Fifteen

18.9K 1.6K 87
                                    

Rush mengumpat ketika mengompres pelipisnya yang nyaris memar. Nyeri terasa menyengat di sudut bibirnya. Sialan! Bogem mentah dari Erick benar-benar sialan. Membuat hampir seluruh permukaan wajahnya lebam.

"Shit!" umpat Rush saat dia merebahkan tubuhnya yang terasa remuk redam seperti habis dihajar banteng mengamuk.

Kepalanya mendadak pening saat pikirannya mulai melayang beberapa menit lalu.

Rush mengusap bibirnya yang berdarah kemudian bangkit berdiri dengan susah payah. Pemuda itu menatap Erick tidak percaya. Sialan. Tenaga Erick seolah tidak berkurang sedikitpun meskipun dia telah membuat Rush babak belur.

Bahkan pria itu tidak terlihat kesulitan menghajar nya dengan Shaila yang menarik lengannya sekuat tenaga. Tenaga Erick benar-benar seperti banteng yang tidak mengenal kata lelah. Umpat Rush sambil meringis menekan sudut bibirnya.

Matanya menatap ngeri pada Erick yang wajahnya masih merah. Seperti siap mengeluarkan tanduk dari kedua sisi kepalanya.

Saat Shaila menganggukkan kepala supaya dia segera pergi, Rush tidak membuang waktu lagi. Pemuda itu dengan tertatih menaiki anak tangga.

Tujuannya sekarang hanya satu. Rose bersama dengan air matanya yang membuat dada Rush sesak.

"Rose," panggil Rush dengan suara beratnya.

Rush membuka pintu kamar Rose pelan, berusaha tidak mengejutkan gadis itu. Rush melangkah lambat di dalam ruangan yang sepi. Pemuda itu menajamkan pendengarannya saat suara air yang menghantam lantai terdengar samar dari dalam kamar mandi.

Pemuda itu mengetuk pintu kamar mandi berwarna putih di kamar Rose.

"Rose." panggil Rush dengan suaranya yang terdengar serak.

Rose yang berada di dalam kamar mandi menoleh. Bibirnya tersenyum masam dengan air mata yang mengalir dari matanya yang sayu. Gadis itu menatap sayu pintu kamar mandinya. Kepalanya menunduk saat kesadaran menghantam. Kesadaran bahwa Rush tidak akan mungkin menoleh ke arahnya. Dia terlalu manja dan mudah marah. Perasaannya terlalu sensitif seperti kulit bayi.

Kesadaran bahwa Rush ada bersamanya karena tante Sasha dan jangan lupakan campur tangan ayahnya. Rose tahu jika ayahnya, Kenzo selalu memperingatkan Rush untuk tidak meninggalkan nya.

Rose mendongakkan kepalanya. Membiarkan tetesan air menusuk kulit wajahnya yang putih. Masa lalu itu kembali berputar bagai film dokumenter rusak di dalam kepalanya. Bagaimana dia diculik entah oleh siapa di saat berumur sepuluh tahun dan hampir mengalami pelecehan yang membuat jiwanya terguncang.

Jiwa kekanakan yang mulai muncul hingga sekarang. Sesuatu yang membuatnya takut sendirian. Takut kembali sendirian. Hingga sekarang. Rush seolah-olah mengatakan akan meninggalkannya. Kembali dia harus siap untuk menghadapi ketakutan nya sendiri.

Pandangannya mengabur dengan tubuh yang mulai gemetar kedinginan. Tubuhnya tiba-tiba meluruh ke lantai seiring suara dobrakan pintu terdengar keras.

"Argh."

Rush berteriak marah saat sadar jika Rose seperti ini karena dia. Kecerobohan nya dalam mengucapkan nama membuat gadis itu salah paham.

******

Rose mengerjapkan matanya, keningnya mengeryit. Pening menghantam kepalanya hingga ringisan perih keluar dari bibir pucatnya. Kepalanya menoleh pelan pada Angel. Terlihat mata indah ibunya yang sembab.

"M...ekhem."

Rose berdehem saat merasakan suaranya yang serak. Tenggorokan nya terasa kering. Angel yang paham dengan keadaan anaknya segera mendekatkan gelas berisi air putih pada Rose yang gadis itu teguk rakus.

RushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang