Kepala Arya berdenyut karena pembicaraan bersama Didit siang tadi. Dia tak menyangka selama ini kobohongannya yang menutupi rasanya pada Radinka, tak begitu tertutup. Dia kalah telak dibandingkan Didit yang lebih pintar menyembunyikan kebohongan yang dia perbuat.Seolah lelaki itu tak pernah tahu kedok dirinya. Dan Arya tak menyangka pada saat seperti ini Didit baru mengungkapkan semuanya.
Namun, semua itu bukanlah hal yang sepenuhnya berhasil membuat kepalanya berdenyut bagai ditimpa ribuan batu. Kenyataan bahwa Radinka yang akan pindah kampus serta Kota lah yang menguasai pikirannya sehingga menyebabkan pening melanda dirinya tak tanggung-tanggung.
Apa yang membuat gadis itu memilih pergi menjauh darinya?
Apakah benar yang dikatakan Didit kemarin bahwa gadis itu tak kuat menahan luka yang sering dia torehkan? Apakah sesakit itu?
"Ada apa, Nak?" Sebuah suara yang amat dia kenali terdengar dari balik tubuhnya. Lantas dia putar posisi duduknya menghadap sang pemilik suara.
"Eh Mamak, nggak ada apa-apa kok," jawabnya kemudian.
Seorang Ibu selalu paham keadaan anaknya, seperti Ela saat ini. Wanita paruh baya itu mendekat dan duduk di samping Arya. "Cerita, Mamak akan selalu siap mendengarkanmu," ucap Ela.
Arya menumpuhkan tangan di atas lututnya dalam diam.
"Apakah tentang Di?"
Arya tidak terkejut mendengar pertanyaan sang Ibu, bukan hal yang baru baginya, bahkan Ibunya itu selalu menjadi tempat curhatnya selama ini, dan jangan lupakan Akina pun termasuk ke dalamnya.
Kepalanya perlahan mengangguk. "Di mau pindah."
"Pindah? ke mana?"
"Keluar Kota, Mak."
"Apa, tapi kenapa? apa kamu kembali menyakitinya, Nak?" tanya Ela dengan suara yang mulai melembut.
Arya semakin tertunduk dan berucap, "Iya, dia nggak tahan sama kelakuanku yang selalu menyakitinya. Tapi nggak seharusnya dia memutuskan pindah 'kan, Mak?" tanyanya lirih.
Ela mengusapi punggung sang anak bujang dengan lembut, inilah saat yang pas untuk membujuk anaknya itu agar berkata jujur dan lebih berani mengungkapkan semua yang dia rasakan. "Wajar, Bang. Dia gadis biasa, bukan wonder women yang berhati baja, yang nggak apa-apa jika terus disakiti apalagi oleh orang yang dia cintai."
Sontak mata Arya berlari menatap sang Ibu. "Maksud Mamak? Di nggak mungkin cinta sama Arya, Mak," sanggahnya cepat namun dahinya mengerut kala melihat gelengan kepala yang diberikan Ela sebagai jawaban.
"Hanya orang bodoh yang nggak tahu kalau gadis itu menyimpan rasa padamu."
Arya tersenyum kecut sesekali terkekeh, "Nggak, nggak mungkin dia bisa cinta sama orang kayak aku, Mak. Jangan ngaco."
Ela mengembuskan napas lelah, selain keras kepala anak bujangnya itu pun kurang percaya diri dan sering berlaku psimis.
"Terserah kamu lah, toh Mamak sudah mengatakan yang sebenarnya. Lalu, apa yang akan kamu lakukan setelah tahu Di akan pindah?"
Arya diam sejenak. "Nggak ada. Terserah dia jika itu memang keinginannya. Mungkin dia ingin mencari suasana baru lagipula dengan begitu dia akan bebas dari rasa sakit yang sering kutorehkan," jawabnya kemudian. "dan aku akan mudah melupakan dia."
"Yakin? jika Di mendapatkan laki-laki lain kamu ikhlas?"
"Silakan, dia berhak mendapatkan lelaki yang dia cintai dan lelaki yang sederajat dengannya."
"Kalau Di malah tersiksa dan terus-terusan memikirkan dirimu?"
Arya tertawa dan menatap Ibunya kembali, "Itu nggak mungkin, Mak. Nggak ada alasan buat memikirkan lelaki seperti diriku, jangan ngaco deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka dalam Prasangka ✔
General Fiction[Fiksi umum-spiritual] Judul awal "I Dont Want You Know" berganti menjadi "Luka dalam Prasangka" *** Radinka Fatimah menyimpan rasa pada Arya namun rasanya itu terpaksa ia simpan karena sebuah janji yang diucapkan oleh laki-laki itu. Sebuah janji ya...