19 - 2 : SIAP BELAJAR

6 2 0
                                    

Beberapa hari berlalu, Ha El telah lebih berhasil menutupi gugupnya. Kini dia bisa lebih tenang menghadapi Ha Ni. Mereka bahkan sarapan bersama pagi ini.

“Ha Ni-ya,” Ha El memberanikan diri, “sepertinya kau sudah siap untuk belajar.”

“Belajar?” Ha Ni berhenti menyumpit nasi.

Dengan penuh tekad, Ha El berkata, “Aku akan mengajarimu cara memegang belati.”

Ha Ni menelan semua yang tersisa di sudut lidah. “Kau yakin?” tanyanya, sangat kaget.

“Kau siap?” Ha El sudah sangat siap.

Meski ragu dan khawatir, Ha Ni mengangguk juga.

Setelah hari itu, setiap ada waktu, Ha Ni dan Ha El berlatih belati di halaman belakang rumah. Kadang Jun Seong datang untuk membantu. Tapi dia terlalu banyak membantu hingga bisa disebut mengganggu.

Bagaimanapun kilat belati itu sungguh membuat orang khawatir dan suara desingnya sangat menusuk tajam di kuping. Jun Seong tak tahan setiap melihat belati menari di sekitar kulit Ha El dan Ha Ni. “Awas lenganmu! Jarimu! Kupingmu! Ah!” dan lain-lain, teriak Jun Seong.

Tak cukup komando dari jarak dekat, Jun Seong turun tangan untuk menengahi. Padahal mereka tidak sedang bertanding untuk memperebutkan apa pun yang bisa melukai diri. Ha El kesal setengah mati. “Kita istirahat dulu saja!” katanya, akhirnya.

Ha El masuk rumah, sementara Ha Ni menuju bangku diikuti Jun Seong. “Kau berlebihan. Lain kali jangan begitu. Kau membuat Ha El menjadi kesal.” Dia pun duduk di bangku, diikuti Jun Seong.

“Aku kan hanya khawatir. Yang kalian pegang itu belati sungguhan! Memang tidak bisa ya latihannya pakai belati bohongan saja? Kayu misalnya?”

Ha Ni menggeleng.

“Kenapa? Lalu bagaimana kalau Ha El menggunakan kesempatan itu untuk melukaimu? Lalu dia membunuhmu?” Jun Seong menakut-nakuti.

Ha Ni ‘menyorot’ Jun Seong. “Kau sedang apa? Mengkhawatirkanku atau ....”

Jun Seong buang muka. “Aish, khawatir apa? Aku ini curiga. Kau sendiri yang bilang tentang dia yang mungkin saja membunuhmu, kan? Kau tidak takut? Seorang pembunuh berada tepat di sampingmu.”

“HEH!!” Ha Ni marah.

“APA?!” dan Jun Seong balik marah.

“Siapa yang kau sebut pembunuh, hah? Dia itu kakakku, tahu?” Ha Ni mengingatkan.

“Tahu, tapi ....”

“Lagi pula Ha El belum pernah membunuh. Bukan, tidak pernah membunuh. Tidak akan pernah. Apalagi membunuhku. Dia itu kakakku.” Ha Ni agak ngotot. Dia memelototi Jun Seong dan .... Mereka bertatapan dalam diam.

Ha Ni bergeleguk gugup.

Akhirnya Jun Seong bicara duluan. “Tahu, dan kakakmu juga tahu itu,” Jun Seong memberi tahu.

Ha Ni tak mengerti maksudnya.

Jun Seong membubarkan diri dari sesi bertatapan yang akan kembali berubah jadi sesi dipelototi ini. Sambil lalu, katanya, “Menurutku dia sempat takut padamu dan sekarang sudah tidak lagi.”

“Ta-takut? Padaku?” Ha Ni tak mengerti alasannya.

“Ya, sebelum dia takut terbunuh olehmu,” ucap Jun Seong, santai. “Tapi karena sekarang dia sudah tahu yang sebenarnya, dia tak perlu takut lagi padamu. Karena sebenarnya dialah yang mungkin akan membunuhmu.”

Ha Ni tak percaya itu. Ha El sudah tahu yang sebenarnya?!

“Lihat! Sebenarnya kau takut, kan?” tuduh Jun Seong, dengan riang.

“Hentikan itu.” Ha Ni menepis tuduhan Jun Seong.

“Kau tidak pernah tahu kapan niatan itu muncul dan bagaimana. Kau harus waspada.” Jun Seong menasihati temannya.

Ha Ni tiba-tiba berdiri. Jun Seong pun ikut berdiri dan bilang, “Dia, kakakmu itu, ditakdirkan untuk membunuhmu meski aku tidak tahu alasannya. Dia akan membunuhmu, tahu? Dia itu pembunuh.”

“HENTIKAN itu sekarang juga atau kau TAK USAH datang ke sini lagi,” Ha Ni mengancam.

“Ha Ni-ya, aku hanya memperingatkan. Aku ini sedang berusaha menyelamatkanmu dari bahaya. Bukankah itu tugasku?” Jun Seong sama sekali tak merasa bersalah.

“Kau tak perlu melakukan itu,” kata Ha Ni, dan tiba-tiba dia terdiam beku sementara Jun Seong terus mengoceh tentang Ha El yang pembunuh dan lainnya. Dia melihat Ha El. Dia dan Ha El bertemu mata dalam bisu. Ha El mendengar pembicaraan ini, apa yang harus Ha Ni lakukan?

“Jun Seong-ah, diam.” Ha Ni agak memukuli Jun Seong tanpa melepaskan mata dari Ha El di depannya.

“Kau harus percaya padaku.”

“Kubilang, hentikan!!” Ha Ni menyentak, dan Jun Seong pun tahu bahwa, “Ha-Ha El-ah,” Ha El ada di depan mereka. Jun Seong tak tahu harus bagaimana.

“Jun Seong-ah, kau pergilah,” suruh Ha Ni.

“Ta-tapi—”

“Lee Jun Seong!!”

“Ba-baiklah, aku pergi.”

Tanpa menampakan muka di depan Ha El, Jun Seong segera undur diri. Dia tak mau mengganggu pertengkaran saudara yang mungkin akan terjadi ini. Dia bahkan menutup pintu halaman dengan sangat hati-hati agar tak membuat suara.

Tinggal Ha El dan Ha Ni. Mereka masih sama-sama berdiri.

“Ha El-ah,” Ha Ni memberanikan diri.

Ha El diam. Dia masih memegang erat nampan, yang membawa tiga gelas air dan semangkuk buah-buahan, di kedua tangan. “Jadi, itulah yang selama ini kalian bicarakan?” Ha El berkata.

“Ha El-ah—”

“Pantas Jun Seong selalu menempelimu dan terkesan tidak menyukaiku. Dia tahu kalau aku adalah seorang pembunuh.”

“Ha El-ah—”

“Dia tidak salah,” kata Ha El, dengan mata kosong. Lalu mata itu mendarat pada Ha Ni yang tak lebih dari setengah meter di depannya. “Kau memang harus waspada, pada seorang kakak yang belum begitu lama kau temui ini, Ha Ni-ya.”

Saat itu juga, entah kenapa, Ha Ni merasa gugup.

“Berikan tanganmu,” perintah Ha El.

“Eh?”

“Dua-duanya.”

Ha Ni menurutinya, lalu yang Ha El lakukan adalah menaruh nampan di kedua tangan Ha Ni yang terbuka. “Makan dan istirahatlah. Kau pasti lelah.” Dan dia menghilang ke dalam rumah.

“Ha El-ah!”

YOU KNOW WHOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang