-16-

5.5K 598 4
                                        

Semua lampu dimatikan. Khas seorang Sana Mahira jika sedang marah dan sedih berat. Abimanyu meletakkan martabak telor spesial yang ia beli untuk Sana di atas meja makan. Kemudian, dengan langkah pelan, pria itu berjalan menuju kamarnya. Terdengar suara tangisan dari dalam sana.

"Sayang?" Abimanyu membuka pintu kamar, menemukan Sana menangis di pojok kamar sambil memeluk kedua lututnya.

"Ja-jangan masuk. A-aku gak ... mau lihat ... kamu!" Sana berseru sambil menangis tersedu-sedu.

"Sayang, maafin aku." Abimanyu membungkuk hendak memeluk Sana, namun perempuan itu mendorongnya hingga jatuh terduduk.

"AKU CAPEK DENGERIN KAMU MINTA MAAF!"

"Terus kamu mau aku kayak gimana? Aku harus marah-marah ke Pak Nahran karena adegan itu? Kamu sendiri juga tahu adegan itu akan ada nantinya! Jangan lupa kalau kamu udah janji bakalan tetap profesional!"

"TAPI ITU SEBELUM SI TATIANA GENIT ITU DEKETIN KAMU!"

"Bukan salah aku dong kalau dia deketin aku! Aku sendiri gak pernah ngegubris dia!"

Sana serta merta berdiri, lalu menudingkan jari di depan wajah Abimanyu yang masih terduduk. "Jangan bilang kamu gak pernah ngegubris dia! Buktinya, kamu ngelanggar janji kamu ke aku kalau kamu gak akan nerima masakan dia lagi, jangan lupa juga—kamu kemarin mau aja disuapin sama dia!"

Abimanyu menyugar rambutnya dengan satu gerakan kasar nan cepat. "Aku capek, Sana. Aku capek dengan semua ocehan kamu tentang Tatiana. Dia gak ada habisnya jadi alasan kita untuk berantem." Abimanyu berdiri lesu. "Kalau kamu masih mau lanjutin ocehan kamu tentang dia, silakan kamu lanjutin sendiri. Besok aku masih ada syuting."

"Kamu selalu gini. Andalan kamu banget—pergi di saat obrolan kita belum selesai."

"Obrolan kamu bilang? Menurut aku, ini lebih pantas disebut perdebatan yang ujung-ujungnya menyudutkan aku." Abimanyu mengeraskan rahangnya. Dipandangnya Sana lekat-lekat dan tajam. "Apa kamu pernah mikir? Di saat kita berantem kayak gini, orang yang menjadi alasan kita berantem justru happy-happy aja, tanpa menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan, kamu sebenernya memang gak bisa menyalahkan Tatiana, membenci Tatiana gitu aja karena dia bahkan gak tahu kalau kita sudah menikah, San. Gak ada yang tahu!"

"Oke, sekarang kamu malah membela perempuan itu."

"Aku gak membela siapapun di sini!"

Sana menyunggingkan senyum sinis. "Aku selalu mikirin kamu, dari dulu. Kapan aku gak menomorsatukan kamu? Tapi kamu—"

"Kamu masih mau membahas soal pernikahan kita yang dirahasiakan? Oke, Sana—here we go. Dari awal, aku hanya menuruti keinginan kamu yang ingin merahasiakan pernikahan kita. Bahkan, di ulang tahun kedua pernikahan kita, kamu mati-matian menolak saat aku mau membeberkan hubungan kita sebagai suami-istri kepada semua orang. Kamu bilang, kamu memikirkan karirku yang sedang bagus-bagusnya—sekarang, aku jadi ragu—apa benar kamu melakukan itu semua karena memikirkan aku? Bahkan tentang keputusan aku untuk menerima peran ini, bukannya kamu yang mendorong aku untuk meralat keputusanku yang justru ingin menolak bermain di film kamu?"

"Kamu bisa lihat sendiri gimana kenyataannya—semua orang membicarakan kamu, menunggu film Senja Cinta karena penasaran sama akting kamu. Karir kamu memang semakin bagus, kan?"

"Yang aku rasakan, ini bukan tentang aku sama sekali—tapi tentang kamu, Sana. Kamu cuma mikirin diri kamu sendiri. Dan ketika ada sesuatu yang terjadi atau berjalan di luar dugaan kamu, kamu mulai menyalahkan orang lain. Kamu gak bisa kayak gini, apa kamu pernah mikirin perasaan aku, Sana?" Abimanyu mengambil salah satu bantal dari dua bantal yang berjejer di atas kasur. "Pintu hati aku akan selalu tertutup rapat untuk orang lain, Sana. Apa arti pernikahan kita kalau kamu masih bisa ragu dengan aku?"

***

"Lo apa, San?" Gea memelotot, mengurungkan niatnya untuk menginjak pedal gas agar mobilnya meluncur di jalanan. Ia memandangi Sana yang baru saja ia jemput dengan tatapan berusaha menyangkal apa yang ia dengar dari mulut penulisnya itu.

"Gue mau balik ke rumah orangtua gue dulu, Gea. Mau nenangin hati."

"Te-terus—si Abi gak ngehalangin lo sama sekali?" Gea mengalihkan tatapannya ke koper kecil yang diletakkan Sana ke kursi belakang, sebelum perempuan itu masuk ke mobil dan duduk di sebelahnya.

"Dia diem aja. Gue juga diem aja."

"Udah jelas kalian berantem hebat banget," tebak Gea, tepat sasaran. Perempuan itu akhirnya melajukan mobilnya memasuki jalan tol. "Gue bisa puter arah di depan sana abis keluar tol. Lo balik aja, baikan sama Abimanyu."

"Gue gak mau, Ge. Dengan gue balik ke sana, masalahnya justru akan semakin besar. Gue mau menepi dulu dari semua tekanan yang gue rasain."

Gea masih menatap jalanan di depannya, menjaga jarak dengan truk yang berjalan lambat di depannya. Gea sengaja tidak mengambil jalur cepat. "Pasti berantem soal Tatiana lagi, ya? Riko udah ceritain tentang adegan mereka."

Sana mengangguk-angguk pelan, sambil memilin pinggiran kaus putih bergambar Tweety yang ia kenakan. "Gue—apa gue yang berlebihan cemburunya?"

"Ya ... tergantung, San. Penilaian itu bisa dari banyak sisi. Cemburu wajar kok—tapi, kalau berlebihan juga gak baik."

"Jadi, menurut lo gue salah karena cemburu ke laki gue yang beradegan ciuman dengan perempuan lain?" Sana mulai menggebu-gebu. "Mungkin, kalau gue istrinya Ryan Reynold yang maklum-maklum aja suaminya beradegan panas dengan lawan mainnya—gue fine-fine aja. Tokoh yang diperankan Ryan gak pernah jauh-jauh dari tokoh yang begituan. Nah, kalau Abimanyu? Ini adalah tokoh utama yang pertama kali dia mainkan, apalagi adegan-adegannya pun—"

"Dan adegan itu lo yang bikin, Sana," potong Gea. "Lo yang paling tahu soal Senja Cinta. Lo yang punya ceritanya. Sekarang, ketika dia beradegan seperti itu dan lo marah-marah—ya, gimana si Abimanyu gak keki meskipun dia maklum dengan kecemburuan lo? Dan soal Tatiana, kebetulan aja itu perempuan juga demen sama laki lo. Akhirnya, alasan lo buat marah pun lengkap. Tapi bukan berarti lo bisa menimpakan semua kesalahan ke Abimanyu."

Ucapan Gea membuat Sana merenung dalam diam. Gea benar, segala risiko yang akan terjadi seharusnya bisa Sana atasi dengan baik, karena dia yang paling tahu dengan situasinya. Sejak tawaran Senja Cinta yang ingin diadaptasi menjadi sebuah film, hingga Sana mengetahui kandidat utama yang kelak akan memerankan Bayu adalah suaminya sendiri. Yang ada di pikiran Sana hanyalah bayangan akan kesuksesan yang ia raih nantinya dari film Senja Cinta.

Novel best seller, aktor pemeran tokoh utama pria yang oke; adalah dua hal yang terus berputar dan mendominasi isi kepala Sana.

"Jadi, lo mau balik ke rumah?" tanya Gea pelan-pelan. "Mumpung belum jauh."

Sana menggelengkan kepala. "Gue akan tetap pada keputusan gue buat di rumah orangtua gue sementara waktu," jawab Sana, membuat Gea menghela napas kasar.

"Inget, ya, Sana. Gak ada yang bakalan berakhir baik saat lo mengambil keputusan di saat marah."


Once Upon A SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang