Pelajaran Berharga-20

499 32 0
                                    

Rumah Sakit.
   Alif mengajak Amara ke rumah sakit dimana ibunya di rawat.

"Kok lu malah ajak gue kesini?". Tanya Amara bingung.

"Udah lu jangan bawel, lu ikut aja". Jawab Alif.

   Alif menggandeng tangan Amara dan mengajaknya ke ruang ICU dimana  ibunya di rawat.

*****
Ruang ICU.
   Kebetulan, saat Alif dan Amara datang, jam besuk masih ada.

"Assalamu'alaikum...".

"Wa'alaikumsalam". Jawab suster yang sedang mengontrol perkembangan kesehatan ibunya.

   Setelah selesai, suster pun segera keluar dari ruang ICU tersebut.

"Itu siapa, lif?". Tanya Amara sembari menunjuk pada seseorang yang terbaring lemah di atas ranjang tidur rumah sakit.

"Ibu gue". Jawab Alif singkat.

   Alif segera menghampiri ibunya, dan mencium punggung tangan ibunya yang kini tengah tak sadarkan diri.

"Amara". Panggil Alif pada Amara yang sedari tadi matanya memerhatikan sekitar ruang rawat inap.

"Eh? Iya, lif". Amara menghampiri Alif.

"Lu bisa liat ini?". Tanya Alif sembari mengelus pelan rambut ibunya.

Amara memerhatikan wajah ibu Alif dengan jelas.

"Inilah alasan gue kemarin telat pas gue ada janji sama lu". Ucap Alif.

Amara hanya diam.

"Hanya dia mar, satu-satunya orang yang paling berharga di hidup gue sekarang!". Jelas Alif.

"Dialah orang yang paling gue cintai, dia orang yang paling sayang sama gue". Lanjutnya.

"Ma-maafin gue lif, gue benar-benar nggak tahu hal ini".

"Iya, mar". Jawab Alif sembari menundukkan kepalanya.

Amara mengelus pelan punggung Alif. "Lebih baik kita biarkan ibu lu istirahat ya, gue juga mau ajak lu ke sesuatu tempat". Jelas Amara.

   Alif mengangguk mengiyakan. Dia mencium kening ibunya, setelah itu mencium punggung tangannya dan berpamitan.

"Alif pergi dulu ya, bu. Ibu baik-baik disini". Ucap Alif.

"Assalamu'alaikum".

*****
   Amara mengajak Alif ke sebuah tempat pemakaman umum, dimana jenazah mamah dan papahnya di kuburkan di situ.

"Assalamu'alaikum". Ucap Amara dan Alif.

   Amara dan Alif mendekat dengan kuburan papah dan mamah Amara.

"Sekarang lu bisa liat ini?". Tanya Amara.

"Lu itu masih beruntung lif. Lu masih bisa melihat orang yang lu sayang, masih bisa minta maaf sama dia, masih bisa juga peluk dia, masih bisa merasakan kehangatan dari sosok seorang ibu!". Jelas Amara.

Alif hanya diam tanpa suara.

"Sementara gue? Gue nggak bisa lagi liat wajah orang yang paling gue sayang, nggak ada kesempatan lagi untuk minta maaf sama mereka berdua, gue juga nggak bisa lagi merasakan yang namanya kebahagiaan dalam sebuah keluarga". Jelas Amara lagi. Tanpa disadari sebulir air mata mengalir di pipinya.

Alif menundukkan kepalanya. "Ya mar, sekarang gue sadar. Kalau bukan hanya gue yang punya beban hidup dan masalah yang berat, nyatanya ada orang yang beban hidupnya jauh lebih berat dari gue".

"Nah... Berarti ini harus lu jadikan pelajaran baru untuk hidup lu". Ucap Amara.

"Iya deh iya, Mak...". Jawab Alif.

"Ihh... Enak aja, emang gue emak lu?!".

Alif tersenyum samar. "Eh iya.. jangan emak deh, istri aja". Ucapnya dengan volume suara yang kecil.

"Apa lu bilang?!".

"Ng-nggak, mar".

"Oh ya lif, gue sebenernya juga suka ngeluh...terus, gue tuh kadang berpikir, kenapa beban hidup gue itu kayak gini banget??? Gue juga merasa kayak nggak sanggup untuk simpen beban gue sendiri, tapi gue susah untuk kasih tau tentang masalah gue ini ke orang lain". Jelas Amara.

Alif memegang punggung tangan Amara. "Tenang aja mar... Kalau lu merasa nggak bisa simpan beban lu sendirian. Gue siap kok untuk selalu ada buat lu, dan menjadi pendengar yang baik untuk lu". Alif tersenyum manis pada Amara.

Amara membalas senyum Alif. "Makasih ya, lif". Amara melihat tangannya yang masih dipegang oleh Alif. "Tapi.... Nggak usah mencari kesempatan dalam kesempitan juga kali...". Lanjutnya.

Alif melepas tangannya. "Hehehe... Iya mar, sorry..sorry..".

"Udah yuk balik". Ajak Alif.

"Bentar, gue pamit dulu sama mereka". Jawab Amara.

   Setelah selesai, Amara dan Alif pun bergegas pulang. Alif mengantar Amara pulang ke rumahnya, setelah itu baru dia pulang.

*****
Rumah Alana.
   Amara turun dari motor Alif. "Makasih Alif...".

"Ya sama-sama. Makasih juga ya".

"Lho, makasih buat apa?". Tanya Amara.

"Makasih karena lu udah kasih pelajaran hidup yang baru untuk gue, sekarang gue merasa lebih bersyukur dengan apa yang Tuhan udah kasih ke gue". Jelas Alif.

"Ya sama-sama".

"Gue nggak pernah senyaman ini sama makhluk yang namanya cewek. Cuma sama lu mar, gue bisa senyaman ini, karena apa?. Karena cuma lu yang bisa tenangin hati gue". Jelas Alif lagi membuat Amara tersipu malu.

"Ihh... Apaan sih?".

"Amara". Panggil Alif.

"Apa?".

"Kalau gue nembak lu buat jadi pacar gue, lu bakal jawab apa?". Tanya Alif membuat Amara menjadi salah tingkah.

"Eh?, Lu ngomong apa sih?!". Amara menjadi gugup. "Udah ah gue mau masuk, belum kerjain pr soalnya. Bye".

   Amara memutar balik badannya dan tanpa disengaja dia membentur tembok rumah. Mungkin itu karena dia salah tingkah.

"Aduh!". Teriak Amara.

Alif terbelalak. "Amara? Lu nggak apa-apa, kan?". Tanyanya.

"Ng-nggak lif, udah ya gue masuk". Jawab Amara dengan perasaan setengah malu.

Alif tertawa geli. "Amara.. Amara... Lu tuh emang ya, bikin gue tuh ketawa terus". Ucapnya.

Alif melajukan motornya.

Trouble maker, i'm in Love...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang