√DAVKA ~ 4

5.8K 637 45
                                    

"Sarapan dulu nak, biar gak lemas di sekolah."

Davka tersenyum tipis, lalu mendudukkan bokongnya di pojok kamar. Memasang kaos kaki yang sudah berlubang di kedua kakinya.

Suara ibu pagi ini terdengar lembut, sangat lembut di telinga Davka.

"Ini ayamnya mau nambah lagi?"

Ah! Davka tak pernah berharap banyak. Apa pun yang Tuhan berikan hari ini, kemarin dan kedepannya, selalu ia syukuri.

"Ibu, sayurnya tolong."

Itu suara ayah. Davka tersenyum, mendengar suara ayah yang terdengar lembut hari ini. Dibanding saat berhadapan dengannya, suara ayah tidak pernah lembut begini. Davka ingin. Ingin mendengar suara ayah yang seperti itu, suatu saat nanti

"Ayah mau pake apa lagi? Tahu tempenya, mau?"

Andai saja ia berada di sana. Menikmati sarapan bersama-sama keluarga dan bercengkerama bersama. Astaga, Davka terlalu berandai-andai. Mana mungkin dia bisa?

"Mbak, tahunya."

Itu suara adik dari ibu, yang selalu saja ibunya sayang dan bela. Orang yang selalu saja membuat ibu marah-marah, jika Davka terlambat membelikan obat untuk adiknya itu.

Davka memegangi dinding untuk membantunya berdiri. Tubuhnya terasa lemas sekali. Ia melangkahkan kaki menuju samping karpet di mana ia biasa tidur. Mengambil sebotol air—dari bekas botol air mineral bekas—yang ia isi ulang dengan air di dapur, semalam. Ia meneguknya sedikit, lalu merogoh isi tas usangnya. Diambilnya sebungkus roti yang ia beli dengan uang dua ribu rupiah yang ia temukan di dalam keresek di dapur semalam.

Ia buka bungkusnya dan membagi roti itu menjadi dua bagian. Mengambil setengah bagiannya, lalu membungkus kembali bagian roti yang lain.

Setelahnya, ia jejalkan roti itu ke mulutnya. Mengunyahnya pelan dengan air sebagai temannya.

"Bu, ayamnya nambah!"

Davka lagi-lagi tersenyum. Pasti sekarang, Arkan—adik laki lakinya itu tengah menyodorkan piring ke arah Ibunya.

Letak ruang makan, dapur dan kamarnya memang tak terlalu jauh. Apalagi saat pagi, suasana sekitar rumah ini memang tenang. Jadi, suara di dalam rumah akan terdengar ke seluruh penjuru rumah.

Davka menyimpan kembali botol air dan juga setengah dari sisa rotinya ke samping karpet. Menutupinya dengan buku, lalu meraih ransel usangnya. Ia caklekkan ke punggungnya dan mulai memasang sepatu berlubang ke kakinya.

"Ayah, Ibu, berangkat dulu," kata Davka pelan, saat ia mengintip pada pintu di mana keluarganya tengah berkumpul di meja makan. "Masakan ibu enak," kata Davka saat melihat aneka makanan yang tersaji di meja makan.

Dengan riang, anak itu melangkahkan kakinya. Seolah tak terjadi apa pun. Seolah pagi yang menyambutnya kini, menjadi pagi terindah di hidupnya.

Pemuda itu memang selalu riang dan bersikap biasa saja. Bersyukurlah Davka, letak sekolahnya tak terlalu jauh. Ya, tidak. Hanya 1 kilometer dari rumahnya.

Hanya saja, banyak sekali belokan belokan yang harus ia lewati. Membuat jarak rumahnya itu terasa jauh.

"Pagi Angga!" Tak terasa, pemuda itu sudah sampai di kelasnya. Menyapa siapa saja yang tertangkap indera penglihatannya. Tersenyum manis seakan dunia selalu menerimanya.

"Pagi, Davka." Angga tersenyum ramah, membalas senyuman manis dari Davka. Ia meminta sahabatnya itu duduk. Tak peduli dengan tatapan geli dan jijik dari beberapa orang, Davka tetap tersenyum.

"Lu udah ngerjain PR?" tanya Angga.

Davka mengangguk, "Udah, tapi gak tau bener apa enggak." Pemuda itu cengar-cengir, padahal sudah tahu ia salah.

"Mana coba, gue liat."

Davka mengeluarkan bukunya dan memberikannya kepada Angga.

Angga dan sahabatnya yang lain memang seperti itu. Mereka selalu membantu Davka, mengecek kembali PR atau tugas yang Davka kerjakan.

"Shafa sama Deon ke mana?" tanya Davka, karena tak juga menemukan keberadaan kedua sahabatnya itu.

"Mereka 'kan lagi piket, Ka," jawab Angga. Mata anak itu masih fokus dengan PR milik Davka untuk mengoreksinya. Pasalnya, kalau tidak dikoreksi, kemungkinan besar Davka akan dipermalukan seisi kelas jika PR-nya itu salah.

"Oh iya, aku lupa," ujar Davka. "Gimana PR aku? Bener gak? Tulisan aku makin jelek ya?"

Angga mendesah, "Gak apa-apa jelek. Asal masih bisa dibaca. Ini udah bener, kok. Lo makin pinter deh, Ka."

"Aku masih bodoh, tahu. Aku gak pinter, kayak kamu," ujar Davka lirih.

Angga menepuk bahu Davka, "Lo pinter. Pokoknya lo Pinter! Gak ada manusia yang bodoh. Lo pinter, inget? Jangan hardik diri lo dan bilang kalo lo bodoh. Lo itu Pinter, Ka! Pinter!"

Davka tersenyum. Ini yang ia suka dari sahabatnya. Saat ia merendahkan dirinya sendiri, di sanalah temannya meyakinkan, kalau dia bisa. "Tapi Davka bukan orang pinter, Angga," candanya yang membuat Angga seketika ingin mencubit pipi sahabatnya itu kuat-kuat.

Di jam pulang sekolah, seperti biasa, teman-temannya sudah pulang ke rumah masing-masing, begitu juga dengan Davka.

Davka bilang pada teman-temannya, jika rumahnya dekat dan dia hanya perlu jalan kakibuntuk sampai ke rumahnya. Namun, ketiga temannya itu tak langsung percaya begitu saja. Mereka memutuskannuntuk mengikuti Davka hari ini. Mereka ingin tahu, di mana rumah Davka. Syukur-syukur, mereka bisa bertemu dengan Ibunya Davka yang kata sahabat mereka itu, sangat-sangat baik dan penyayang. Dengan mengendap-endap, ketiganya membuntuti langkah Davka yang tampak berjalan 15 meter di depan mereka.

Ketiganya takjub dengan Davka yang tampak senang menapaki jalan menuju rumahnya itu. Apakah memang sebahagia itu, ya?

"Kata Davka rumahnya deket. Ini udah hampir 700 meter, kok gak nyampe-nyampe, sih?" Shafa berbisik kepada dua sahabatnya, dan langsung diangguki oleh Angga dan Deon.

"Nah makanya. Gue rasa ada yang gak beres," sambung Angga.

Deon turut mengangguk, "Pantesan, setiap dia sampe sekolah keringetan. Rumahnya jauh, njirr!"

Mereka terus mengikuti Davka dengan berhati hati, seolah-olah pemuda itu tak tahu, jika sedang diikuti.

Saking asiknya mereka bercokol dengan segala macam pikiran dan teka-teki yang berusaha mereka pecahkan, mereka dikagetkan dengan sebuah suara yang sangat familiar di telinga mereka.

"Kalian ngikutin aku, ya?"

Davka.

Astaga, mereka terciduk! Gagal sudah.

******
TBC~
Tangan saia pegel:)
Kepala saia mumet:)
Nulis ini di kamar, sementara di luar, ortu saia sedang mengomel ngomel mandjah mengomeli saia...

Kesel? Tentu saja.

Sudahlah:)

7 okt 18
Revisi: 23.09.20

✔DAVKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang