka tidak mau menjadi titik awal kesedihan ketiga sahabatnya setelah kebahagiaan mereka hari ini.
Davka ingin ketiga sahabatnya selalu bahagia. Davka ingin, ketiga sahabatnya selalu bersama dalam suka dan duka, walaupun tanpa dirinya nanti.
Tolong jangan sekarang. Jangan berakhir sekarang.
Davka mengusap dadanya. Dalam hati, ia memohon agar semuanya tidak berakhir saat ini juga. Jangan sakit ya? Sebentar saja. Sekali ini saja.
"Ka, lo gak apa-apa?" Shafa memperhatikan Davka yang mengusap dadanya.Davka menurunkan tangannya, lalu mengepalnya di bawah meja untuk menahan rasa sakit. Menarik bibirnya yang mulai pucat dan memaksakan senyumnya. " Iya, gak apa-apa," jawabnya lemah.
"Ka, jangan bercanda. Lo kenapa? Kenapa muka lo tiba-tiba pucat, hah?" Kali ini Deon bersuara. Pemuda itu terlihat panik saat melihat Davka yang berubah pucat.
"Enggak apa-apa kok, cuma capek aja," ujar Davka.
"Ka, please. Jangan bohong sama kita." Shafa mengusap bahu Davka pelan.
"A-aku ...." Davka gugup. Apakah harus ia katakan semuanya sekarang? Namun, bagaimana jika tali persahabatan mereka terputus hari ini? Davka tidak mau, jika penyakitnya malah membuat ketiga sahabatnya menjauh. Tidak mau.
"Ka?"
Davka hanya bisa tersenyum lagi, "Makasih ya? Makasih udah bikin aku seneng hari ini. Ma-kasih buat semuanya ... ya," ujar Davka sebelum semuanya menggelap.
"Davka!"
******
16 Desember 2018
Eakkk, yang lagi ultah mah rajin kan ya:v
Revisi: 23.09.20
KAMU SEDANG MEMBACA
✔DAVKA
Подростковая литератураAll Right Reserved ©2018 Windarti Rahma Dani Start: 17 September 2018 Selesai: 28 November 2019 Revisi: 17 September 2020-23 September 2020