Sana menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa, seraya mengembuskan napas berat nan panjang. Raut wajahnya menunjukkan kegelisahan. Keningnya berkerut seolah sedang berpikir keras. Sana sedang bimbang. "Duh!" Sana mengacak-acak rambutnya gemas, lalu menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Gue harus gimana?"
Perhatiannya kemudian tertuju kepada tumpukan kertas yang tersimpan rapi di dalam amplop berwarna cokelat. Di dalam tumpukan kertas itu tertera impiannya selama ini, yang bisa segera menjadi kenyataan kalau Sana membubuhkan tanda-tangan di sana.
Masalahnya, Sana tidak tahu apakah ia siap menghadapi segala risiko yang timbul jika ia menyetujui berkas yang tak lain adalah kontrak produksi film. Bukan sembarang kontrak, karena yang mengajukan adalah rumah produksi terkenal di Indonesia. Untuk penulis novel seperti Sana, ditawari rumah produksi yang ingin menggarap novelnya menjadi film, sama seperti kejatuhan durian runtuh.
Sana mengambil HP-nya yang ia letakkan di atas meja yang berhadapan dengannya. Ada dua panggilan tidak terjawab dari Abimanyu, orang yang sedang tidak ingin Sana temui. Bukan karena perempuan itu sedang bertengkar dengan suaminya itu. Tapi karena kebimbangan Sana justru ada pada Abimanyu.
HP Sana berdering, memunculkan nama Abimanyu di layar. Sana menarik napas dalam-dalam. Batas maksimal Sana tidak mengangkat telepon darinya adalah tiga kali. Lebih dari itu? Tidak ada jatah beli sepatu bulan depan.
"Halo?"
"Kenapa baru diangkat sekarang? Kamu ke mana aja?" Terdengar suara Abimanyu setengah berseru dari seberang. Suara ramai kendaraan bermotor menjadi latar belakang suara berat pria tampan itu.
"Aku baru cek HP," jawab Sana, sekenanya.
"Jangan bohong. Aku tahu kamu sengaja gak mau angkat telepon aku." Abimanyu hafal betul bagaimana istrinya. "Tadi kamu bilang kamu punya kabar baik. Selang dua menit kemudian, kamu bilang itu bukan kabar baik. Begitu aku telepon, kamu gak angkat-angkat. Kamu kenapa? Ada yang bajak buku kamu lagi?"
"Aku..." Sana menarik napas dalam-dalam, lalu ia embuskan dalam satu desahan pendek. "Aku ditawarin buat film-in novel aku."
"GOOD JOB, SAYANG! Aku pulang nanti, kita makan-makan di restoran yang kamu pengenin dari sebulan lalu, ya? I'll be home soon!"
"Tapi, Sayang—"
Telepon terputus. Sana menggeram frustrasi. Abimanyu selalu begini, mematikan telepon lebih dulu, di saat Sana belum selesai bicara.
***
"Congrats, Sana!" Abimanyu menghadiahi kecupan di kening Sana, begitu pria itu memasuki ruang tengah lantai satu rumah berlantai dua mereka. "Akhirnya impian kamu kejadian juga! Kapan mulai produksinya?"
"Aku bahkan belum tanda tangan kontrak, Bi."
Abimanyu menaikkan kedua alisnya, heran. "Loh, kenapa? Ada poin yang kamu gak suka?"
Sana menggeleng. "Semua poin kontrak sesuai dengan apa yang aku harapkan. Yang gak aku duga-duga itu, pemilihan pemainnya."
Abimanyu menelengkan kepalanya ke kiri. "Memangnya kenapa? Kamu gak suka sama pilihan mereka?"
"Bukan gak suka—cuma..., di luar dugaan aja."
Abimanyu menunggu Sana meneruskan ceritanya.
Sana menggigit bibir bawahnya. Dia terlihat gugup. "Bi..., Riko belum ada kabarin kamu apa pun soal tawaran pekerjaan baru di bulan ini?"
Abimanyu menggeleng. "Belum. Tapi dia bilang, sore ini dia mau ke rumah. Katanya, mau ada perayaan kecil-kecilan. Dia bilang, kamu juga bakalan seneng begitu denger kabar dari dia nanti."
Sana mengembuskan napas pasrah. "Duh, gimana cara ngomongnya ya, Bi...."
Abimanyu berpindah posisi. Pria itu duduk berlutut di depan Sana yang tengah menundukkan kepala. Abimanyu lalu meraih kedua tangan Sana, dan membubuhkan ciuman singkat di ujung jemari perempuan yang ia nikahi tiga tahun lalu itu. "Kamu cerita dong, Sayang."
Sana menatap kedua bola mata cokelat Abimanyu yang menenangkan. "Abi—yang kepilih jadi pemain utama di film aku tuh—"
"Bentar, Sayang." Abimanyu mengangkat jari telunjuknya ke udara, meminta Sana menunda ceritanya. "Riko telepon."
Alih-alih marah, Sana justru mengembuskan napas lega. Biasanya, Riko menjadi sangat menyebalkan karena selalu menganggu kegiatan mereka dengan menelepon Abimanyu tiba-tiba. Pernah saat mereka sedang makan malam romantis, merayakan hari jadi pernikahan. Pernah juga saat mereka sedang asyik menonton film di bioskop. Tapi dari semua hal itu, tidak ada yang lebih menyebalkan dari saat mereka sedang menikmati proses berkembang biak. Calon keturunan mereka nyaris saja mencapai gawangnya waktu itu. Dering telepon dari Riko, membuat calon-calon anak sehat itu kembali ke garis start. Kata Abimanyu, rasanya sungguh-sungguh menyiksa.
"Sayang, aku ada meeting mendadak. Kata Riko, klien mau sekalian ketemu sama aku. Dia juga bilang, dia gak jadi main ke rumah sore ini. Kayaknya makan malam kita diundur dulu, ya? Kamu gak marah, kan?"
Sana menggeleng. "Gak apa-apa kok. Gih, kamu buruan pergi nyusul Riko. Makan malam sama aku bisa nanti-nanti."
Abimanyu mengusap-usap puncak kepala Sana. "Aku usahain pulang cepet, ya? Kamu mau aku bawain makanan?"
"Nanti aku chat kamu kalau mau pesen sesuatu."
Abimanyu mengacungkan jempolnya. "Baik, Ibu Negara!"
"Take care." Sana beranjak dari sofa, mengantarkan Abimanyu sampai ke pintu depan. Tak lupa ia mengecup pipi kiri dan kanan suaminya itu bergantian.
Begitu Abimanyu pergi, tinggallah Sana dengan kegelisahannya. Sana tahu kejutan apa yang akan Riko berikan pada Abimanyu, dan Sana juga tahu siapa klien yang akan ditemui Abimanyu sekarang.
Kedua bahu Sana mengendur lesu. Sebentar lagi, dia pasti akan mendapatkan panggilan telepon dari editornya.
Dan, nada dering HP-nya punterdengar....
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A Secret
RomansaSana Mahira, 27 tahun, seorang penulis novel terkenal. Baru saja menerima tawaran untuk memfilmkan novel pertamanya. Tapi, impian yang akan segera menjadi nyata itu malah menjadi awal masalah rumah tangga Sana dengan Abimanyu Kendrata--suami yang d...