21 - 4 : HANYA MIMPI

5 1 0
                                    

Sarapan kali ini Ha Ni yang memasak. Dia menghidangkan dua mangkuk sup ayam utuh dengan ginseng di meja dan akan segera menyantapnya. Dia duduk berhadapan dengan Ha El yang terdiam menatap paha ayam yang telah terlepas dari tubuh dan kini berada dalam capitan sumpitnya. “Ha Ni-ya,” Ha El bersuara.

“Ya?” Ha Ni siap mendengarkan.

Ha El melepas tangan dari sumpit dan duduk dengan lebih tertib. Dia akan bicara serius. “Tadi malam ... apa aku melakukan sesuatu yang buruk padamu?” tanyanya, dengan merasa bersalah.

Ha Ni cepat-cepat menelan makanan dalam mulutnya. “Se-sesuatu yang buruk? Apa?” Ha Ni pura-pura tidak tahu.

Ha El tak yakin mengatakannya, tapi ... “Menusuk misalnya?” lontarnya.

Ha Ni menggeleng cepat untuk pertanyaan itu.

“Kalau begitu itu pasti hanya mimpi.” Ha El lega.

“Mimpi?” Ha Ni ingin tahu isi mimpi Ha El itu.

Ha El mengangguk. “Itu adalah mimpi yang ...” Ha El bergidik dan, “Tidak. Bukan apa-apa.” Dia tak ingin membahas mimpi yang menurutnya sangat seram itu.

Meski kecewa, Ha Ni tak mendesak Ha El untuk bercerita. Dia lanjut makan.

Tapi mimpi itu terus mengganggu pikiran Ha El. “Ha Ni-ya,” Ha El membuat Ha Ni menoleh, “sepertinya takdir itu benar.”

“Takdir? Takdir apa?” Ha Ni tak ingat takdir yang Ha El maksud.

“Tentang aku yang mungkin akan membunuhmu itu.” Ha El nampak ketakutan.

“Tidak. Itu tidak benar.” Ha Ni tidak ingin takdir itu menjadi nyata.

“Benar. Aku melihatnya.”

“Melihat? Apa?” Ha Ni tak mengerti maksud ucapan Ha El.

Ha El bercerita, “Dalam mimpi itu ... aku melihat darah,” dengan tersendat-sendat, “daging, perut, organ, entah apa, dan aku menjahit perutnya. Dia kesakitan, tapi aku terus saja melakukannya. Aku, di kehidupan sebelumnya, mungkin adalah seorang yang ... yang ....”

“Dokter,” sebut Ha Ni, sambil tersenyum.

Ha El terbangun dari ‘mimpinya’.

“Di kehidupan sebelumnya kau adalah seorang dokter. Kau bilang, kau melihat darah, organ, dan menjahit perut, kan? Berarti kau seorang dokter. Mungkin dokter bedah pertama di masa itu.”

Ha El tidak setuju pendapat Ha Ni. “Orang itu kesakitan, tapi aku—”

“Tentu saja dia kesakitan. Pada masa itu mungkin belum ada obat penahan rasa sakit atau anestesi, kan?” Ha Ni terus berusaha berpikir positif.

Tidak. Bukan begitu. Dirinya tidak sedang menolong seseorang pada saat itu. Bukan. Bagaimanapun, sepertinya dia memang seorang pembunuh berdarah dingin. Itu yang Ha El rasakan dari mimpi itu.

“Ha El-ah,” Ha Ni menggenggam tangan Ha El dengan hangat, “di kehidupan yang lalu, sekarang, atau masa depan kau sama sekali bukan seseorang yang membunuh orang lainnya untuk bertahan hidup. Bukan.”

“Bagaimana kau bisa tahu?” Ha El bukan bertanya.

“Aku tahu.” Ha Ni ingin Ha El percaya padanya.

YOU KNOW WHOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang