√DAVKA ~ 11

5.2K 597 67
                                    

Setelah lebih dari dua hari, Davka dirawat di rumah sakit, anak itu memaksa untuk pulang. Ia tak mau merepotkan ketiga sahabatnya yang dengan senang hati mau menanggung semua biaya rumah sakit.

Shadengga sempat bertanya kepada Davka, perihal ke mana orang tua Davka. Namun, pemuda itu berdalih, jika kedua orang tuanya sedang sibuk. Shadengga pun terpaksa diam saja mengiyakan, karena Davka masih harus banyak istirahat.

Syukurlah, setelah sekian lama membujuk ketiga sahabatnya untuk tidak mengantar dirinya pulang, akhirnya pemuda itu sampai di rumah. Setelah usaha keras menempuh perjalanan cukup jauh menuju rumahnya menggunakan bus, dengan uang yang ketiga sahabatnya berikan.

Davka tersenyum, kala melihat daun pintu rumahnya. Pikirannya sudah membayangkan hal-hal luar biasa. Mungkin saja, keluarganya itu sudah merindukan dirinya karena beberapa hari tidak pulang.

"Assalamualaikum, Davka pu ... lang."
Napas anak itu tercekat kala melihat rumah amat sangat berantakan.

Kertas-kertas bertebaran di mana-mana. Barang-barangnya, semuanya dikeluarkan dari kamar. Jantungnya berdebar berkali-kali lebih cepat, membuatnya harus memegangi dadanya sendiri.

"Ini dia! Manusia tidak berguna! Saya kira, kamu sudah mati di luar sana!"

"A ... Ayah ...." Napasnya tertahan, kala dengan tiba-tiba, bahunya ditarik dengan kasar, lalu didorong begitu keras.

"Benahi barang-barangmu sekarang, lalu angkat kaki dari rumah ini!"

Davka diam. Air matanya menetes perlahan, diiringi rasa sakit yang kembali datang. Tidak dianggap, dilupakan, tidak dipedulikan, disiksa lahir dan batinnya. Lalu, sekarang apa lagi? Apakah belum cukup, segala rasa sakit yang ia alami? Apakah belum cukup dan harus semakin diperlihatkan lagi segala kebenciannya? Bahkan Davka tak tahu, apa salahnya dan kenapa ia harus diperlakukan sekejam ini?

Ayah mengambil semua buku-buku milik Davka. Barang-barang yang paling berharga dalam hidupnya yang ia dapat dengan susah payah. Membakarnya dengan api menyala.

"Ayah, jangan ...." Air matanya semakin menderas, kala lembar demi lembar usahanya itu, hangus terbakar. "Ayah jangan ... Davka belinya susah ...."

Davka tahu, ia tak bisa apa-apa kecuali menangis dan diam. Teringat bagaimana susahnya ia, mengumpulkan lembar demi lembar uang, hanya untuk membeli sebuah buku pelajaran. Bekerja keras demi sepeser uang yang menurut beberapa orang tak ada harganya. Lalu kini, apa lagi? Semua usahanya sudah habis terbakar dan menjadi abu. Meratap pun percuma. Tak lagi ada gunanya.

"Cepat, benahi barang-barang tak bergunamu itu. Saya sudah muak melihat wajahmu!" Kali ini, suara ibu terdengar bagaikan petir di siang bolong. Begitu menyakitkan, begitu menusuk.

Ibu. Wanita yang selalu ia banggakan. Wanita yang selalu ia dambakan kasih sayangnya, kini malah begitu menyakiti hatinya. Ibu memang tidak pernah berkata lemah lembut padanya, tetapi ia tetap menyayangi wanita itu bagaimanapun keadaannya.

"Kamu tuli, ya? Kenapa tidak mati saja, sih?!"

Tubuhnya itu sudah lemah. Ditarik, didorong, dipukuli, bahkan ditendang sekali pun, Davka sudah tak bisa melawan. Melawan pun, percuma. Hanya rasa sakit yang akan ia rasakan.

"Mulai hari ini, jangan pernah tunjukkan lagi wajah sialanmu itu di hadapanku, mengerti?! Atau kalau tidak, kuhabisi kamu hari ini juga!"

Davka tak tahu, di mana salahnya. Kalau saja boleh memilih, agaknya ia akan memilih untuk tidak dilahirkan ke dunia jika pada akhirnya hanya akan membuat orang-orang membencinya dan merasa muak setiap kali melihat wajahnya. Davka tak mau terlahir seperti ini, tetapi bagaimana? Apakah ia bisa memilih?

Davka harus ke mana? Batinnya. Tak ada lagi air mata yang jatuh. Ia kuat. Harus kuat. Melemparkan tungkainya dengan lemah. Tangan kanannya ia gunakan untuk mengurut dadanya yang mendadak sesak. Sementara tangan kirinya, menenteng sebuah ransel hitam yang berisi pakaian miliknya.

Terbayang wajah ketiga sahabatnya. Shafa, Deon, dan Angga.

Bagaimana dengan mereka?

Ia tak mungkin, menemui mereka. Menatap mata mereka pun, ia tak sanggup. Mereka terlalu baik untuknya. Davka tak pernah memberikan apa pun kepada mereka. Namun, mereka telah memberikan begitu banyak hal kepadanya. Lalu apa yang harus Davka lakukan, untuk membalas semuanya?

Shafa, Deon, Angga. Makasih untuk waktunya selama ini. Makasih udah nerima Davka, udah mau jadi temen Davka. Kalian yang anggap Davka sebagai manusia. Davka gak tau, harus balas kalian pake apa.

Davka gak tau, harus ke mana. Davka gak tau, apa Davka bisa lihat kalian lagi atau enggak. Davka harap, kalian bahagia terus, walaupun tanpa Davka.

Langkahnya semakin melemah. Panas terik, debu dan polusi yang beterbangan, serta deru kendaraan yang terdengar bising, menemani setiap langkahnya. Rasa sakit yang perlahan kembali menguasai tubuhnya, membuat Davka tak kuat lagi melanjutkan langkah. Kakinya memberat. Pandangannya berkunang-kunang, lalu menggelap.

Kalau ini hari terakhir Davka, Davka cuma mau tau satu hal. Siapa keluarga Davka?

Raga itu tak kuat lagi. Tubuhnya meluruh jatuh. Terkapar di bawah teriknya sinar matahari yang membakar kulit. Ia menyerah. Menyerah akan segala rasa sakitnya.

*****
TBC.
010719
Sorry :)
Revisi: 23.09.20

✔DAVKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang