Part 7. Penguntit

64 14 0
                                    

"Seperti halnya es batu yang dibiarkan dalam udara terbuka akan mencair tanpa diperintah, barangkali hatimu begitu bila kamu terus bersamaku. Ya, barangkali hatimu bisa mencair."
____________________________________

Hari pertama ulangan bulanan membuat mental Kilana naik turun tak menentu. Seperti harap cemas menunggu kabar seseorang yang ditunggunya tanpa kabar. Namun ini lebih menegangkan dari sekadar itu, seperti memperjuangkan masa depan yang lebih baik atau menjorok lebih suram. Karena semua sebab Luan.

Kilana membuka buku Bahasa Indonesianya. Mencari bab satu, yakni Prosedur untuk kembali dipelajari walau ia sudah mengulanginya dua kali. Jadi sekarang sudah tiga kali, membuat Kilana bosan sendiri yang terus menyerap kosakata yang begitu saja dan makin membosankan.

Menutup bukunya kembali dengan mantap kemudian menidurkan kepalanya di atas buku Bahasa Indonesia, dengan tujuan berharap setiap kosataka membosankan itu tetap melekat pada otaknya sampai kapan pun.

Di sampingnya Irada pun begitu. Sangat bosan melebihi bosannya Kilana. "Lo tahu Na?"

"Hmm?"

"Gue pertama kali liat lo bingung gini kalo ngadepin ulangan. Biasanya lo selalu santai," ucapnya dengan nada datar. Pasalnya ini memang kejadian langka, sangat langka apabila Kilana siswi terpintar di sekolah kebingungan menghadapi ulangan.

"Ucapan Nazel bikin gue takut."

"Lo percaya Luan bisa ngelewati otak lo?"

"Masa depan nggak ada yang tahu."

"Gue tanya Roy mau?" tawar Irada diiringi cekikikan.

Kilana tak menghiraukan tawaran Irada yang tak bermanfaat. Ia memasukkan bukunya ke dalam tas kemudian memindahkannya ke bagian depan kelas karena sebentar lagi penjaga kelas sudah datang. Kemudian duduk pada tempat aslinya yaitu bagian dua baris dari belakang.

Duduk di bagian dua dari belakang membuat Kilana tak nyaman. Berulangkali selalu ada orang yang memanggilnya untuk meminta jawaban. Sebenarnya tak masalah, tapi bisikan-bisikan itu membuat Kilana selalu mendapat tatapan tajam dari penjaga.

"Sut, sut, Na," panggil Irada yang ada di depannya. "Jangan lupa kasih tahu gue." Irada menyengir kemudian berbalik.

Irada dan Kilana memang tak pernah sebangku saat ulangan, tapi saat pelajaran selalu sebangku. Semua karena sistem sekolah yang lagi-lagi unik. Kelas IPA terbagi menjadi tiga kelas. Sedangkan Kilana masuk dalam kelas XI IPA-2. Tiap nama awalan abjad A-I berada pada kelas XI IPA-1 atau disebut ruang 1. Abjad J-S berada pada kelas IX IPA-2 yang disebut ruang 2. Lalu abjad T-Z berada pada kelas IX IPA-3 disebut ruang 3. Jadilah tiap ruangan selalu ada anak kelas lain yang bercampur saat ulangan. Begitu rumitnya program sekolah Langit.

Lalu mengapa Irada bisa sekelas dengan Kilana saat ulangan? Karena ruang 1 kuotanya sudah penuh jadilah mereka sekelas.

Kilana melirik pada kursi di sebelah kanannya yang kosong. Pikiran buruk berkecamuk dalam benak Kilana. Jangan-jangan si empu kursi ini adalah Luan? Tidak, ini kebetulan yang sangat menyesakkan. Tapi apabila dipikir secara logis ini kemungkinan yang besar, karena abjad mereka berurutan. Tapi semoga saja tidak karena barangkali ada murid baru atau murid keluar dari Langit itu hal menguntungkan bagi Kilana. Ada kemungkinan juga mereka tak akan sebangku, karena tahun kemarin buktinya Kilana tak sebangku dengan Luan. Akhirnya bisa bernapas lega.

Forget The SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang