Mataku melihat hantu. Tanganku menyentuhnya. Telingaku mendengarnya. Kadang bibirku pun bicara padanya. Begitulah aku akan hidup selamanya.
Awalnya kukira mereka manusia biasa. Suara lembut mengusap bulu kuduk, serta nyaring seperti terompet yang melengking. Bicara, bermain, dan tertawa hahaha. Lalu aku sadar akan sesuatu, mereka memperhatikan kegilaanku.
"Kau gila ya? Bicara dengan siapa?" Seorang anak laki-laki sombong mengataiku. Saat itu, dia adalah bos di antara anak-anak TK lainnya. Satu kata darinya, benar bagi semua. Satu hela darinya, perintah bagi mereka. Sungguh kehidupan anak TK yang tidak menyenangkan bagi siapa saja.
Karena semua orang memandang, aku jadi gugup. Pelan-pelan tanganku menunjuk ke arah seseorang. "Aku bicara dengan ..." tak ada. Ke mana perginya mereka semua? Tadi ada lebih dari tiga. Bagaimana bisa menghilang begitu saja?
Anak sombong itu pun semakin sombong. Dia mulai tertawa, maka semua pun tertawa. Ada yang benar-benar tertawa, ada juga yang ikut-ikutan saja. Aku yakin.
Rumor beredar. Tentang aku yang telah gila. Bahkan nenekku pun dibawa-bawa. ayahku yang entah di mana juga ikut masuk dalam cerita. Aku sungguh tak suka itu.
Eun Ha El sudah gila. Anak sekecil itu sudah gila. Mungkin menurun dari neneknya. Tapi ayahnya juga ikut jadi sebab. Bagaimana dia kabur begitu saja? Pantas istrinya meninggalkannya.
Ya. Ayahku pergi belum lama, entah ke mana. Terakhir aku melihatnya, dia lari ketakutan. Tertangkap basah olehku, malah semakin ketakutan. Tak ada yang bisa menjelaskan. Tak pernah ada kabar yang datang. Begitulah ayahku menghilang.
Nenekku. Menurut semua orang dia gila, tapi sebenarnya tidak. Dia penutur cerita yang luar biasa. Sering kali dia mengarang saat itu juga. Entah bagaimana, setiap kata seperti benar adanya. Setiap babak seperti sungguh ada kejadiannya. Setiap tokoh berbeda-beda suaranya. Itu karena imajinasinya.
Aku sering dimarahi Paman karena terlalu percaya padanya. Paman juga menganggap nenekku gila. Jadi, hanya aku yang bisa bicara dengannya.
Suatu hari, aku mengadu padanya tentang teman-teman yang mengataiku gila karena katanya aku sering bicara sendiri. Padahal aku tidak bicara sendiri, mereka saja yang tidak melihatnya. Aku membela diri di depan nenekku, lalu Nenek berkata sambil mengusap kepalaku, "Matamu diberkati oleh-Nya, telingamu telah diusap, tanganmu diberi wasiat, dan bibirmu diberi kuasa."
Aku sungguh tak mengerti maksudnya.
"Kalau tak percaya, coba saja. Kau bisa kendalikan mereka."
Maka di hari yang lain, ketika semua orang masih saja mengolok-olok keluargaku, aku benar-benar tak bisa terima lagi. Aku akan menyerang mereka menggunakan orang-orang tak terlihat itu. Tapi seorang anak laki-laki yang lebih tua dariku saat itu masuk ke dalam kerumunan, mengeluarkanku dari kerumunan itu, dan membawaku ke belakang sekolah yang jarang sekali dilewati orang-orang.
"Aku tahu kau berbeda," katanya. "Aku bisa melihat semuanya. Pembuluh darah yang hitam mengalir di dalamnya."
Aku langsung melirik lenganku sendiri untuk membuktikan perkataannya. Selintas aku pun melihatnya. Darah hitam itu. Bibirku tak bisa berkata-kata. Saat itu usiaku baru tujuh tahun, belum tahu harus apa dalam keadaan apa.
"Tenanglah. Aku bisa membantumu mengatasinya. Percayalah." Entah bagaimana, rasanya perkataannya benar-benar bisa dipercaya, Kim Ha Rang.
Mulai hari itu, aku jadi sering keluar malam. Janji bertemu dengan Ha Rang di belakang perumahan. Berlatih untuk mengendalikan kemampuan.
Latihan dimulai dari yang sering kutemui. Hantu kecil di taman bermain waktu TK. Kami ke sana. Bertemu dengannya. Dia terkejut melihat Ha Rang. "Tunggu!" kata Ha Rang, "Aku tidak akan membawamu pergi. Kemari."
Apa maksudnya? Pikirku. Tapi aku tidak melontarkannya. Aku menyaksikan asap yang tadinya mulai memudar bersatu kembali membentuk sosok anak kecil yang sedang ketakutan, "Sungguh? Kau tidak akan membawaku pergi?" kata Hantu Kecil itu.
"Ya,” jawab Ha Rang.
Luar biasa. Bagaimana selama itu aku tidak pernah menyadarinya? Dia bukan manusia. Dia hantu. Tingginya, dandanannya, pakaiannya, tetap sama sejak tiga tahun yang lalu. Saat itu aku merasa takjub sekaligus takut.
"Kau kenal dia?" tanya Ha Rang, padanya, tentang diriku.Hantu itu mendongak, menatapku. Aku segera memalingkan mataku. Nenek memperingatkan, jangan pernah balas menatap hantu kalau kau tak percaya diri, atau kau akan mati.
"Ha El." Hantu itu mengenalku.
Setiap tiga malam, kami berganti hantu. Mengenal mereka satu per satu. Ada yang nampak santun, ada pula yang hampir mencelakakan kami. Dia hampir membunuhku, tapi untungnya Ha Rang menyelamatkanku. Dia juga memperkenalkanku pada hantu yang masih baru. Lingkungan yang selama ini telah kukenal benar-benar terasa seperti dunia baru bagiku.
Pada usiaku yang ke-sembilan, Ha Rang memberikan sesuatu. Belati yang gagangnya bergambar merak berbuntut merah dan biru, ujungnya tersambung terali perak kecil untuk dikalungkan, juga bertutup perak berhias batu-batu berwarna biru. Ha Rang akan segera lulus SD. Dia tak bisa selalu membantuku lagi, karena itu aku harus bisa melindungi diriku sendiri.
Sebenarnya belati itu adalah yang selalu dia pakai untuk menyelamatkanku. Sangat tajam untuk para hantu, dan memang tajam sekalipun bukan bagi hantu. Sekali ayun, para hantu tak akan mampu untuk bertahan hidup. Mereka otomatis dikirim ke tempat seharusnya mereka berada.
Semakin lama, aku semakin menguasai para hantu. Kadang kumanfaatkan mereka untuk membantu. Mengerjai teman-teman sekolahku, membersihkan rumah, juga yang paling tak berguna adalah mengerjakan PR. Ternyata para hantu tak mengerti angka dan huruf. Bahkan di antaranya tak tahu cara bicara padaku. Beberapa seolah menakut-nakutiku, padahal mereka tak pernah berniat begitu.
Melalui kemampuanku, aku sempat bertemu nenekku sebelum dia benar-benar pergi dari dunia ini. Berbeda dengan para hantu yang sering kutemui, dia tak mau berada di sinidi Bumi. Dia berkata padaku, "Bumi ini palsu. Para hantu, manusia sekalipun, semuanya palsu. Aku sudah lelah dengan segala yang palsu, termasuk diriku sendiri. Jaga dirimu, kau tak perlu pedulikan saudarimu. Dirimu saja."
Karena teringat pesan itu, setiap kali Ha Ni mengajak bertemu, aku selalu urung. Apakah memenuhi keinginannya untuk bertemu adalah peduli padanya? Apakah keinginan yang sama adalah bentuk peduli padanya? Bukankah akan bahaya jika dia mengetahui semuanya?
Begitulah yang Ha El pikirkan, sampai akhirnya Ha Ni datang dan Ha El tak bisa menolaknya. Dia pun memiliki keinginan yang sama, untuk bertemu. Juga rasa penasaran tentang sesuatu. Suatu saat, bagaimanapun, rasa penasaran itu pasti akan bisa terjawab. Ha El akan bersabar menunggu saat itu tiba.
Ha El bersiap dengan tas ransel dan buku-buku, "Ha Ni-ya, aku harus pergi kuliah. Kau bagaimana? Akan tetap di rumah?"
"Hmm, entahlah."
"Kalau kau keluar rumah, jangan lupa kunci pintunya. Kuncinya kau bawa saja. Aku tak percaya lingkungan ini. Dan kalau kau tersesat, segera hubungi aku. Aku akan segera menjemputmu."
Ha Ni tertawa mendengar ucapannya, "Kau pikir, aku ini anak kecil? Aku berhasil datang jauh-jauh dari Kanada menemuimu tanpa tersesat. Kau tahu?"
Ha El mengangguk-angguk. "Ya, tapi aku tidak yakin kau tidak akan tersesat. Terutama ... kau belum bisa membaca huruf-huruf kami."
"Tidak akan. Lihat saja."
"Baiklah. Aku berangkat ya!"
"Ya, hati-hati di jalan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
YOU KNOW WHO
FantasyYou Know Who. Tidak ada kaitannya dengan Voldemort dalam Harry Potter, tapi yah ... sedikitnya memang terciprati dari sana. Ide novel ini tercetus saat membaca novel Harry Potter dan nonton ulang drama korea The Great Queen Seondeok. Lalu tiba-tiba...