"Ini kita mau dibawa ke mana sih, Om? Om beneran gak mau culik kita, terus dijual ke luar negeri sana 'kan, Om?!"
Davian berkali-kali menghela napasnya. Tiga orang remaja yang ia bawa ini, sangat-sangat berisik dan tidak bisa diam. Kalau saja putranya tidak meminta bertemu dengan teman-temannya ini, sudah dijamin ia tak akan mau bertemu mereka.
Lagi pula, Davian seharusnya berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada ketiga remaja ini, karena sudah menjaga putranya selama bertahun-tahun.
"Kalian tenang aja," ujar Davian. "Emangnya tampang Om ada tampang-tampang penjahat, apa?"
Seorang gadis yang Davian tahu bernama Shafa itu, menatapnya dengan tatapan penuh selidik. "Emang gak ada sih, Om. Tapi 'kan penjahat gak pernah nunjukin muka jahatnya ke korban""
Davian sangsi. Pasti gadis ini kebanyakan nonton film horor.
"Terserah kalian deh, mau percaya apa enggak," ujar Davian lelah. "Harusnya kalian seneng dong, Om bawa jalan-jalan ke Belanda. Gratis, lagi."
"Oh! Om pamrih ternyata, ya?" Kali ini, Deon yang berucap. Astaga. Davian ingin menyerah saja.
"Bukan gitu maksud saya ...." Ia menghela napasnya lelah, sementara sopir pribadinya, tidak mengerti apa yang diucapkan sang majikan dan tiga remaja itu. "Kalian 'kan sedang liburan sekolah. Jadi, anggap aja ini hadiah buat kalian, kan? Kapan lagi coba, jalan-jalan di luar negeri?"
Benar juga, pikir Shadengga. Hanya saja, mereka masih sangat-sangat penasaran. Alasan kenapa mereka dibawa ke luar negeri seperti ini. Orangtua mereka juga malah iya-iya saja. Tidak menjabarkan alasan mereka, kenapa menyetujui ajakan dari seorang om-om yang bahkan baru mereka kenal beberapa hari lalu.
Mobil berhenti, di sebuah rumah bernuansa klasik. Kontan membuat Shadengga terpana untuk sesaat. "Ini rumah Om?" tanya Shadengga kompak.
Perlu diingatkan lagi. Shadengga itu, Shafa, Deon, dan Angga. Siapa tahu lupa.
"Bukan," jawab Davian santai. "Rumah Om yang itu." Ia menunjuk salah satu rumah, sontak membuat ketiganya membelalak. "Yang ini, garasi."
Astaga. Garasinya saja semewah ini, pikir Shadengga. Apalagi rumah di sampingnya, yang lebih dari kata mewah.
"Seriusan ini rumah Om?"
"Iya. Ayo turun."
Sudah cukup, mereka mengagumi rumah mewah itu dari luar. Saatnya, masuk untuk melihat-lihat.
*****
Mereka menarik koper masing-masing, masuk ke rumah, sebelum akhirnya Davian memanggil beberapa pelayan untuk membawakan koper mereka, ke dalam kamar.
Shadengga, ketiganya masih menatap kagum seisi rumah yang sangat luas ini. Mendadak, pikiran mereka jika mereka diculik dan akan dijual itu, musnah seketika.
"Kalian kalo capek, istirahat dulu aja, ya? Atau, mau makan dulu?" tanya Davian.
Ketiganya hanya saling pandang. Bingung mau menjawab apa.
Davian tersenyum maklum. "Ya sudah. Kalian istirahat dulu. Ganti pakaian kalian, supaya lebih nyaman. Setelah makanan siap, nanti kalian Om panggil."
Dia kemudian memanggil beberapa maid, menggunakan bahasa Belanda, yang Shadengga tak tahu artinya. Setelah itu, mereka diajak ke kamar masing-masing. Hanya Shafa yang kamarnya terpisah, karena dia adalah seorang gadis. Sementara Deon dan Angga satu kamar.
Davian tersenyum puas. Ia tak sabar melihat reaksi putranya, saat melihat sahabat-sahabatnya datang.
Ia pun kemudian beranjak menuju sisi lain rumah, di mana keluarga kecilnya biasa berkumpul. Terlihat putra dan istrinya yang tengah bercengkerama. Membuat Davian tersenyum. Di tangannya, ia membawa oleh-oleh dari Indonesia. Khusus untuk putra kesayangannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔DAVKA
Teen FictionAll Right Reserved ©2018 Windarti Rahma Dani Start: 17 September 2018 Selesai: 28 November 2019 Revisi: 17 September 2020-23 September 2020