33. Miracle

228 27 20
                                    

[update terakhir dari Kelas Archimedes. Langsung 3 part, dan doakan. Aku bisa ngasih extra chapter, soalnya aku gabisa lepas dari cerita ini.]





























***

Keajaiban.

Gue nggak pernah lihat sebuah keajaiban langsung pakek mata kepala gue, kecuali ya pas lihat film Aladdin di bioskop. Atau pas gue gak sengaja ngelihat kartun-kartun kesukaan adek keponakan gue.

Secara harfiah pun, gue nggak mempercayai adanya keajaiban. Abisnya mana ada coba keajaiban semacam badan lo bisa jadi kecil. Terus, dari telapak tangan lo keluarin kekuatan yang bikin satu gedung roboh. Atau hal-hal aneh lain.

Jadi, kalau ditanya keajaiban menurut lo itu ada atau nggak?

Nggak.

Sebelum hari ini....

Srek..

Gue kaget setengah mati saat tangan kasar dengan ukuran yang agak besar dari tangan gue menyentuh langsung telapak tangan gue. Keringat telapak tangan itu dingin saat menyentuh kulit gue. Dan dengan seenak jidatnya, si pelaku menarik gue menuju kelas, padahal niatnya hari ini gue masih mau nyari cahaya matahari dulu.

"Kok lo narik gue sembarangan sih!" Gue mencak-mencak tengah koridor. Masih bersungut-sungut atas tingkahnya yang sepagi ini bikin gue naik pitam.

Dan dia tetep diam, sambil narik tangan gue.

"Ih, lepasin!"

Gue berontak, tapi emang pada dasarnya dia kuat. Jadi ya tetep aja nggak ada pengaruhnya. Tangan gue tetep ditarik, dan kalo rasa-rasanya emang dicengkram sama dia. Dia buka pintu dengan kerasnya, membuat beberapa anak yang di kelas canggung-canggung menoleh.

Dia tersenyum. "Gimana kabar kalian? Gue tinggal kemarin?"

Lo tahu apa?

Saat itu gue melihat keajaiban.

"Halah basi lo!"

"Baek baek aja. Sono aja lo. Pergi lagi!"

Iya dia benar, gue nggak boleh nyerah sama kelas ini. Kelas ini masih sama, nggak ada yang kembali seperti dulu. Kelas ini masih tetap kelas yang bangsat, yang rame, yang nggak ada diemnya. Nggak ada yang kembali seperti dulu. Cuma kita yang takut memulai pembicaraan, dan termakan dengan spekulasi kita soal kelas yang kembali seperti dulu.

"Dih, lo bilang apa! Gue cakep gini, masak kalian nggak rindu!"

Dan masih tetap, tangannya terpaut dengan tangan gue.

"Halah emang lo dilan, pakek rindu segala."

Dia kembali memberenggutkan mukanya. "Eh jangan ngomong gitu, kemarin tetangga gue ngomong gitu,...."

"Malah mati kan?" Ini gue yang nerusin perkataannya. Dia hanya menggaruk kepalanya kasar, sebelum menepuk kepala gue dengan amat bar-bar.

Dan tanpa perlu gue ceritain lagi, gue rasa kalian sudah tahu siapa dia. Iya, si kerlip mata dengan tingkah kayak es batu. Padahal mah asli nya bobrok sejagad raya. Dia yang kemarin masih sempet-sempet ngilang setelah ungkapin perasaannya ke gue, dia yang hari ini kembali dengan gandeng tangan gue dan tanpa tahu kalo hati gue udah kayak badai.

"Gimana Ta? Gue udah bilang jangan nyerah sama kelas ini. Sejatuh apapun kelas ini, yang harus lo tahu. Pasti kita semua bakal membuat kelas ini kembali bangkit Ta. Begitupun gue, sejatuh apapun gue dalam suka lo. Gue pasti balik lagi suka lo Ta. Karena apa? Karena gue suka lo apa adanya."

Ini anak ya...

Hati gue udah campur aduk kayak es campur, ini anak masih sempet-sempetnya gombal-gembel gak jelas.

"Jangan sakit lagi Alta. Beliin bubur lo mahal, terus ngehadepin ibu lo perlu mental yang kuat."

Haris Erlang Janata.

Lucu.

Manis.

Dan dia, keajaiban gue. Disaat gue kehilangan Abang Firman. Disaat gue kehilangan kepercayaan sama kelas ini. Dia keajaiban yang bikin gue kembali percaya sama kelas ini.

Lagi.

***


"Gimana?"

Semua orang di dalam kelas masih diam. Haris dan Farah di depan menyapu pandang ke segala arah, memastikan ada yang menjawab. Nyatanya nihil sih.

"Gue setuju, kita harus kerja sama lagi buat kelas ini. Kita harus nunjukin, kalo kelas kita bersih. Dan kelas kita juga layak, biar nggak terus terusin diginiin."

"Iya gue juga capek, dikata-katain sama guru-guru."

"Kita harus berjuang bareng. Demi kelas kita."

Saat itu, netra hitam legam milik haris bersarang di mata hitam gue. Senyumnya pada gue tulus banget, dan saat itu bukan es batu lagi. Tapi seseorang yang senyumnya manis, dan membuat gue melayang.

Iya keajaiban.

Haris, kelas ini, gue, kepercayaan, emak, risma, dan jangan lupakan abang firman.

Mereka semua keajaiban.

Archimedes.

Lo tahu kenapa gue nyebut kelas ini kelas Archimedes?

Karena kelas ini tuh gak jelas. Kalian tahu kan 3 posisi benda dalam air yang dikemukakan Archimedes. Benda terapung, melayang, dan tenggelam. Kelas gue itu kayak benda melayang, udah terapung aja nggak, apalagi tenggelam. Jadi gak jelas gitu deh.

Dan lo tahu, apa yang ngebuat gue benci mati-matian kelas ini sampai pada akhirnya gue mau berjuang buat kelas ini.

Ya karena kelas ini kelas Archimedes.

Kelas dengan berjuta manusia di dalamnya. Kelas dengan macam-macam karakter hingga gue susah menebak yang mana. Kelas berjuta cerita dengan suka duka di dalamnya.

Haris berjalan ke arah tempat duduk gue. Dia tersenyum puas saat banyak orang mendukung aspirasinya. Dia mendarat kan pantatnya yang mulus itu ke bangku sebelah gue.

Lantas, lo tahu apa yang di lakukan kampret satu ini.

Dengan seenaknya dia bersandar di bahu gue. Mendusel kan rambutnya yang banyak ketombe itu ke pipi gue yang imut ini. Lantas, menghirup aroma tubuh gue yang kata dia wangi, padahal kecut nya bukan main.

"Lo ngapain ris?" Tanya gue risih.

"Loh, gaboleh ya gini sama pacar sendiri."

Anjing, gimana kabar otaknya kampret ini!

***





[Makasih udah baca jangan lupa bahagia ya?

Salam, Isnah]

Kelas ArchimedesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang