Part 20. Yakin

43 9 0
                                    

"Seseorang bukan tak ingin lupa, kadang ia bingung apa manfaatnya melupa dan itu terlalu sukar. Terlanjur kecewa dan yang tersisa hanya kesedihan tanpa tepi."
____________________________________

Saat sampai di koridor kelas IPA Kilana melangkah lebih cepat, bahkan Luan di belakang dibuat kuwalahan mengejarnya. Ada sesuatu yang sangat penting yang harus Kilana lakukan, dan tak seorang pun bisa mencegahnya.

"Na, oy! Ini gue Luan bukan hantu. Kenapa lo lari sih? Atau lo kebelet pup? Yaelah kacang mulu." Tak ada hentinya Luan mengoceh tapi tak satu pun digubris Kilana. Hingga saat Kilana memasuki kelasnya dan duduk dengan terburu barulah Luan berhenti bicara. Ia menatap ke arah dalam kelas Kilana, hanya ada seseorang.

"Kepo amat gue. Udahlah dia palingan kebelet kentut tapi gak mau didenger apalagi dicium kentutnya. Dasar pemalu!" Luan geleng-geleng kepala membayangkan ekspresi bersalah Kilana bila ketahuan kentut, apalagi di depannya. Bukan main lucunya.

Sedangkan di dalam kelas Kilana mengecek ponselnya dengan gusar. Tertera background hitam di layarnya dan menampilkan pesan terakhir yang tertuju Irada. Ia tak salah kirim, apalagi ada tanda dua centang biru yang menyakinkannya bahwa Irada telah membacanya meski belum dijawab.

Tepat saat ia hendak mengirim pesan sekali lagi dari arah pintu terdengar suara cetar yang ceria ala Irada.

"Pagi para jombloan dan jomblowati. Jangan kangen lagi karena saya sudah hadir. Apalagi si Kilana yang ganas. Nah ada apa nyuruh gue berangkat pagi buta kayak gini?" Irada duduk menghempaskan pantatnya secara kasar di atas kursi. Meletakkan tasnya di belakang punggung. Dan mengambil ponsel dari saku baju.

"Pasti lo kan yang bilang ke Luan apa itu Lana! Lo kan!" tuduh Kilana tanpa perlu basa-basi. Bahkan sekarang ia menuding Irada dengan telunjuknya. Meski terbilang tidak sopan ia sudah tak peduli. Emosi tak akan peduli.

"Santai Na gue bisa jelasin kenapa gue bilang ke Luan." Irada meletakkan ponsel di atas meja. Sudah cukup tahu Kilana mengejaknya berbicara serius, apalagi ditambah ia membentaknya dan menudingnya. Ini yang ia takutkan, emosi Kilana mudah naik dan sulit diturunkan.

"Jelasin apa! Harus berapa kali sih gue bilang? Tutup mulut lo Ra, tutup ngerti nggak sih!" Nada Kilana kali ini sangat tinggi. Seorang siswi yang menysksikan adegan cekcok hanya bisa menatap tanpa mau campur tangan.

"Lagian itu Luan, Na. Gue ga bilang siapa-siapa lagi. Luan orang yang tepat, dan harus tahu siapa lo itu!" Irada tak mau kalah. Ia balas membentak dan menekan, Kilana bukan orang yang bisa diajak bicara baik-baik bila menyangkut masa lalunya.

"Luan orang yang tepat maksud lo? Tepat? Dia itu cuma orang asing yang berusaha masuk ke hidup gue! Dan lo! Dengan seenaknya buka setiap masa lalu gue ke dia? Nggak pantes lo koar sana-sini tentang gue. Siapa lo? Kali ini lo siapa? Sadar diri sana!" Mata Kilana memerah, amarahnya memuncak. Semakin tak terima opini Irada.

Irada hanya bisa memejamkan matanya. Kata-kata Kilana menghunusnya terlalu dalam. Tapi Irada bukan orang lemah yang mudah terhasut oleh emosi sementara. Kilana tak sadar mengucapkan kata itu. Irada harus tahu itu.

"Lo tahu gue nggak suka lo yang selalu marah-marah cuma kerena masa lalu lo terkuak."

"Nggak ada hak lo mau ngelarang gue," jawab Kilana sekenannya.

"Kapan sih lo mau sadar Na? Masa lalu itu cuma masa lalu! Buat pembelajaran untuk sekarang. Sedangkan lo anggap masa lalu musuh, yang wajib dihindari. Sadar Na!" Irada berdiri. Menggoncangkan bahu Kilana yang bergetar hebat karena menangis.

Forget The SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang