"Kau benar-benar akan menikah dengannya? Dengan Dosen Jeon?" Nahee terlihat begitu kaget saat aku bercerita jika diriku akan menikah dengan Jeon Jungkook.
Ah iya, untuk informasi saja, Jungkook adalah dosen di kampusku. Ya, jadi aku akan menikah dengan dosenku sendiri. Bukankah ini terdengar seperti cerita fiksi yang ada di novel-novel?
Aku mengangguk. "Ya, bukankah aku sudah bilang jika kami dijodohkan sejak lama sekali?"
"Aku tahu, tapi--sumpah! Kau akan menikah dengan Jeon Jungkook si es batu berjalan!" ujar Nahee setengah berteriak.
"Kupikir ia tidak seburuk itu sampai harus diberi julukan es batu berjalan," ujarku.
"Kau gila? Aku bahkan tak pernah melihatnya tersenyum barang sekali saja, pun hanya senyum tipis, aku tak pernah melihat!" kata Nahee. "Tapi dia memang tidak seburuk itu, sih. Kau tahu, jika aku adalah tokoh novel, maka jelas diriku akan benar-benar jatuh di pelukannya. Maksudku, hell, dia punya segala yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pendamping idaman!"
Aku menekuk wajahku. "Sepertinya kau sesuka itu pada calon suamiku. Kenapa tidak kau saja yang menikah dengannya?"
Nahee tertawa konyol saat melihatku. "Maafkan aku, hanya saja aku berkata kebenaran. Oh iya, jadi kapan pernikahannya? Kau akan mengundang anak-anak jurusan, kan?"
"Tentu saja. Kami akan mengundang semuanya."
"Kau tidak menyembunyikannya? Maksudku, banyak sekali kasus dimana kau menyembunyikan hubungan dengan gurumu."
"Kau telalu banyak membaca novel, Nona." Aku menonyor dahi Nahee. "Kami tidak akan menyembunyikannya, lagipula untuk apa disembunyikan? Toh, menikah dengan dosen sendiri bukanlah suatu dosa atau aib."
Nahee menghela napas. "Terserah kepadamu saja, aku kan hanya bertanya. Dasar kau gadis menyebalkan! Apa jadinya anakmu nanti hah? Ayahnya es batu berjalan, ibunya adalah wanita paling swag. Augh, aku bahkan tidak berani membayangkan!"
"Kau--"
"Nona Kim,"
Aku baru saja akan menjawab perkataan Nahee sebelum suara berat menginterupsiku. Di sana, Jeon Jungkook dengan kemeja hitamnya, tengah berdiri di belakangku. Sontak aku langsung berdiri dari tempat dudukku diikuti oleh Nahee.
"Y-ya? Ada apa?" kataku sedikit tergagap. Hei, bukankah sudah kubilang jika Jeon Jungkook punya aura yang terlalu kuat?
"Bisakah kau ikut denganku? Aku masih mempunyai beberapa urusan denganmu," katanya dengan nada sedatar permukaan meja di hadapanku.
"Ah, ya. Tentu." Aku segera mengambil tasku yang berada di atas meja dan melirik Nahee untuk berpamitan. Gadis itu terlihat tersenyum kecil dan mengangguk sebagai balasan. "Aku pergi, sampai bertemu nanti," ujarku.
Aku pun mengekorinya. Ternyata ia membawa kami menuju parkiran kampus khusus para dosen. Itu membuat kami tidak mungkin terlihat oleh para mahasiswa. Ia membuka pintu mobilnya dan mempersilahkan diriku untuk masuk. Aku menurutinya.
Interior mobilnya benar-benar terkesan sangat jantan. Dominasi warna hitam dan beberapa bagian berwarna silver, ditambah aroma mobilnya begitu memabukkan. Apakah ini aroma tubuhnya? Karena kupikir aku mencium aroma seperti ini setiap berdekatan dengannya.
"Kau mau makan?" ujar Jungkook.
"Huh?" Otakku belum bisa memproses semua ini dengan cepat.
"Apa kau lapar? Sudah makan siang?" tanyanya lagi.
Oh, terima kasih karena masih mau bersabar untuk gadis sepertiku.
"Aku sudah makan siang dengan temanku tadi, Tuan Jeon. Terima kasih atas tawarannya."
Tolong jangan bertanya kenapa aku memanggilnya seperti itu. Dia guruku, oke? Jelas aku harus sopan. Yah, meskipun sebentar lagi dia akan menjadi suamiku. Tapi dia tetap lebih tua, bahkan jauh lebih tua dari diriku. Umur kami terpaut setidaknya tujuh tahun.
Jungkook tidak menjawab untuk beberapa saat. Kenapa? Apa jawabanku salah? Apa dia marah karena aku tidak menyambut undangan makan siang darinya?
"Oppa," katanya.
"Eh?"
Apakah kau percaya jika aku adalah peringkat satu di kampusku? Karena aku sendiri bahkan tidak percaya dengan diriku saat ini. Bagaimana bisa aku menjadi begitu lambat seperti ini? Apa karena Jungkook dan auranya? Atau karena bau parfumnya? Kenapa otakku benar-benar terasa bergerak begitu lambat?! Sungguh, aku malu karena terlihat bodoh dihadapannya. Bagaimana jika ia jijik kepadaku?
"Panggil aku Oppa. Aku masih belum terlalu tua untuk kau panggil dengan panggilan seperti itu, kan?" katanya terdengar menjelaskan.
"O-oke."
"Dan kenapa kau terlihat sangat tidak nyaman bersamaku?"
Aku sontak membulat mendengar pertanyaannya. "T-tidak. Bukan seperti itu!"
Oke, aku memang merasa sedikit tidak nyaman berdekatan dengannya. Ini masih tentang Jeon Jungkook dan aura dominasinya yang keterlaluan. Aku bukannya tidak suka, hanya belum terbiasa.
Aku melihat ia menghela napas kasar. "Kita akan menikah. Bisakah kau mencoba menghilangkan rasa ketidak nyamananmu itu? Aku juga sedang berusaha berinteraksi denganmu. Ayo, kita sama-sama mencoba, hm? Istriku?"
Wajahku memanas mendengar perkataannya. Apa tadi dia bilang? Istriku?
Oh kakak, kurasa adikmu akan mati terkena serangan jantung mendadak karena perkataan calon suaminya. []
***
Iya, suamiku :**
Nggak tau kenapa, tapi gue enjoy banget bikin book ini. Draftnya udah bejibun, jadi kayaknya bakal update teratur, deh.Tapi itu juga tergantung gimana respon kalian, sih. Karena itu, jangan lupa voment nya ya!^^
Makasih udah mampir :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Mr. Jeon
Fiksi Penggemar"Because she thought that she was nothing even though she was something." Kadang, Nara bertanya-tanya dalam hatinya, bagaimana dia bisa menikah dengan pria sekeren Jeon Jungkook? Apa yang Jungkook lihat dari gadis biasa-biasa saja sepertinya? Namun...