Bab 16 sisi lain

12.5K 2K 38
                                        




"Mi om lo gak ke sini tuh hari ini. Biasanya juga bawain kedondong, durian atau permen lolipop."

Yailah itu bawa-bawa kedondong Mang Usman segala. Duh Erin. Tapi emang hari udah sore begini itu si Kai gak nyamperin.
Biasanya juga ada aja yang alasan buat ke toko. Yang beli bunga buat bundanya... beli kaktus buat karyawannya yang sedang sakit sampai beli bunga melati buat temennya yang kesurupan. Heran tiap hari kok ya beli bunga... dasar.

Lagian aku juga masih keki sama dia. Masa aku mau di halalin atau panggil Masnya... enak aja. Aku ama dia tuh tuaan aku kemana-mana. Dia baru oek-oek lahir juga aku udah bisa nyedot ingus. Terus mainan gundu juga udah bisa. Lha Dia? Baru bisa tengkurap palingan.

"Lagi sakit gigi paling," jawabku asal. Membuat Erin terkekeh. Dia sudah sibuk membersihkan semuanya. Biasa kalau sudah pukul 4 begini toko kami tutup.

"Jangan kejem gitu lah mi. Anak kecil perlu dilindungi."

Erin menyeringai saat aku melotot ke arahnya. Lalu dia menangkupkan kedua tangannya.

"Sorry deh. Gue pulang dulu ya Mi.."

Aku menganggukkan kepala saat Erin membuka pintu dan berpamitan. Kuhela nafasku, lelah rasanya seharian ini. Pesanan buket bunga dari pagi tidak berhenti. Kusandarkan tubuhku di kursi. Dan kini menatap jalanan yang sibuk di depan toko.

Sekilas aku melihat Mas Dani lewat depan toko dengan istrinya. Hati ini masih merepih kalau melihat itu. Jodohku sudah digondol sama orang.

Tapi kalau aku pikir-pikir sosok Kairo itu sebenarnya patut diperhitungkan. Tapi karena dia lebih muda dariku membuat aku tidak mau. Intinya kan gini, masa aku yang mungil dan imut ini harus menikah sama Kairo yang lebih muda dariku. Besok kalau punya anak mau jadi apa coba?

"Permisi."

Suara itu membuat aku tersadar dari lamunan. Seorang pria tampak menatap toko.

"Maaf mas udah tutup."

Aku beranjak dari dudukku. Rasanya tidak sanggup lagi kalau harus membuat buket bunga lagi. Tanganku sudah capek.

Pria itu tersenyum dan melangkah masuk.

"Mbak saya butuh buket bunga Lili sebanyak 30 buah. Ada buat acara nanti malam. Tolong ya.."

Kuhela nafasku. Kalau harus membuat buket sebanyak itu aku sebenarnya masih sanggup. Tapi tubuhku ini sudah tidak bisa diajak kompromi.

"Aduh mas.. saya udah gak ada rekan lagi. Saya.."

"Please mbak.. saya udah buntu nih."

Melihat wajah memelasnya Akhirnya aku pasrah. Kuanggukan kepala dan menerima kartu nama pria itu. Dia membayar secara lunas lalu menyuruhku untuk mengantar nanti jam 7 malam.

Aku mulai mengerjakan buket pesanan itu saat suara pintu kembali terbuka.

"Maaf sudah tutup."

"Adeknya.."

Aku langsung berbalik dan melihat Kairo sudah berdiri di ambang pintu. Kali ini dia tidak menyeringai dengan jahil. Tapi wajahnya benar-benar serius.

"Om..."

Kai kini melangkah ke arahku. Lalu menyentil keningku dengan jarinya.

"Kenapa belum pulang? Ini udah jam berapa?"

Lah dia kok jadi perhatian gini?

"Ada pesanan buat jam 7 nanti."

Aku segera berbalik dan memotong tangkai bunga Lili. Menyiapkan beberapa kertas, memotong pita dan mulai menata. Tapi tanganku disentuh oleh Kairo.

"Dek.. mending makan dulu. Aku udah beliin kamu nasi padang tuh."

Aku melirik bungkusan yang ada di atas meja. Lha kapan dia meletakkan di sana coba?

"Nanti.. nanggung ini."

Tapi Kai dengan cepat menarikku untuk duduk di atas kursi yang ada di balik meja. Aduh kok maksa banget.

Dia tidak banyak berbicara saat membuka bungkus nasi padang itu. Lalu mengambil sendok plastik yang tersedia dan tiba-tiba menyuapiku. Tentu saja aku menggelengkan kepala.

"Adek..."

"Aku belum lapar."

"Aaa gitu loh. Nanti pesawatnya mau masuk gua ini...aaaaa "

Tentu saja aku tertawa mendengar rayuannya. Dan nasi itu masuk ke dalam mulut. Duh tertipu.

Dia lalu mengusap rambutku dengan pelan. Kayak anak kecil banget aku diperlakukan. Tapi kenapa aku malah merasa nyaman.

"Aku diajarin buat buketnya.. ntar aku yang kerjain deh."

"Engghak ushah akhu bishaaa.
"

Ucapanku tidak jelas karena mulut masih penuh nasi. Dan kemudian tawa Kairo meledak.

"Aih dedeknya gemas deh. Kamu itu lucu. Aku tetep gak percaya kamu itu umur 29 tahun."

Tuh kan mulai lagi sedengnya. Aku pikir udah bener aja ni berondong.
Akhirnya aku meraih bungkus nasi padang itu.

"Aku bisa makan sendiri."

Kairo tidak membantah dan dia menyerahkannya. Lalu dia duduk di tepi meja dan mengambil satu tangkai bunga Lili. Memutar-murarnya dengan jarinya.

"Hei lili... Kamu suka gak sama aku?"

"Ehmm siapakah pangeran di depanku?"

Aku melongo menatap Kairo yang berbicara sendiri dengan bunga Lili.

"Pangeran dari negara antah berantah yang ditolak sama putri dari kahyangan yang jutek. Katanya aku masih bayi."

Aku hampir tersedak mendengar ucapan Kairo. Tapi dia serius tidak menoleh ke arahku. Dan malah memperlakukan bunga Lili itu kayak orang.

"Ah putri itu gak lihat apa kalau pangeran ini tampan?"

Suaranya berubah jadi kecil saat menjadi bunga Lili. Lah aku kok jadi ikutan gila ini.

"Waahh aku tampan? Aduh sini aku cium deh."

Tuh kan sikapnya aja masih kayak anak bayi gitu. Tapi mau tidak mau aku tersenyum mendengar ucapannya. Lalu tiba-tiba dia menoleh ke arahku. Dan memegang dadanya.

"Aduuhhh Adek jangan senyum kayak gitu. Jantungku gak kuat nih."

Nah kan masih saja otaknya geser ini berondong.

Bersambung

Nah hayuk yang mau love in Venice udah ready di rumah nih.




Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
17 YEARS OLD?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang