15. Mimpi

5 3 1
                                    

*Rae-Han PoV*

"Namanya aneh,"

"Jangan main sama Rae-Han, dia nggak punya ibu,"

"Memangnya kenapa jika aku sudah tidak punya ibu? Aku juga tidak berharap main dengan kalian!"

"Siapa juga yang mengajakmu main, dasar lemah! Hahaha!"

"Rae-Han...bangun..."

Aku membuka mataku perlahan. Semuanya masih tampak blur. Aku mengerjap beberapa kali hingga semuanya jelas. Yang pertama kulihat adalah matanya. Mata dengan iris berwarna biru muda, yang dengan hanya menatapnya dapat membuatmu tenggelam dalam keindahannya.

"Lu baik-baik aja kan?"

Wajah khawatir Cecillia menghiasi pandanganku. Aku tersenyum singkat, kemudian mengangguk. "Gua baik, pesek."

"Sok mancung sianjir," gerutu Cecillia sambil memanyunkan bibirnya. "Padahal gua khawatir banget sama lu, tapi jangan gr juga, maksud gua misalnya lu mimpi jatuh ke jurang kan artinya lu sakit jantung. Ngigaunya keras sih."

Aku bangkit untuk duduk, kemudian mengernyitkan keningku. "Intinya lu khawatir kan?"

"Gausah gr lu mancung!" Cecillia reflek menyentil keningku, kemudian membulatkan pipinya sambil melihat ke arah lain. Selain ke arahku tentunya.

Aku hanya tersenyum kecil sambil mengusap-usap keningku yang baru saja ia sentil. Padahal beberapa jam yang lalu aku masih kusam, dan tidak bersemangat. Jangankan untuk tersenyum, untuk melihat orang lain saja aku tidak punya mood. Ini semua karena mimpi buruk yang tadi malam kualami. Bahkan aku tidak tidur lagi setelah mengalami mimpi tersebut sehingga aku berada di uks sekarang. Tapi tetap saja, aku bermimpi hal yang sama. Mengingatkanku pada pembullyan, salahsatu kakakku kembali pada sang pemilik, ibuku menyusul, dan...ahh ini membuatku gila.

Cecillia menyentuh pundakku, membuatku tersadar dari lamunan menyedihkan tentang mimpiku barusan. "Lu gak sendiri di dunia ini. Jadi kalau lu kepikiran sesuatu, gua mau kok jadi wadah curhat lu," ucapnya sambil tersenyum. Lagi-lagi ia membaca isi fikiranku.

Aku menunduk, tersenyum miris. "Walaupun gua gak kasih tau lu, lu pasti langsung tau, Cil. Kan lu bisa baca sendiri."

Cecillia menyentuh daguku dengan jari telunjuknya, kemudian mengangkatnya ke atas sehingga kepalaku ikut menghadap ke atas, tepat ke matanya. "Karna kalau langsung diceritain beban psikisnya akan lebih hilang. Dan kalau ngomong sama gua lu harus langsung liat ke wajah gua, jangan nunduk."

Wajahku sedikit memanas. Posisi ini membuat wajahku dan wajahnya hanya berjarak sekitar 5 cm. Akal sehatku menghilang. Entah kenapa tanganku bergerak mengunci kepalanya. Perlahan aku mendekatkan wajahku ke wajahnya.

-~~~-

*Shana PoV*

Lagi-lagi Cecillia ke uks. Katanya ia sulit tidur tadi malam sehingga badannya tidak terlalu enak. Dan ia akan tidur di uks agar lebih segar. Sebagai temannya aku memutuskan akan melakukan hal yang seharusnya dilakukan teman untuk temannya yang sedang tidak enak badan. Aku ingin membelikannya roti dan susu, tak lupa mengantarkannya ke uks.

Namun aku menyesali keputusanku.

Aku melihat mereka berciuman.

Mereka bertatapan agak lama dengan jarak wajah yang hanya beberapa centi. Rae-Han dengan santainya memegang kepala Cecillia dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya berada di pipi kiri Cecillia. Perlahan Rae-Han mendekatkan wajahnya pada wajah gadis itu.

Aku berlari menuju kelas. Roti dan susu yang kubelikan masih berada di tanganku. Cecillia baru mengenalnya, bahkan belum sebulan. Sedangkan aku? Aku mengenalnya sudah sejak kecil. Sejak kakaknya masih belum sakit. Sejak kami masih memakai kereta dorong untuk berjalan.

Sakit...

Padahal gadis itu berkata bahwa ia menyukai Agatha, tapi...kenapa?

-~~~-

*Rae-Han PoV*

Cecillia mengangkat tangannya, menahan bibirku tepat 1 cm sebelum bibir kami bersentuhan. Wajahnya memerah, bahkan sampai ke telinganya. "Jangan..."

Aku menghirup napas panjang, kemudian melepaskan kepalanya dari kuncianku. Ia mengatur posisi duduk yang nyaman. Tangannya bergerak menyentuh dadanya. Wajahnya melihat ke arah lain.

"Tadi gua mimpi kejadian gua dibully waktu kecil." Aku mulai bercerita. Cecillia melihat ke arahku, mulai tertarik.

"Waktu kecil gua dibully karna nama gua aneh. Dan lu tau lah, anak kecil udah tinggal sekitar 10 tahun di Indonesia, tiba-tiba pindah ke Korea. Bahasa Korea gua pas-pasan, dan entah kenapa mereka nganggap nama gue...aneh." Aku berhenti sebentar, menarik napas panjang dan melihat reaksinya.

"Padahal namamu bagus. Kalau namamu di-Indonesiakan jadi Rayhan, artinya bunga dari surga."

Aku tersenyum. "Thanks," kemudian melanjutkan, "Tapi di Korea nama gua aneh. Ditambah waktu itu gua baru kehilangan, gua pendiam banget. Dan...gua dibully."

Aku berhenti lagi, melihat ekspresi Cecillia. Gadis blonde itu masih setia menyimak.

"Mereka bilang gak mau main sama orang yang gak punya ibu, gak mau temenan sama orang yang namanya aneh...anjir sedih banget masa kecil gua." Aku tertawa hambar. "Udah ortu bertengkar mulu, kakak meninggal, bunda nyusul, dibully, haha."

Cecillia berdiri tepat di hadapanku. Tangannya bergerak melingkar di kepalaku. Sedetik kemudian kepalaku telah menempel sempurna di dadanya. Aku sangat terkejut dengan reaksinya. Setelah ia memghentikanku saat ingin menciumnya, kemungkinan akan dipeluk oleh Cecillia hanya 0,1%. Munafik jika aku mengatakan bahwa aku tidak menyukai pelukannya. Berada di pelukannya terasa hangat, nyaman, dan kenyal-if you know what I mean.

"Manusia itu emang gitu, kayak roda. Ada saatnya dia dapet kejadian yang menyedihkan melulu, ada juga saatnya dia bahagia. Percaya deh," ucap Cecillia. Kemudian ia melanjutkan, "Jangan bicara kalau kehidupanmu menyedihkan lagi...ya?"

Tanganku bergerak melingkar di tubuhnya. Aku membenamkan kepalaku di dadanya. Air mata yang sebisa mungkin aku tahan akhirnya tumpah. Aku terisak cukup keras, melepas semua beban di hidupku. Ini pertama kalinya aku berbagi cerita dengan seseorang. Orang yang sangat baik mau meminjamkan pelukannya untuk tangisanku, meluangkan waktunya untuk mendengar kisah menyedihkanku.

"Nangis aja, lepasin semua yang kamu tahan. Tapi abis ini kamu harus janji nggak akan minum obat penenang lagi. Kamu harus hubungin aku...ya?"

Aku mengangguk kecil. Ternyata ia tau bahwa aku mengosumsi obat penenang. Tidak ada yang bisa disembunyikan dari cenayang seperti dia.

"Abis ini jangan keseringan murung lagi ya, nanti kebahagiaan jauh dari kamu."

Aku kembali mengangguk. Isakanku mulai melemah. Untung saja uks ini hanya diisi oleh kami berdua. Harga diriku bisa turun jika ada yang melihatnya.

Cecillia melonggarkan pelukannya. Aku menengadahkan kepalaku, menatap kedua matanya dengan kedua mataku yang memerah. Ia tersenyum. Tangannya beralih ke pipiku, mengusap tetesan air mata yang masih ada di pipiku. Padahal di dekat kami ada tissue, dan dia memutuskan untuk memakai tangannya.

"Kalau aku punya tangan yang bisa hapus air matamu, buat apa ambil tissue?"

Dan dia kembali membaca fikiranku.

-~~~-

Hiyak hampir kissu =3=

Hampir, oke belum nempel bibirnya :")

Salam.

#Pricillia

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 10, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Secret About UsWhere stories live. Discover now