"Ada hal mengapa beberapa orang lebih memilih meninggalkan daripada ditinggalkan. Tingkat perbedaanya tampak di rasa sakitnya ketika terlalu terbiasa."
____________________________________Kilana meletakkan buku Fisika di atas nakas seberang kasurnya. Saat hendak tidur terlantang suara decitan pintu mengurungkan niatnya untuk berbaring. Grina masuk ke dalam dan duduk di kasur hingga beringsut.
"Na, ibu minta nomor handphone Luan dong," ujarnya tanpa basa-basi. Grina menyodorkan ponsel pipih berwarna hitam.
"Ibu minta nomor Luan ke Lana? Nggak salah? Bu, bahkan Luan nggak aku angggap sebagai...."
"Teman," potong Grina cepat. Ia menatap malas putrinya. "Iya dia bukan teman kamu tapi pacar kamu, bener kan?" tebak Grina tanpa pikir panjang. Feeling ibu-ibu biasanya benar, tidak meleset, apalagi salah.
Kilana membelalak, dengan cepat menetralkan raut mukanya kembali. "Jangan ngarang Bu," sergahnya. Ia beringsut duduk di samping Grina.
"Ibu malas debat, udah berapa nomornya?" tanya Grina kembali ke topik awal.
Kilana mendengkus kesal, harus berapa kali ia bicara kalau tidak mempunyai nomor Luan. Ibunya keras kepala sekali, sama sepertinya. "Nggak ada Bu, nggak ada."
"Kamu berani bohongin ibu Lana?" Nada bicara Grina berubah sendu. Ia tidak benar-benar sedih, hanya ingin Kilana memberikan nomornya.
"Nggak gitu Bu. Tapi aku emang nggak punya."
"Luan bilang kok sama ibu kalo waktu pertemuan pertama kalian aja kamu udah berani minta nomor Luan. Genit banget anak ibu ini." Grina yang gemas menyubit pipi Kilana cepat, membuat Kilana dongkol.
Kilana terdiam, mencerna kalimat Grina perlahan. Dirinya yang minta nomor Luan? Gila! Benar-benar gila! Sejak kapan ia membiarkan mulutnya berucap demikian? Meminta nomor Luan? Siapa dia! Dan kalimat pertemuan pertamanya dengan Luan membuat Kilana memutar memori, ia meminta uang pengganti martabak yang jatuh, bukan nomor sialan itu. Luan mempermainkannya hingga membuat Grina percaya dan menganggapnya genit, kegatelan, atau apalah itu, memangnya ia gadis butuh belaian apa!
"Bentar bu." Kilana berdiri dan mendekati ranselnya yang tak jauh. Membuka resleting bagian depan yang kecil, tangannya meraba-raba bagian dalam dan mendapatkan secarik kertas kecil. Ia membawanya dan membacanya sebelum ia berikan kepada Grina.
"Nah ini ada, kamu ini." Grina menerima secarik kertas dari tangan Kilana. Ia mengetikkan sesuatu di ponselnya dan sesekali melirik ke arah kertas. Tak lama ia memberikannya kembali pada Kilana.
"Lana juga baru inget," ucapnya ketus dan menerima kertas dari tangan Grina.
"Udah ah ibu mau chatan sama calon menantu," ujarnya riang menuju pintu, membukanya dan menutupnya kembali. Iris mata Kilana melirik tiap gerakan Grina hingga beliau membuka pintunya kembali, menyembulkan tubuhnya sebagian.
"Ibu lupa kalo Luan pernah bilang gini ke ibu yang intinya Luan itu orangnya baik, nggak akan sakiti orang apalagi sama perempuan yang dia hargai. Kalo kamu mulai percaya sama dia dan Luan akan akan juga kepercayaan itu. Kalo dia buat kepercayaan itu runtuh maka harga diri Luan runtuh juga," jelasnya panjang, sesuai dengan apa yang Luan ucapkan.
Terlalu mendalami apa makna dari sederet kalimat yang Grina ucapkan membuat Kilana tak tahu bahwa Grina telah pergi dan menutup pintunya rapat.
Kilana berbaring, menatap langit-langit dengan raut tak terbaca. Haruskan ia kembali percaya pada seorang lelaki asing yang masuk ke dalam hidupnya? Bang Juan, Lana bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forget The Secret
Teen FictionRahasia, kebahagiaan, dan luka. _________________ Tiap orang punya kisah sendiri dalam hidupnya. Begitu pun kita. Kita bertemu tanpa sebab tapi berakibat. Bagi aku maupun kamu. Aku dan kamu punya luka, untuk mengenyahkannya aku memilih merahasiakann...