Shadengga dibuat cemas sejak dua hari yang lalu.
Davka, sahabat kesayangan mereka yang ditunggu-tunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
Shafa, gadis itu nyaris menangis, saat bayangan-bayangan buruk tiba-tiba merangsek masuk ke dalam pikirannya. Habis menonton sebuah film penyiksaan malam tadi, membuat gadis itu jadi takut.
Deon, pemuda itu tampak bertarung dengan sejuta pikiran di kepalanya. Ia hanya diam saja, terlihat memikirkan hal apa yang akan mereka lakukan jika besok, hari ketiga Davka tak kunjung menampakkan batang hidungnya, ia bersumpah akan mencari Davka ke mana pun.
Angga, pemuda itu diam. Menatap kosong ke depan. Kepalanya terasa pening saat bayangan-bayangan buruk terlintas di otaknya.
Sama saja seperti Shafa. Pemuda itu punya pikiran buruk, yang bisa saja menimpa Davka.
Nama belakang Davka benar-benar membuat mereka harus berpikir berkali-kali. Mencoba mencari maksud dan tujuan dari nama belakang Davka. Membayangkan apa apa saja yang bakal menjadi kenyataan dan bakal terjadi kepada Davka. Yang mereka takutkan hanya satu. Takutnya, nama belakang Davka itu menjadi maut tersendiri bagi sahabat mereka itu.
Namun, mereka coba tepis semua bayangan buruk itu. Mengingat kembali saat saat Davka bercerita tentang ibunya, Ayahayahnyanya, dan dua adiknya. Pemuda itu, tampak sangat bersemangat menggambarkan sosok keluarganya. Ingat beberapa bulan lalu, saat pemuda itu bercerita tentang keluarganya kepada Shadengga.
"Kemarin malam, Ayahku pulang dari kantor. Dan kalian tau gak apa?"
Shafa, Deon dan Angga atau yang lebih mudah disebut Shadengga itu, tampak mendengarkan dengan penasaran.
"Ayah kasih aku hadiah. Asyik banget deh."
Senyum Davka mengembang saat itu.
"Emangnya, Ayah lo kasih hadiah apa?" tanya Shafa.
Davka tersenyum cerah. "Ada deh," katanya. " Intinya, hadiah dari Ayah gak bakal hilang dan gal bakal bisa aku lupain."
Seketika, Shadengga merasa iri kepada Davka, tetapi mereka masih penasaran tentang kelanjutan kisah Davka.
"Terus, ibu juga elus-elus kepala aku pas tidur," kata Davka.
Shafa menutup matanya. Membiarkan air matanya menetes begitu saja. Tak peduli jika ia dikatai cengeng nantinya.
"Gue benaran khawatir," ujar gadis itu. "Semoga lo baik-baik aja, Ka."
******
Davka menghela napasnya sekali, lalu berusaha bangun dari posisi berbaring yang tidak elit seperti ini. Kepalanya terasa pusing sekali. Begitu juga dengan seluruh tubuhnya yang terasa ngilu, menambah penderitaan anak itu.
Perlahan, Davka menyandarkan tubuhnya pada dinding. Menikmati sensasi sakit yang perlahan-lahan semakin membuatnya melemah.
"Sakit," keluhnya dengan suara parau.
Ia menatap langit-langit kamarnya sejenak, mendongak, agar air matanya tidak keluar.
Sulit sekali rasanya.
Davka menghela naoasnya lagi, lalu menatap lantai kamarnya. Tempat di mana penyiksaan atas dirinya terjadi semalam seolah masih hangat. Membekas dalam di lubuk hatinya.
"Ayah," gumamnya pelan. "Sa-kit."
Davka meremas dadanya, yang seluruh tubuhnya terasa ngilu luar biasa.
"Kenapa ayah selalu begini? Apa salah Davka, yah?"
Katakan jika ia gila, sebab hanya bisa berbicara sendiri. Davka tak berani. Tidak akan pernah berani untuk melawan ayahnya. Memangnya dia siapa? Seorang anak yang tidak pernah diinginkan keberadaannya, itulah dirinya. Seorang anak yang selalu dinantikan kematiannya.
Davka bisa apa? Memangnya dia bisa melawan? Tentu saja tidak. Memangnya dia mau jadi anak durhaka?
Masih bisa bernapas dan melihat anggota keluarganya saja, dia senang dan bersyukur luar biasa. Tak perlu membangkang, karena dia tidak mau pergi. Dia tidak mau meninggalkan segala jenis kenangan di rumah ini.
Dia besar di sini. Merasakan apa itu luka, disiksa dan kecewa. Davka tau, dia tak sendiri. Masih ada Tuhan yang selalu bersamanya. Namun, apakah Tuhan masih mau memperpanjang masa hidupnya di dunia ini?
Jika saja Davka boleh jujur. Dia lelah, sangat lelah. Ia ingin segera mengakhiri semua ini, walaupun tak tahu bagaimana caranya.
"Ibu." Suara anak itu terdengar semakin lirih. "Pengin tau rasanya di peluk ibu."
Sederhana bukan? Keinginannya hanya sesederhana itu. Namun, sangat sangat sulit untuk ia dapatkan. Davka hanya ingin diakui keberadaannya. Walaupun hanya sekali dan tidak akan lagi merasakannya. Hanya ingin itu. Apakah salah? Apakah ia berdosa atas keinginan sederhananya itu?
Pelan, Davka mengusap air matanya. "Pasti pelukan ibu hangat," gumamnya. "Belaian Ayah juga."
"Davka mau ... sekali aja."
Davka ingin meraung keras rasanya. Ia tahu, waktunya tak lagi lama, tetapi apakah sampai detik akhir hidupnya nanti, ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan?
*******
131118
Revisi: 23.09.20
KAMU SEDANG MEMBACA
✔DAVKA
Teen FictionAll Right Reserved ©2018 Windarti Rahma Dani Start: 17 September 2018 Selesai: 28 November 2019 Revisi: 17 September 2020-23 September 2020