-5-

5.3K 612 17
                                    

Update tiap hari! Jangan lupa ya, tag bagian yang paling kusuka untuk ku-repost di Instastory-ku!

Ya Allah, untung gue cinta banget sama suami gue!

Sana tiada henti merutuki usulan Riko di dalam hati. Sekarang ia sedang memakai jaket kebesaran, topi, kacamata, masker, dan wig. Perempuan itu sedang melakukan penyamaran perdananya. Ia sedang menuju ke warung di depan komplek perumahannya untuk membeli minyak goreng dan telur.

"Eh, Jeung. Katanya aktor terkenal Abimanyu itu tinggal di komplek elit depan itu loh!"

Mendengar nama Abimanyu disebut. Sana nyaris mengurungkan niatnya membeli minyak dan telur di warung yang ia tuju, kalau bukan karena pertimbangan warung lain lebih jauh letaknya.

"Abimanyu yang suka main film itu ya?" tanya salah seorang ibu-ibu berdaster yang tidak mengenakan kerudung. Perempuan itu sedang menimbang sendiri telur yang ia beli.

"Mbak—eh, Mas-nya mau beli apa?"

Sana mendongak menatap seorang perempuan yang kurang lebih berusia tiga puluh tahun. Mungkin dia pemilik warung ini. Sana memberikan minyak goreng kemasan ukuran satu liter kepada perempuan itu, lalu mulai mengambil sejumlah butir telur untuk ditimbang. "Ini aja, Bu," ujar Sana, dengan suara yang diberat-beratkan.

"Mas-nya tinggal di komplek depan ya?"

Sana menganggukkan kepala.

"Bener gak, sih, kalau ada si Abimanyu itu di komplek depan?" tanya ibu-ibu yang semula membuka topik pembicaraan tentang Abimanyu.

"Wah, saya kurang tahu, Bu. Saya biasanya berangkat pagi, pulang malam. Kalau ketemu tetangga itu-itu aja." Dalam hati Sana berdoa supaya mereka tidak curiga dengan suaranya yang terdengar aneh.

Usai membayar belanjaannya, Sana buru-buru meninggalkan warung sebelum sekumpulan ibu-ibu itu menambah pertanyaannya.

Sesampainya di rumah, Sana segera melepaskan kostum penyamarannya. Mengenakan kostum penyamaran berlapis-lapis di bawah terik matahari Jakarta, tentu saja tubuh Sana berkeringat bukan main.

Sana menata butir per butir telur di dalam kulkas, lalu memeriksa HP-nya sebelum mulai memasak. Gea bilang hari ini ada acara makan malam bersama direksi penerbit. Mereka ingin ikut merayakan kesuksesan Sana yang novelnya berhasil difilmkan. Tapi hingga saat ini, Gea belum memberikan kabar apa pun. Jangan-jangan acara makan malamnya batal?

HP Sana berdering, tapi bukan Gea yang menelepon melainkan Riko.

"Yuhuu?"

"San, hari ini bos gak balik, ya."

Sana mengernyit heran. "Loh, kenapa?"

"Adegan yang mau diambil hari ini ditambah dengan adegan yang mau diambil besok, San."

"Berarti besok libur, dong?" tanya Sana, kegirangan.

"Ya besok tetep syuting lah. Gue mau kasih tahu itu doang. Take care, San!"

Tak berselang lama usai Riko memutuskan sambungan telepon begitu saja, Gea pun menelepon.

"Halo, Ge. Plis jangan bilang acara makan malamnya batal!"

"Yah, Bu. Gue baru aja mau ngasih tahu kalau acara makan malam bareng direksi penerbit batal...."

Sana menepuk keningnya. "Duh, Ge. Laki gue gak balik nih malam ini. Gue bete maksimal! Lo temenin gue dong. Jalan kek, apa kek, pokoknya yang lama. Jadi gue pulang nanti tinggal tidur aja."

"Yaudah, ini gue juga lagi gabut banget, San! Kita ketemuan di luar ya? Atau mau gue jemput?"

"Jemput aja, Ge. Gue siap-siap dulu."

***

Sana menjejakkan kakinya di pelataran mall Kuningan City. Mall ini tidak begitu ramai seperti mall yang lain, tapi Gea dan Sana lebih sering hang out di sini—tentu saja hang out di food court­-nya alias wisata kulineran.

"San!" Gea sudah lebih dulu datang. Perempuan itu duduk di kursi panjang kayu di bagian depan food court. Di meja sudah ada beberapa makanan yang telah ia pesan sambil menunggu kedatangan Sana.

"Ih, udah duluan pesen aja lo!" seru Sana, mengambil duduk berhadapan dengan Gea.

"Biar cepet. Makan dulu aja yang udah ada. Ntar gantian lo yang beliin."

Sana mengambil tisu basah dari dalam tasnya. Ia sedang malas mencuci tangan karena letak tempatnya agak jauh dari tempat mereka duduk.

"Tumben lo kesel gara-gara doi gak pulang? Biasanya lo fine-fine aja," tanya Gea, mulai menyuwiri daging ayam goreng yang masih mengepulkan asap.

"Gue juga heran, Ge. Biasanya gue gak kayak gini—mungkin nih, gara-gara gue netthink mulu sama yang namanya Tatiana." Sana mengecilkan volume suaranya saat menyebutkan nama Tatiana. "Waktu itu di lokasi syuting, gue lihat dia tuh kasih perhatian yang terlalu berlebihan ke laki gue. Ya lo bayangin aja, emang ada ya temen kerja yang bersihin mulut temen kerjanya sendiri dengan mesra gitu pas makan?"

Gea menunjukkan raut wajah terkejut dan jijik sekaligus. "Idih, kok gitu banget? Tapi—gue gak heran, sih ... 'kan doi gosipnya banyak, Say."

Sana memonyongkan bibirnya, lalu mendengkus. "Tapi, gue akuin akting dia bagus banget, Ge. Gue sih cuma bisa berdoa supaya rumah tangga gue aman-aman aja."

"Lagi musim pelakor loh, Say." Gea selalu terlihat antusias jika membahas makhluk ajaib tidak tahu diri yang urat kemaluannya sudah putus—pelakor. "Makanya, lo jangan sampai gak ngerawat diri sendiri. Ntar kalau laki lo suatu saat—ya jangan sampai, sih ya—kalau suatu saat dia keburu kehasut sama itu makhluk. Susah loh lepasnya!"

"Mudah-mudahan laki gue selalu dijauhkan deh dari dedemit-dedemit itu. Gue percaya, laki gue bisa jaga hatinya buat gue."

Gea mengemut ibu jari dan telunjuknya bergantian. "Yaudah, sekarang lo makan dulu. Gue mau pesen ayam goreng Pak Gembus lagi nih. Lo kira-kira bakalan nambah gak? Biar sekalian."

"Mau lah! Pesen dua. Jangan lupa kol gorengnya!" jawab Sana, setengah berteriak kepada Gea yang sudah setengah jalan mendekati gerai ayam goreng favorit mereka berdua.

***

Once Upon A SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang