"Mencintai dia adalah hal terindah sekaligus menyakitkan"
🌹🌹🌹
Aku baru mengerti maksud kata 'kantin' yang diucapkan Arya beberapa waktu yang lalu. Ternyata dia mengajak ke kantin karena A' Didit dan Reana sudah berada di kantin. Huft, apa sulitnya sih bilang 'Ke kantin, Di. Mereka sudah nunggu kita.' Bahkan saat diriku sakit gigi saja masih bisa berkata demikian--beberapa kata--sikap Arya sekarang berubah drastis, memang sikapnya berubah bukan baru beberapa bulan, sejak SMA kelas 3 dia sudah mulai dingin dan puncaknya setelah masuk kuliah.Entah apa yang membuatnya seperti itu. Aku tak yakin jika karena dia tahu perasaanku, sesungguhnya Reana yang paling dekat denganku saja enggak pernah tahu perasaanku padanya.
Tapi, tunggu. Masalah dia berpindah duduk di kursiku tadi maksudnya apa? Apa dia cemburu? Oh inginku terbang tinggi, Ya Allah. Bibirku tak hentinya tersenyum hingga suara Arya melunturkan senyumku sekejap saja.
"Kenapa senyum-senyum?" tanyanya datar. Dia kembali diam lalu melanjutkannya, "bagus deh kalau lo suka sama cowok tadi, jadi enggak perlu mengharap cinta yang enggak pasti," ucapnya menoleh padaku.
Aku terbengong mendengar ucapannya, maksudnya apa?
Dia hendak berlari meninggalkanku menuju kantin yang sudah terlihat namun terhenti ketika kutarik ujung kemejanya, dia menatapku dengan dinginnya.
"Maksudmu apa?" tanyaku
"Gue rasa lo tahu maksud gue," lalu dia melanjutkan niat awalnya dan meninggalkan diriku sendiri dengan pikiran yang berputar-putar mempertanyakan maksud ucapannya.
Cinta yang enggak pasti?
Benar, aku memang terjebak pada cinta yang enggak pasti, padamu Arya! dan secara terang-terangan kamu menolakku, kamu memintaku menyukai Aidan agar tidak mengharapkan cintamu---terlepas tahu atau enggaknya kamu akan perasaanku---yang pasti kamu menginginkan aku berhenti, berhenti mencintaimu.
Rasanya pikiranku yang mengatakan Arya cemburu tadi luntur seketika, dia tidak akan cemburu Inka! Dia malahan ingin kamu dan Aidan bersama.
Aku tersenyum mengejek, pada diriku sendiri. Diri ini yang terlalu percaya diri.
"Di!!!" teriakan Reana di sudut sana menyadarkanku lalu buru-buru aku mengubah raut wajahku seolah bahagia, agar raut kesedihan ini tertutupi.
"Bukannya Arya tadi bareng lo kok Arya duluan yang nyampe?" suara A' Didit membuatku melirik Arya yang berdesis
"Pala gue pusing, dia jalan kayak siput," jawabnya, "Lo juga, punya HP itu dicek, jadi gue enggak perlu nyamperin lo pacaran di Perpus," katanya menatapku kesal. Aku meringis bersalah, tak peduli dengan omelannya yang kupikirkan saat ini keadaannya yang sedang tidak baik-baik saja. Dia pusing, pasti karena dia kecapekan bekerja.
Kenapa bekerja? Iya siang hari dia kuliah, malam hari dia menjadi driver ojol--demi biaya kuliahnya--dia tidak ingin menyusahkan ibunya dengan biaya dan keperluannya, biarlah ibu hanya fokus membiayai sekolah adiknya. Arya memang bukan berasal dari keluarga berada, keluarganya sederhana, ibunya hanya berjualan manisan di toko kecil yang berada di halaman rumah.
Dia tiga bersaudara, dia anak tengah, Kakaknya sudah berkeluarga, adiknya masih SMP, sedangkan ayahnya sudah meninggal. Dia hanya tinggal bertiga dengan Ibu dan adiknya.
"Pacaran? Lo pacaran sama siapa, Di?" suara Reana membuyarkan lamunanku tentang keluarga Arya.
"Siapa yang lo pacari? jangan pacaran sama sembarang orang apalagi tanpa sepengetahuan kita!" ujar A' Didit dengan sedikit gertakan dimeja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka dalam Prasangka ✔
General Fiction[Fiksi umum-spiritual] Judul awal "I Dont Want You Know" berganti menjadi "Luka dalam Prasangka" *** Radinka Fatimah menyimpan rasa pada Arya namun rasanya itu terpaksa ia simpan karena sebuah janji yang diucapkan oleh laki-laki itu. Sebuah janji ya...