"Gapapa gue cuma bisa andalin benda mati buat kontrol lo, tapi nanti lihat aja dan camkan kalau gue udah nggak perlu apa-apa karena hati gue yang udah ambil kendali."
____________________________________Tin tin.
Suara klakson dari luar membuat mata Kilana melirik ke arah pintu, tapi ia tak dapat melihat dengan begitu jelas sehingga ia tak lagi memerdulikan suara klakson di pagi hari ini. Ia kembali memasang kaos kakinya.
"Na kamu belajar yang rajin, ya, jangan peduliin peringkat kamu yang merosot, yang penting kamu belajar aja dan ilmunya nyampe di kamu." Grina menutup kotak bekal Kilana seusai ia berbicara. Diletakkannya bekal itu di atas meja samping kanan Kilana.
"Iya Bu, maafin Kilana soalnya udah buat Ibu kecewa." Matanya beralih menatap wajah Grina yang masih terlihat muda walau usianya terbilang terbalik dengan wajahnya. Sorot mata Kilana memancarkan penyesalan yang dapat diterima Grina, hal itu membuat Grina harus berulang-kali menyalinkan Kilana bahwa itu adalah hal yang sama sekali tak membuatnya kecewa.
"Ibu harus bilang berapa kali. Ibu nggak kecewa. Justru usaha sebelumnya dan sampai sekarang udah buat ibu bangga. Kamu selalu buat ibu bangga." Grina mengelus lembut kepala Kilana, berusaha menyalurkan rasa hangatnya dan nyaman.
Tin tin
"Siapa Na? Itu temen kamu kali dari tadi dia klakson mulu."
"Ah mana ada yang jemput Kilana Bu, orang lain kali itu." Kilana kembali memasang kaos kakinya dan beralih pada sepatu hitamnya. Seusai sepasang sepatu tepasang di kakinya, ia memasukkan bekal ke dalam tas punggungnya. Ia berdiri dan mencium puungung tangan Grina dan segera keluar rumah untuk menuju sekolah.
Kilana menuntun sepedanya menuju pagar kecil. Dibukanya pagar dan nampaklah sebuah motor sport biru laut di sana. Kilana mengenalinya, itu pasti Luan. Kilana berjalan mendekat dan roda sepedanya menabrak kecil body motor Luan yang mengakibatkan sang empu menoleh kepadanya.
"Ngapain lo di sini?" tanyanya ogah-ogahan. Mata Kilana berkeliar mencari jalan kecil yang sekiranya dapat membebaskan sepedanya keluar dari halaman rumahnya yang dipenuhi taman. Sayang sekali sekarang tidak ada jalan kecil yang dapat memungkinkan keluar lebih cepat sebelum menunggu kepergian Luan.
"Idih, pacarnya ke sini kok nggak disuruh masuk kek terus makan bereng, ini justru pengusiran secara tersirat." Bibir Luan sedikit maju untuk memperdalam rasa kesalnya, namun semaju-majunya bibir Luan jika ia masih menggunakan helm itu sama sekali tak berguna bukan? Apalagi jika itu dirujukan untuk Kilana.
"Siapa lo yang wajib banget gue suruh masuk dan makan bareng?" Kilana justru membuat pertanyaan sarkas yang membuat Luan cukup tahu diri dan sadar diri dimana posisinya sekarang. Tapi bukan Luan namanya jika tidak dapat membalas semua perkataan orang yang memang ditujukan untuknya.
"Siapa lo, siapa lo. Gue pacar lo lah, lo lupa kemarin kita aja baru jadian?" Luan sedikit tersenyum sinis, akhirnya dia bisa membalas perkataan Kilana.
"Halah diem, dan nggak usah banyak mimpi! Pacaran ini secara sepihak oke? Jadi lo jangan nuntut gue lagi. Lagian untungnya buat gue apaan sih?" Emosi Kilana sidikit-sedikit mulai tersulut, bahkan sekarang ia menatap Luan bagaikan musuh bebuyutan.
"Untungnya buat lo ini...." Luan merogoh saku celana bagian kanannya dan mengeluarkan sebuah buku kecil berwarna biru laut.
Mata Kilana membelak, dirinya tentu saja dibuat kaget dengan adanya buku kecil miliknya telah ada di tangan Luan, bagaimana bisa dia mendapatnkannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Forget The Secret
Teen FictionRahasia, kebahagiaan, dan luka. _________________ Tiap orang punya kisah sendiri dalam hidupnya. Begitu pun kita. Kita bertemu tanpa sebab tapi berakibat. Bagi aku maupun kamu. Aku dan kamu punya luka, untuk mengenyahkannya aku memilih merahasiakann...