Part 4. Kehangatan Luka

91 22 16
                                    

"Aku rindu dengan rasa kehangatan yang tak pernah lagi saat ini kuharapkan. Berharap sama saja membuatku hancur. Hanya nyawa tanpa rasa yang kudapat."

____________________________________

Luan tak main-main dengan ucapannya kemarin, hari ini ia sudah siap berangkat subuh, ralat jam enam pagi yang bagi Luan subuh hari. Dengan berbekalkan alamat rumah Kilana yang ia dapat dari temannya yang sekelas dengan Kilana. Luan juga sudah menyiapkan kata-kata mutiara untuk meminta maaf dan beberapa kata karangan yang ia handalkan ketika berdebat.

Benar sekali, Luan tak bercanda untuk menjemput gadis galak itu. Yang sekarang Luan sudah mengendarai motor sportnya menuju rumah Kilana. Sedikit membingungkan karena Luan hanya beberapa kali lewat daerah ini, harus beberapa kali bertanya pada orang-orang dan Luan berhasil menemukan rumah minimalis Kilana.

Tak ada yang istimewa. Pagar besi sederhana. Hanya ada dua pintu dari sisi depan. Juga beberapa tanaman hijau penyedap mata dan hidung. Tepat saat Luan membuka kaca helm biru tuanya, Kilana membuka pagar untuk keluar.

Kilana terkejut bukan main saat melihat orang di depan rumahnya. Tapi ia tetap berjalan mendekati Luan. "Masnya ojek? Cari siapa, ya? Saya nggak pesan ojek online loh." mata Kilana melirik jok motor Luan yang kosong. Kilana hanya asal bicara, karena selama ini tak ada orang lain yang tiba-tiba berhenti dengan sengaja di depan rumahnya.

"Gue Luan woy masa orang ganteng disamain sama ojek." Luan menggerutu sembari melepas helm yang membalut kepalanya supaya Kilana melihat bahwa dia bukan ojek online.

"Oh kirain ojek nyasar ke rumah gue. Ngapain ke sini?"

"Jemput lo," jawab Luan menepuk jok belakang motor yang kosong.

"Tahu dari mana gue tinggal di sini?" tatapan penuh selidik mengarah pada Luan.

"Orang." Luan menyerahkan helm hitam pada Kilana dan diterimanya dengan paksaan. Luan menatap Kilana kemudian beralih lagi ke arah jok motor dengan artian menyuruh Kilana bergegas naik.

"Gue jalan aja ah males sama lo." Kilana menyerahkan helm pemberian Luan kepada si empunya.

"Pulpen lo nggak balik kalo jalan," ancam Luan diiringi senyum kemenangan. Kilana mendengus dengan terpaksa menaiki motor Luan dan memasang helm supaya aman.

Motor sport biru tua menyelusuri jalan dengan kecepatan rata-rata. Ini hanya sementara karena apabila Kilana tak ada Luan pasti sudah menginjak pedal gila-gilaan.

Semua hanya diiringi suara senyap dalam berkendara hingga sampai pada parkiran sekolah SMA Langit Biru. Mereka berjalan bersandingan tanpa beban padahal beberapa pasang mata elang menghunus keduanya dengan tatapan penuh tanya.

"Na maaf, ya, gue udah rusak sepada lo. Maaf gue udah jatuhin martabak lo. Maaf gue pinjem pulpen nggak gue kembaliin." Luan berbicara dengan tulus. Menunggu reaksi Kilana yang masih saja berjalan tanpa bicara.

"Minta maaf aja nggak cukup. Lo udah buat pelanggan martabak gue kecewa, sepeda gue lecet semua, dan balikin pulpen gue sekarang!" tatapan tajam disertai embusan napas memburu.

Luan menyerahkan uang dua ratus ribu ke hadapan Kilana dan diterima dengan hati riang oleh Kilana. Lumayan buat tambah uang tabungan dan bayar bebarapa tunggakan uang kas. "Pulpen mana?"

"Nggak tahu pulpen lo ilang kayaknya," jawab Luan ragu.

"Urusan kita belum selesai dong, pokoknya pulpen harus balik baru lo bisa bebas dari gue." Kilana berujar sembari berlalu dari hadapan Luan menuju kelasnya.

Forget The SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang