Mereka memang tidak pernah memperlakukannya dengan baik. Mereka memang tidak pernah menyayanginya. Tidak pernah berbuat baik, kepadanya dan tidak pernah peduli kepadanya.
Namun, Davka tidak akan bisa melupakan mereka begitu saja. Mereka adalah orang-orang yang berjasa dalam hidupnya. Sejak lahir, hingga sebesar ini, merekalah yang merawatnya. Walau sedikit pun tak ada rasa sayang, tetapi Davka tetap harus berterimakasih.
Davka menghela napasnya pelan. Air mata yang mengalir, ia usap perlahan. Kenapa rasanya begitu sesak? Davka rindu ibu, ayah, dan kedua adiknya. Sudah lama, sejak hari di mana ia diusir dari rumah, Davka tak pernah melihat mereka lagi. Davka rindu.
Ia tidak pernah menyimpan dendam. Davka ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka. Mereka yang sudah merawatnya sejak kecil. Namun, apakah mungkin?
Barangkali, melihat wajahnya saja, mereka tidak sudi lagi. Davka yakin itu. Dirinya benar-benar bak sampah di depan mata keluarga itu. Davka benar-benar tak ada artinya di mata mereka.
Suara pintu yang dibuka, membuat Davka segera menghapus air matanya dengan cepat. Mengalihkan pandangan ke mana saja, untuk menghindari tatap mata dengan papa dan mamanya yang baru saja memasuki kamarnya.
"Lho, anak Mama kenapa, Sayang? Kenapa belum tidur?" Karina segera menghampiri putranya, lalu ikut duduk di atas tempat tidur.
"Um, Davka gak apa-apa, Ma," jawab Davka berbohong.
Davian mengusap pucuk kepala putranya dengan lembut. "Kamu habis nangis, Nak? Kenapa, Sayang?"
Walaupun Davka berusaha menyembunyikannya, tetapi percuma saja. Davian bisa melihat jejak air mata, di wajah putra kesayangannya itu. Karina bukannya tidak tahu. Awalnya, ia hanya tidak ingin putranya merasa takut, karena mereka sudah tahu, apa yang coba anak itu sembunyikan. Namun, ternyata Davianㅡsuaminya—sudah lebih dulu menanyakan apa yang terjadi kepada Davka.
Davka tampak gugup dan tak berani mengatakannya, terlihat dari wajahnya yang terlihat kaget dan bingung secara bersaman. "Da-Davka gak apa-apa kok, Pa. Davka gak habis nangis, kok," jawabnya.
Karina memeluk tubuh Davka dengan lembut, sembari mengusap pucuk kepalanya sayang. "Cerita sama Mama dan Papa, heum? Jangan takut, sayqang. Mama sama Papa ada di sini."
Davian ikut duduk di samping Davka. Menepuk lutut putranya itu dengan lembut. "Kenapa, Sayang? Temen-temen kamu 'kan masih ada di sini. Mereka tidur dulu, Nak. Udah malam, heum? Jadi, jangan sedih, dong."
Davka tersenyum tipis, lalu menggeleng. "Bukan itu, Pa," jawab Davka. "Davka seneng kok. Dengan mereka ada di sini, artinya Davka gak kesepian lagi. Lagian, ini udah waktunya mereka tidur, Pa."
"Terus, anak Mama kenapa sedih, Nak?"
Davka menunduk. Ia tak tahu, harus berkata bagaimana. Ia takut, akan melukai hati kedua orang tuanya. Ia tak mau mereka sakit hati mendengarnya.
"Davka, ayo cerita, Nak."
Davka akhirnya tersenyum tipis. "Davka cuma kangen sama ayah dan ibuㅡmaksud Davkaㅡ a ...."
Karina semakin kuat memeluk putranya. Mengecupi pucuk kepala Davka dengan lembut. "Sayang, jangan inget-inget mereka lagi, Nak. Mereka jahat sama kamu, Sayang. Mereka udah dapat balasan setimpal!"
Davian diam-diam mengepalkan tangannya dengan kuat.
"Gimana Davka bisa lupa, Ma? Mereka jadi keluarga pertama yang Davka kenal. Mereka ngajarin Davka jadi seperti sekarang. Mereka ...." Davka tidak kuat lagi menahan air matanya. Membuat bulir-bulir itu, kembali mengalir deras. "Karena mereka juga, Davka bisa ketemu lagi sama Mama sama Papa."
Perlahan, kepalan tangan Davian, mengendur. Hatinya terasa dipukul keras, oleh apa yang putranya katakan. Apa selama ini ia egois?
Tidak!
Mereka, sudah berlaku tidak adil kepada putranya. Mereka tidak punya sisi manusia sama sekali. Buat apa ia harus mengingat mereka?
"Mereka memang selalu jahat sama Davka. Tapi, Davka selalu merasa berutang budi sama mereka. Davkaㅡ"
"Sudah malam, Nak. Kamu harus tidur. Jangan pikirin macam-macam lagi. Papa gak mau, kamu sampai sakit." Davian segera memotong kata-kata Davka. Ia hanya tidak mau, putranya itu tertekan, karena ingatan-ingatan buruk masa lalunya. Ia takut, Davka sakit lagi.
Karina yang sudah ikut menangis, segera mengusap air matanya, lalu mengusap air mata putranya dengan lembut. "Benar kata Papa, Nak. Kamu istirahat dulu, ya? Teman-teman kamu 'kan masih ada di sini. Besok, kita ajak mereka jalan-jalan, oke? Jadi, anak Mama, gak boleh capek-capek."
Davka tahu, ini hanya alasan kedua orang tuanya untuk mengalihkan pembicaraan. Namun, Davka maklum. Ia terlalu menyusahkan mama dan papa. "Mama sama Papa juga tidur," ujar Davka akhirnya.
Karina dan Davian memaksakan senyum mereka. "Iya. Mau Mama buatkan susu, Nak?"
Davka menggeleng. "Enggak usah, Ma," jawabnya.
"Ya sudah. Tidur ya, Sayang. Jangan mikir macam-macam oke?"
Tuhan, bolehkah Davka berharap, jika semua yang pernah terjadi kepadanya dulu, hanyalah mimpi?
DAVKA
Tbc.
051019
071019
Revisi: 23.09.20
KAMU SEDANG MEMBACA
✔DAVKA
Teen FictionAll Right Reserved ©2018 Windarti Rahma Dani Start: 17 September 2018 Selesai: 28 November 2019 Revisi: 17 September 2020-23 September 2020