22. Luka dan Sahabat

274 31 34
                                    

[percayalah, kalau gue sayang sama kalian temen-temen. :(





















Tapi boong. Wkwkwk, anjaszszsz]







 Wkwkwk, anjaszszsz]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.











***

"Indri!"

Si Indri yang mau balik langsung noleh. Menatap Farah yang kini udah meledak berkat ceplas-ceplos si Indri. "Maksud lo apa? Lo belain Alta? Lo udah disuap sama Alta?"

Fak!

Nih anak ngomong apa? Gue? Nyuap Indri? Otaknya tolong dikondisikan dong. Biar kalo ngomong teh bisa dijaga. Sekarang apa sih faedahnya nyuap Indri?  Supaya dibelain. Yah kalo supaya dibelain mah sekalian aja gue nyewa pengacara. Ya nggak sih?

"Kenapa tiba-tiba bikin hipotesis kayak gitu Far? Takut kalo Alta udah ada yang belain sedangkan kamu nggak? Iya kan. Kamu itu tipe anak-anak yang punya luka tapi kamu menghadapinya dengan cara kekanak-kanakan. Dan kamu juga benci kekalahan. Kalo seandainya kamu kalah, kamu bakal memutar balikkan fakta yang ada kan?"

Berasa kena tancapan panah akutuh. Si Indri kalo udah marah sekampung langsung heboh oy.

"Hampir sekitar sembilan bulan sekelas sama kamu aku selalu ngawasin kamu. Karena dibanding koar-koar nggak jelas ikut ngelawan kamu. Lebih baik diam-diam memahami karakteristik musuh kan? Dan itu yang buat aku paham kalo kamu kayak gini."

Wahh! Ku ingin memberi tepuk tangan pada Indri.

"Udahlah Far. Yang punya luka kayak kamu bukan cuma kamu disini. Banyak yang sama. Bukan saatnya kamu egois lagi. Bukan saatnya kamu jadi hakim terus menentukan mana yang salah mana yang nggak. Sekarang, waktunya kita saling membagi luka."

Indri diem. Dia noleh gue. "Alta, aku yakin kamu punya opini soal membagi luka bersama?"

Ok, gue sekarang yang maju kedepan Farah. "Gue nggak nyalahin lo Far. Disini gue juga egois. Anggap kita sama-sama salah. It's okay. Kita masih remaja, apasih yang bisa diharapkan dari remaja yang masih kekanak-kanakan kayak kita. Nothing kan?"

Gue menelan saliva gue dulu gens. Takutnya muncrat kemana-mana kan bahaya.

"Terlalu nggak adil emang Far. Saat kita lihat ada orang lain yang nggak punya beban dan luka seberat kita tapi justru kita dapet beban yang amat berat. Terlalu nggak adil ada orang lain bahagia, sedangkan kita nggak. Tapi kita harus selalu inget, kita nggak sendirian disini. Banyak yang punya luka. Termasuk aku, Okta, Jeje, Retno, Amel, dan yang lainnya. Aku tahu Rah, kamu bertingkah kayak gini supaya kamu bisa membuktikan sama dunia bahwa kamu bisa. Bahwa kamu kuat, tapi kita satu kelas. Satu keluarga. Udah saatnya kita membuka semuanya."

"Aku sangat tahu, kamu benar-benar takut untuk menerima ketidak adilan. Dan kamu juga benci kekalahan. Kita disini sama Rah, ayo kita bangun kelas ini sama-sama."

Saat itu yang gue tahu nggak ada bacod. Nggak ada yang nentang. Nggak ada hujan tangis air mata atau menye-menye lainnya.

Yang gue tahu cuma satu, terdapat benih tumbuh dalam hati temen-temen gue. Bahwa mereka percaya sama kelas ini. Bahwa mereka harus membuka topengnya detik ini. Selalu ada tempat untuk setiap orang, hak, suara, kewajiban, aspirasi.

Karena bersama kita kuat. Dan itu untuk selamanya.

***

Ini pagi hari senin, selepas sabtunya kita kena serangan hati yang akhirnya kita semua merasa sembuh. Kita mulai kelas menjadi kelas yang baru. Better sorry than a new. Bener kan? Lebih baik kita perbaiki apa yang kita lakukan pada lingkungan ini. Daripada mencari lingkungan baru untuk memaafkan luka kita.

Lagi dan lagi. Banci tol jagorawi dengan suara khas TOA nya membanjiri ruangan kelas dan mengumumkan kalo ada PR.

Tai! Kemarin gue mabar lagi. Mana sempet ngelihat buku. Gue bingung nyari contekan nih. Karena biasanya buku gue yang buat contekan. But, hari ini gue nggak ngerjain.

Jadi satu kelas pada gopoh.

Tapi, si Kinan datang membawa sebuah harapan beserta cahaya ilahi. Buku matematika langsung dia lempar ke meja gue. Sambil senyum mania semanis gulaleee. Wkwk. Dan gue cuma nyengir. Padahal dalem ati gue bertanya-tanya. Nggak biasanya Kinan baik sama gue.

Oh, mungkin sudah berubah.

Habis itu, Farah dateng. Ikut ribut + mencak-mencak gila nyari contekan. Dan akhirnya gue seret dia kemeja gue. Buat bikin PR bareng. Dia keluarin sesuatu gitu dari tasnya. Yang ternyata adalah botol mineral.

Dia senyum.

"Ini minum harus kita minum bareng-bareng. Sekarang gantian, bukan cuma lo yang harus bawa minum."

Oh, mungkin sudah berubah.

Sesudah itu, gue pergi nyamperin Risma. Bayar uang kas gue yang nunggak lah. Bisa-bisa gue nggak dido'ain jadi jodoh mas Mark Lee kalo nggak dibayar nih uang kas.

"Ris, ini aku bayar uang kas."

"Iya ta. Makasih ya udah bayar. Oh iya Ta, makasih juga ya?"

"Yang kedua makasih buat apa?"

"Udah balikin kelas ini kayak dulu."

"Jangan ke gue lah Ris. Kita semua disini sama-sama bisa menyelesaikan ini. Justru menurutku ini aku yang penyebabnya. Dan yang selesain masalah itu kamu dan Indri."

"Kok bisa si Ta?"

"Kamu tetep baik dan tetep ngalah sama mereka yang jahatin kamu. Sama kayak Okta. Jangan berubah Ris. Kamu nggak cocok jadi cold girl kelas 12 nanti. Kamu Risma, yah tetep jadi Risma. Yang ceria hangat. Dan friendly banget. Jangan berubah ya Ris. Dan tetep jadi kawan baiknya aku."

Risma tersenyum hangat.

"Nggak bakal. Asal kamu nggak ngerebut mas Samuel kim ku!"

"Siapa juga yang mau sama mas Samuel mu. Aku udah punya Mark lee!"

"Iya tah. Pokoknya kamu nggak bakal aku lupain."

***





***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.







[Dari sekian banyak kenapa gue harus bikin salam perpisahannya sama Risma. Karena cuma dia yang baeek. Pokoknya semua yang baca harus ketemu sama Risma terus jadi temennya.

Ini wajib oeyy.

Sebenarnya yang bagian bawah itu kayak salam perpisahan buat temen-temen aku yang sekarang. Jadi, urwell dan jaga kesehatan kalian.

Tenang aja wisuda masih habis hari raya. Masih ada kesempatan salam-salaman. Wkwkwk

Regards, Isnah]

Kelas ArchimedesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang