25. Wali Kelas

249 28 70
                                    

[gue adalah orang yang bikin resolusi masalah jelek. Jadi, maapkeun kalo oart ini jelek.]
































***

Kita nggak tahu apa yang terjadi di ruang guru. Sampai sekitar setengah jam Haris belom balik. Ada yang curiga tuh anak bukannya nyusulin malah tidur dikantin. Sambil makan-makan cilok yang dijual Pak bencana Alam.

Kalau gue khawatirnya sih tuh anak adu bacok sama Pak Bams lagi di ruang guru. Haris kan berlagak kayak anak Sultan. Apa aja bisa dia lakuin. Padahal dia mah bukan anak sultan tapi anak songong salah asuhan. Wkwk, bercanda Haris.

Kelas kita diem. Menanti Haris lagi yang nggak pulang-pulang kayak bang toyib. Sambil sesekali dzikir bersama, semoga Haris nggak buat ricuh. Soalnya tuh anak bahaya banget.

Selang beberapa menit, Haris balek.

Tapi sendirian, kek jomblo ae Ris.

Dia masuk kelas. Dan semua anak langsung nanyain. "Dimana Pak Bams Ris?" Dan dengan gaya songongnya si Haris cuma ngangkat bahu asal. Lalu duduk dibangkunya.

"Ris, lo nggak ngajak Pak Bams berantem kan?" Tanya gue pada Haris yang kini menyelonjorkan kaki bersepatu
Vans high top miliknya yang udah lumayan buluk.

Si anak songong itu noleh. Ngakak bentar, "Ngapain kuras tenaga buat berantem sama orang kayak dia ta? Toh, orangnya juga masih makan bakso di ruang TU. Gue aja nanya ke Bu Ida, tuh orang kayaknya takut bener sama kita."

Swag bener jawabannya.

Gue ngangguk. Sebelum akhirnya kembali ke bangku. "Tahu nggak si Ta? Aku kemarin setiap ketemu guru selalu ditanya kamu anak kelas MIPA 2 kan? Yang nggak punya aturan gitu."

Gue menggerutu sebal. Berfikir sejernih mungkin. Karena gue juga ngalamin hal yang serupa. Nggak cuma gue, Risma, Okta, Jeje, dan mungkin semua dikelas ini juga kayaknya dapat perlakuan yang sama. Hanya karena ulah Pak Bams yang mulutnya kayak rumpi.

Emang bener, besar pengaruh kita bertengkar ini. Dari yang pelajaran olahraga sekarang mesti jamkos. Sampai guru-guru yang enggan ke kelas kita buat mengajar. Padahal, kita uang SPP masih bayar kok. Cuma guru-guru nya aja yang sok-sok ngamuk.

Dari sekian guru, cuma ada dua guru yang peduli sama kelas kita. Yang pertama Bu Anisah, yah karena anak kelas Archi memang hiperaktif kalo sama guru yang satu ini. Disini juga banyak yang pinter sastra. Contohnya aja Risma, Okta, Gue, dan Yunda. Jadi dia mungkin agak sayang sama kelas ini dibanding Pak Bams.

Yang kedua Bu Wulan, waduh kalo ini adalah idaman wali kelas gue sejak lama. Gurunya si lumayan lansia. Tapi masih cantik segera dan nggak kayak tua. Dia juga nggak pelit kayak Pak Bams. Masak kita ngucapin ulang tahun aja langsung ditraktir gorengan.

Ini mah wali kelas idaman!1!1! hShshshshs gue sukaaa.

Tapi sayangnya kita cuma dapet wali kelas lempem kayak Pak Bams.

Nunggu sekitar satu jam. Akhirnya Pak Bams dateng. Mukanya tegas, gak beda jauh sama mukanya boneka yang ada ditengah-tengah sawah buat nakutin burung-burung. Bawa buku jurnal, dan berpakaian non-formal kayak mau olahraga.

Dia duduk di depan. Dan seketika satu kelas langsung pada diam.

"Ekhem!" Beliau memulai pembicaraan.

"Saya sudah dengar dari Bu Ida. Tadi Haris mencari saya? Benarkah?"

Semuanya mengangguk.

"Pertama-tama. Saya minta maaf atas perlakuan saya ke Haris tempo hari. Saya kurang bisa kendaliin emosi saya. Hingga dengan lancangnya saya nampar kamu. Anak didik saya."

Ini orang awalnya marah-marah tapi sekarang minta maaf kan akhirnya. Makanya, kelas Archimedes jangan ditantang. Dasar emang!

"Saya minta maaf kalo saya tidak pernah membimbing kalian. Saya minta maaf karena tidak pernah bisa ada untuk kalian. Saya sangat menyesal karena saya justru peduli pada klub sepak bola saya. Sedangkan kalian anak saya justru saya terlantarkan."

Iya, dulu waktu mau pertunjukan itu. Pak Bams justru sibuk melatih klub futsalnya. Daripada kita yang latihan drama tanpa konsumsi apapun. Pak Bams justru rela ngehabisin bensin buat ngelatih anak klub padahal nggak ada turnamen. Sedangkan kita cuma butuh bantuannya untuk menjemin sound system. Tapi dia nggak mau.

Kelas Archimedes udah betah mah kalo diamak tirikan.

"Saya minta maaf. Karena saya nggak mau membantu kalian. Sebenarnya saya yang harus memahami kalian. Buman malah menyalahkan kalian akibat keluar kelas. Saya minta maaf."

Dia udah nunduk. Bener-bener menyesal kayaknya.

"Saya bahkan melupakan prinsip guru. Bahwa guru ada untuk siswa. Bukan siswa yang ada untuk gurunya."

Hari itu, dengan gayanya yang sok ganteng. Haris, Budi, Suga maju bebarengan. Di depan Pak Bams mereka berhenti sebelum akhirnya Haris ngomong.

"Saya yang harus minta maaf Pak. Saya menghakimi bapak. Maafkan saya Pak."

Pak Bams mengangguk. Lalu menepuk pundak Haris. Budi dan Suga pun melakukan yang sama.

Yah, wali kelas kami emang tampangnya item kayak mujair gosong. Giginya ijo kayak belum sikat gigi. Dia juga suka mejeng di pasar rebo. Dia nggak peduli kita. Dia cuma peduli klub sepak bolanya. Dia nggak pernah noleh kita. Karena dia anggap kita cuma beban.

Tapi, disaat dia ingin berubah...

Apa kita sebagai muridnya melarang?

Nggak.

Nggak bisa. Sejahat apapun dia dulu. Se-enggak peduli apapun dia sama kita dulu. Atau secuek apapun dia dulu.

Dia berhak dapet kesempatan untuk berubah.

Sama kayak gue, Farah, Nevi, Risma. Yang pernah berselisih. Kita juga berhak mendapat kesempatan kedua. Kita berhak berubah menjadi yang lebih baik.

Karena apa?

Karena kita kelas Archimedes. Kelasnya memang aneh. Hiperaktif semua anaknya. Yang kayak TOA, yang bisa diandelin, yang tegas, yang selalu sabar membaur jadi satu disini. Satu keluarga.

Gue mau menerima Kelas Archimedes seiklhas-iklhasnya sekarang.

Walaupun gue tahu, tinggal beberapa bulan lagi kita barengan.

Tapi nggak ada yang salah untuk menikmati beberapa bulan itu dengan kebersamaan yang indah.

Karena nggak ada kata terlambat untuk kelas ini.

***




[Garing ya?

Nggak melow lagi.

Wkwk, tapi mulai dari ini si Alta mulai iklhas menerima kelas yang dulu ia anggap bangsat. Jadi, kalian-kalian juga bisa kok berubah menjadi yang lebih baik.

Farah juga bisa berubah, nevi berubah, Risma bakal jadi lebih kiyowo lagi.

Semua bisa berubah.

Dan, sebenernya aku mau namatin ini sebelum aku wisuda. Tapi kayaknya gagal deh.

Hmm.

Regards Isnah]

Kelas ArchimedesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang